Sewaktu
pulang dari Surabaya menuju Solo dengan mengendarai sepeda motor Honda Supra X
dengan nopol AD 5027 CS, saya berkesempatan mampir dan sekaligus melepas lelah
sejenak di sebuah klenteng yang berada di pinggir jalan besar. Klenteng
tersebut bernama Klenteng Hok Yoe Kiong. Klenteng Hok Yoe Kiong merupakan tempat
peribadatan umat Tridharma, yaitu Konghucu, Buddha dan Tao). Klenteng ini
terletak di Jalan Raya Sukomoro No. 2, Desa Sukomoro, Kecamatan Sukomoro,
Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur. Lokasi klenteng ini berada di depan
Stasiun Sukomoro.
Keberadaan
klenteng ini tidak lepas dari peran pendirinya yang bernama Soen Boen Lee dari
Kota Nganjuk. Sebagai seorang Tionghoa, ia membuat sebuah tempat pemujaan bagi
Kongco Tik Tjoen Ong di rumahnya. Patung Kongco Tik Tjoen Ong dibawa ke Nganjuk
dari Negeri Tiongkok sekitar tahun 1930-an. Seiring perjalanan waktu, rumahnya
menjadi ramai karena begitu banyak warga Tionghoa yang ikut bersembahyang
sehingga lama-lama tempat untuk sembahyang tersebut sudah tidak mencukupi lagi.
Soen Boen Lee kemudian membangun sebuah klenteng di atas tanah miliknya yang berada di daerah Sukomoro, sekitar 5 kilometer timur Kota Nganjuk arah Kertosono, pada tahun 1953. Setelah selesai, klenteng tersebut mulai digunakan untuk melakukan sembahyang tetapi klenteng tersebut belum diresmikan. Baru pada tahun 1956, klenteng tersebut diresmikan, dan diberi nama Hok Yoe Kiong.
Seperti
bangunan klenteng pada umumnya, klenteng ini memiliki pintu gerbang atau gapura
yang cukup megah yang didominasi warna merah. Di atasnya terdapat ornamen khas
Tionghoa, yaitu huo zhu (mutiara api
milik Sang Buddha) yang diapit oleh dua xing
long (naga yang sedang berjalan). Pintu gerbang tersebut dikenal dengan men lou wu, yang artinya pintu gerbang
untuk masuk ke dalam persil atau lahan.
Usai
melewati men lou wu, pengunjung akan
berada di halaman klenteng tersebut. Di halaman tersebut terdapat dua buah
pagoda yang bernuansakan Buddhisme di sebelah kiri dan kanan halaman. Pagoda
tersebut sebenarnya merupakan miniatur tempat untuk penympanan relik Buddha,
namun di sejumlah klenteng yang pernah saya singgahi, pagoda tersebut acapkali
digunakan untuk tempat pembakaran kim cua
(kertas berwarna keemasan).
Setelah melintas halaman, pengunjung bisa melangkahkan kaki lagi menuju bangunan utama klenteng. Tepat di muka kleteng, pengunjung akan menjumpai sepasang singa yang terbuat dari batu. Patung singa tersebut disebut shi zi.
Menjelang
pintu masuk bangunan utama klenteng, pengunjung akan melihat hiolo,
sebuah bejana berwarna kuning yang digunakan untuk menancapkan dupa
persembahan (hio) kepada Thian (Tuhan
Yang Maha Esa). Kemudian setelah melewati itu semua, barulah pengunjung akan
berada di bangunan utama klenteng tersebut. Bangunan klenteng ini terbagi atas
4 bangunan utama yang terdiri dari 11 altar untuk sembahyang.
Di
atas altar tersebut ditempatkan para Dewa. Dewa atau sesembahan utama di
Klenteng Hok Yoe Kiong ini adalah Kongco Kong Tik Tjoen Ong, yang kemudian
disusul dengan dewa-dewa lainnya secara berurutan setelah dewa utama, yaitu
Kongco Kwan Seng Tee Koen, Kongco Ka Lam Yakon dan Hian Thian Siang Tee, Kongco
Hok Tik Tjin Sing, Kongco Houw Ya Kong, Kongco Kwam Im Po Sat, Kongco Buddha
Sakyamuni, Kongco Thai Sang Laocin, Kongco Khonghucu, dan Kongco Hia Ong.
Klenteng
Hok Yoe Kiong ini tidak terlalu besar, akan tetapi klenteng ini memiliki
keunikan yang tidak terdapat pada klenteng lainnya di Indonesia. Pasalnya, di
klenteng ini terdapat sarang semut hitam yang umurnya lebih tua dari bangunan
klenteng, yang tingginya mencapai dua meter, dengan diameter mencapai dua
setengah meter. Para penganut Tridharma, sarang semut ini dijuluki sebagai Dewa
Semut atau Hia Ong. *** [260714]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar