Sesuai
permintaan Ratu Dwarawati, seorang putri dari Campa yang menjadi permaisuri
Bhre Kertabumi atau yang dikenal juga dengan sebutan Brawijaya V, dan atas
persetujuan Raja Brawijaya V, maka Sayyid Ali Rahmatullah diminta untuk memberikan
pelajaran atau mendidik kaum bangsawan dan rakyat Majapahit agar mereka
mempunyai budi pekerti mulia. Permintaan itu dipenuhi oleh Sayyid Ali
Rahmatullah.
Keberangkatan
Sayyid Ali Rahmatullah ke Tanah Jawa ditemani oleh ayahnya, yakni Syekh Maulana
Ibrahim Samarqandi dan kakaknya Sayyid Ali Murtadho. Bersama para utusan
Kerajaan Majapahit, mereka pun meninggalkan Negeri Campa. Mereka tidak langsung
menuju ke kerajaan itu melainkan mendarat lebih dulu di Tuban. Dan di kota
pelabuhan ini, tepatnya di Desa Gesikharjo, Syekh Maulana Ibrahim Samarqandi
yang sebelumnya memang sudah sakit, akhirnya meninggal dunia.
Sementara
itu, Sayyid Ali Murtadho meneruskan pelayarannya ke Madura, kemudian Nusa
Tenggara hingga akhirnya sampai ke Bima. Sedangkan, Sayyid Ali Rahmatullah
kembali melanjutkan perjalanannya menuju ke Kerajaan Majapahit.
Sesampainya
di Kerajaan Majapahit, Sayyid Ali Rahmatullah disambut oleh Ratu Dwarawati,
yang tak lain adalah bibinya sendiri, dan disuruh tinggal sementara di ibu kota
Majapahit. Sambil menikmati kemegahan ibu kota Majapahit, Sayyid Ali
Rahmatullah juga mulai mempelajari kehidupan masyarakat Majapahit untuk bekal
kelak ketika menjalankan dakwahnya.
Sayyid Ali
Rahmatullah juga dijodohkan dengan salah satu putri Majapahit yang bernama Dewi
Condrowati, yang kelak bernama Nyai Ageng Manila. Karena dia adalah menantu
Raja Majapahit, maka Sayyid Ali Rahmatullah juga dianggap sebagai Pangeran
Majapahit.
Sebenarnya
kehidupan kraton bukanlah hal yang baru bagi dirinya, sebab sebelumnya ia juga
tinggal di Kerajaan Campa. Sebagai menantu raja, maka Sayyid Ali Rahmatullah
mendapat gelar Raden di depan
namanya. Maka jadilah ia bernama Raden Sayyid Ali Rahmatullah atau biasa
disebut dengan Raden Rahmat.
Setelah
dirasa cukup tinggal berbulan-bulan di ibu kota Majapahit, Raden Rahmat dengan
diiringi rombongan meninggalkan ibu kota untuk segera melaksanakan permintaan
bibinya dalam memperbaiki moral pejabat maupun masyarakat Majaphit yang konon
sudah kelewat parah dengan perjudian, mabuk-mabukan, mencuri, menghisap candu
dan gemar main perempuan yang bukan istrinya.
Dalam
perjalanannya yang melalui jalur Sungai Brantas menuju daerah Ampel Denta,
tanah yang dipinjamkan oleh Raja Majapahit, Brawijaya V, Raden Rahmat tidak
langsung menuju ke sana. Ketika melintas di daerah Kembang Kuning, Raden Rahmat
tertarik untuk tinggal sementara di daerah tersebut. Raden Rahmat dan rombongan
tinggal di Kembang Kuning untuk beberapa lama sambil melakukan dakwah. Di
daerah ini, Raden Rahmat mendirikan surau kecil yang cukup sederhana, terbuat
dari bambu dan beratapkan dedaunan rumbia, untuk menjalankan syiarnya tersebut
(kini surau tersebut telah menjadi Masjid Rahmat).
Lalu,
setelah dirasa cukup tinggal di Kembang Kuning sambil berdakwah, Raden Rahmat
beserta rombongannya melanjutkan perjalanan untuk menuju ke Ampel Denta, tanah yang
dipinjamkan Raja Mahjapahit seluas 12 hektar untuk dijadikan sebagai pusat
untuk mendidik moral pejabat beserta kerabatnya yang telah mengalami dekadensi
moral.
Sesampainya
di sebuah delta tempat pertemuan antara Kali Mas dan Sungai Pergirian, Raden
Rahmat tertarik untuk tinggal beberapa waktu sambil menjalankan dakwahnya di
daerah tersebut. Di situ, Raden Rahmat juga mendirikan sebuah mushola yang
lebih besar ketimbang yang dibangun di Kembang Kuning.
Awalnya,
mushola yang dibangun cukup sederhana seperti di Kembang Kuning namun lebih
luas dan tiang penyangganya pun terbuat dari kayu jati, dan langit-langitnya
pun juga terbuat dari kayu jati (kini mushola tersebut telah menjadi Masjid Peneleh).
Setelah
dirasa cukup tinggal di daerah Peneleh, Raden Rahmat beserta rombongan
melanjutkan perjalanannya menuju ke Ampel Denta. Di Ampel Denta, Raden Rahmat
mendirikan tempat ibadah lagi yang ketiga, yaitu sebuah masjid. Pembangunannya
dilakukan oleh penduduk pribumi yang kelak menjadi santri-santrinya pada tahun
1421 M. Masjid itu kelak dikenal dengan sebutan Masjid Sunan Ampel.
Masjid
Sunan Ampel terletak di Jalan Nyamplungan Gang Ampel Masigit, Kelurahan Ampel,
Kecamatan Semampir, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur.
Awalnya,
bangunan masjid sekitar 2.069 meter persegi merupakan bangunan tajug tumpang
dua dengan konstruksi kayu dan beratap genteng. Dalam bangunan induk juga
terdapat bangunan menara yang menjulang tinggi ke atas. Di sekeliling bangunan
induk ini terdapat bangunan serambi yang menurut catatan yang ada, merupakan
bangunan perluasan pertama kali pada tahun 1870-1872. Pada serambi ini, dibuat
dinding yang tinggi dengan pintu dan jendela yang besar yang mengisyaratkan
bahwa usai renovasi tersebut, bangunan tersebut berlanggam Indische Empire.
Usai
perluasan yang pertama kali tersebut, Masjid Sunan Ampel mengalami perluasan
sebanyak tiga kali, yakni tahun 1926, 1954, dan 1972. Dan, sejak 1972 kawasan
masjid ini telah ditetapkan menjadi tempat wisata religi oleh Pemkot Surabaya.
Untuk
menuju ke bangunan masjid, pada halamannya terdapat lima pintu gerbang (gapura.
Di sebelah selatan, terdapat gapura Munggah dan gapura Poso. Gapura Madep
berada di sebelah barat bangunan induk,
dan dua lainnya, adalah gapura Ngamal dan gapura Paneksen.
Hingga
kini, bangunan masjid ini masih terlihat kokoh. Dan kemegahannya mempesona siapa pun yang
menyaksikan masjid tersebut. Sekarang, masjid ini diberi nama Masjid Agung
Sunan Ampel.
Masyarakat
di sekitar masjid ini dahulunya adalah para santri dan anak cucu Sunan Ampel.
Sekarang mereka telah berbaur dengan para pendatang lainnya. Meskipun begitu,
mereka tetap memakmurkan masjid yang bersejarah ini. Keikutsertaan mereka dalam
memakmurkan masjid tersebut merupakan wujud partisipasi dalam meneruskan
perjuangan Sunan Ampel.
Mengenai Masjid Sunan Ampel sendiri ternyata
ada dua. Masjid Ampel yang didirikan Sunan Ampel berukuran kecil dan terletak
di sebelah timur. Masjid Ampel yang asli memiliki genting berwarna coklat tua
dan terletak bersebelahan dengan Pasar cinderamata. Sedangkan Masjid Ampel yang
baru memiliki genting bewarna merah cerah, berukuran lebih besar dan langsung
berhadapan dengan pasar cinderamata. ***
Kepustakaan:
Abdul
Baqir Zein, 1999, Masjid-Masjid
Bersejarah di Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press
K.H.
Dachlan, 1989, Wali Songo,
Kenang-kenangan Haul Agung Sunan Ampel ke-544, Surabaya
http://simbi.bimasislam.com/simas/index.php/profil/masjid/564/?tipologi_id=3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar