The Story of Indonesian Heritage

Monumen Lokomotif di Halaman PG Kebon Agung: Jejak Besi di Perkebunan Tebu Malang

Pagi itu, Kamis (08/04), perjalanan dari Kepanjen menuju Kampus Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (FKUB) untuk menghadiri meeting kecil di Ruang NIHR (National Institute for Health and Care Research) UB terhenti sejenak.

Di tepi Jalan Raya Kepanjen – Malang, di pelataran depan Pabrik Gula (PG) Kebon Agung, sebuah monumen tua menarik perhatian saya. Di sanalah berdiri kokoh sebuh lokomotif berwarna hitam dan kuning, diam membisu di bawah naungan langit yang sedikit mendung.

Saya memarkir motor Honda Revo warna hitam di halaman Masjid Al Abror milik PG Kebon Agung. Suasana tenang pagi itu – jalan tidak terlalu padat dan musim giling belum intensif – memberi ruang bagi saya untuk menikmati detik-detik bersama sisa sejarah yang nyaris terlupakan: sebuah lokomotif tua, yang dulu menjadi tulang punggung transportasi hasil kebun tebu dari pelosok lahan menuju PG Kebon Agung.

Monumen Lokomotif PG Kebon Agung dilihat dari sisi timur laut

Di sisi lambung lokomotif, tampak sebuah nameplate (papan nama) bertuliskan: “Henschel & Sohn G.m.b.H. Cassel 1922 – Nr. 19231.” Namun, jika dilihat dari bentuk bodi dan jumlah as roda penggeraknya yang mencapai lima, lokomotif tersebut sebenarnya adalah produksi Orenstein & Koppel (O & K), Jerman. 

Dikutip dari laman steamlocomotive.info, ada 850 lokomotif yang dibangun oleh pabrikan O & K. Salah satu di antaranya disebutkan Kebonagung Mill No. 7 0­-10-­0T+T. Kode lokomotif dijelaskan dibangun pabrikan O&K pada tahun 1922 dengan nomor konstruksi 9906 dan kode E h2t dalam Union Internationale des Chemins de fer (UIC) System.

Kode E h2t memiliki arti tersendiri. “E” menunjukkan susunan roda lokomotif menurut susunan roda Jerman yang menggunakan sistem UIC. “E” berarti lima as roda penggerak (fünf angetriebene Achsen) menunjukkan lokomotif tersebut memiliki lima as roda berpasangan tanpa as roda gandeng. Ini sesuai dengan susunan roda 0-10-0 dalam sistem notasi Whyte Inggris.

Monumen Lokomotif PG Kebon Agung dilihat dari sisi timur atau Jalan Raya Kebonagung No. 1 Dusun Sonosari, Desa Kebonagung, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang

Lalu, “h” di belakang huruf E merupakan singkatan dari Heißdampf, yang berarti uap super panas. Hal ini berlawanan dengan “n” untuk uap basah (Nassdampf). Angka 2 di belakang “h” menunjukkan bahwa lokomotif tersebut mempunya dua silinder. Sedangkan, “t” di belakang angka 2 singkatan dari Tenderlokomotive (lokomotif tangki), yaitu lokomotif yang mengangkut air dan batu bara pada rangka (tanpa tender).

Oleh karena itu, sebutan “E h2t” pada lokomotif pabrikan O&K buatan tahun 1922 dengan nomor konstruksi 9906 berarti Fünfachsige Heißdampf-Tenderlokomotive mit zwei Zylindern (Lokomotif tangki uap super panas lima poros dengan dua silinder).

Lokomotif 9906 E h2t adalah  salah satu dari banyak lokomotif jalur sempit yang dibuat oleh Orenstein & Koppel untuk digunakan di pabrik gula dan perkebunan di Indonesia. Lokomotif ini dirancang untuk mengangkut tebu dan bahan-bahan lain di jalur sempit (600 mm – 750 mm) pabrik gula dan memainkan peran penting dalam industri gula negara ini. Ia kuat, dan dirancang untuk lintasan yang memiliki tanjakan-tanjakan. Lokomotif produksi O&K ini mempunyai daya 150 PS. Kata “PS” di belakang angka 150 tersebut singkatan dari Pferdestärke (tenaga kuda).

Monumen Lokomotif PG Kebon Agung dilihat dari sisi tenggara

Dahulu, lokomotif legendaris ini digunakan untuk menarik lori-lori penuh tebu dari kebun-kebun tebu menuju PG Kebon Agung. Perlu, diketahui jaringan rel lori PG Kebon Agung memiliki panjang 50, 1 kilometer yang mencakup wilayah kebun tebu di barat daya, utara, timur dan selatan PG Kebon Agung.

Lokomotif yang dipajang di pelataran depan PG Kebon Agung mampu menarik sampai 50 lori atau pengangkut tebu. Daya tamping lori setara dengan satu truk. Bayangkan, dentuman ritmis roda besi melaju di atas rel sempit, diiringi kepulan asap yang membelah udara tropis – menjadi saksi geliat industri gula yang dulu begitu hidup.

Kini, mesin besi itu hanya berdiri sebagai monumen diam. Namun ia tak kehilangan makna. Ia adalah saksi bisu zaman, ketika rel-rel kecil menghubungkan kebun, desa, dan pabrik; ketika mesin uap menjadi simbol kemajuan, bukan sekadar peninggalan.

Sesaat sebelum kembali melanjutkan perjalanan ke FKUB, saya sempat memandangi kembali lokomotif itu – menyadari bahwa kemajuan bukan selalu tentang melaju ke depan, tapi juga tentang mengingat dari mana kita pernah datang. *** [100525



Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami