Prasasti Garamān dikeluarkan oleh Mapańji Garasakan dari Kerajaan
Janggala yang bergelar Śrī Mahārāja Rake Halu pada tahun 975 Çaka atau 1053 Masehi. Prasasti ini
menggunakan aksara dan bahasa Jawa Kuno periode Kediri yang sudah berkembang.
Konon, prasasti ini ditemukan oleh seorang penduduk bernama Moh.
Dahlan dari Dusun Mandungan, Kelurahan Widang, Kecamatan Babat, Kabupaten
Lamongan, Provinsi Jawa Timur, pada 1 Juni 1985. Ia telah menyerahkan empat
buah lempeng tembaga bertulis dari periode abad ke -11 kepada Pimpinan Proyek
Pengembangan Museum Nasional Jakarta, dan mendapat imbalan sebesar 1,9 juta
rupiah. Tidak diketahui di mana prasasti itu ditemukan.
Lempeng pertama berukuran panjang 36,75 cm, lebar 11,70 cm,dan
tebal 0.15 cm, ditulis pada satu sisi; lempeng kedua berukuran panjang 36,65,
lebar 11,70 cm, dan tebal 0.15 cm, ditulis pada kedua sisinya; lempeng ketiga
berukuran panjang 36,95 cm, lebar 11,70 cm, dan tebal 0,15 cm, ditulis pada
kedua sisinya; dan lempeng keempat berukuran panjang 37,15 cm, lebar 11,15 cm,
dan tebal 0,15 cn, ditulis pada kedua sisinya. Setiap lempeng berjumlah delapan
baris, kecuali lempeng IV.b berjumlah 7 baris.
Bentuk tulisan yang ada dalam prasasti Garamān cenderung berbentuk
persegi dan huruf-hurufnya besar-besar. Lebar huruf 0,45 cm, sedangkan panjang
huruf bervariasi, yaitu antara 0,45 cm, 0,60 cm dan 0,75 cm. Prasasti ini,
seperti umumnya di dalam prasasti Airlangga lainnya, memakai bahasa prosa lirik
yang mengandung nilai sastra yang tinggi sehingga kalimat-kalimat yang
digunakan panjang dan lebih dapat dibaca atau dimengerti.
Prasasti ini berisi anugerah dari Mapańji Garasakan kepada
penduduk desa Garamān atas bantuan mereka ketika raja melawan Haji Panjalu,
musuh dan adiknya sendiri.
Prasasti ini secara jelas mendukung keberadaan kerajaan Janggala
dan Panjalu yang semula merupakan satu kerajaan di bawah pemerintahan
Airlangga. Juga memberi tahu bahwa antara raja Janggala dan raja Panjalu ada
hubungan kekeluargaan, yaitu kakak beradik, di mana Mapańji Garasakan adalah
anak laki-laki tertua Airlangga dan adik Sanggrāmawijaya, putri tertua
Airlangga. Keduanya lahir dari permaisuri. Sedangkan Haji Panjalu adalah anak
Samarawijaya dan cucu Dharmawangśa Teguh. Karena kedua anak laki-laki ini
merasa berhak atas tahta kerajaan, maka Airlanga terpaksa membagi dua
kerajaannya agar tidak ada usaha perebutan tahta. Pembagian ini terjadi pada tahun
974 Çaka. Tetapi peperangan antar dua
raja ini tidak terelakkan. Pada tahun ini pula terjadi peperangan antara kedua
raja tersebut.
Prasasti Garamān ini telah dibahas oleh Boechari dalam “The Garamān Inscription”, yang juga
dicantumkam transkripsi dari prasasti tersebut beserta terjemahannya ke dalam
bahasa Inggris. Kini, prasasti ini menjadi koleksi Museum Nasional di Jakarta.
***
Kepustakaan:
Boechari, 2012, Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat
Prasasti, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Nastiti, Titi Surti, 2003, Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VIII –
XI Masehi, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya
Sri
Ambarwati Kusumadewi, 1988, Prasasti Garamān 975 Śaka (1053 Masehi),
dalam Skripsi guna melengkapi persyaratan mencapai gelar Sarjana Sastra di
Fakultas Sastra, Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar