Mushaf Al-Qur’an disalin sesuai dengan ruang dan waktu tempat mushaf itu dibuat, atau dengan kata lain, sesuai dengan latar budaya dan kondisi zamannya. Lokalitas budaya tempat mushaf disalin merupakan faktor yang ikut menentukan dan mempengaruhi variasi bentuk, motif dan warna iluminasi – demikian pula gaya kaligrafinya, dalam taraf tertentu.
Unsur-unsur kreativitas lokal, sebagai hasil serapan budaya setempat, terlihat dalam corak iluminasi yang sangat beragam, dan masing-masing daerah memiliki ciri khas sendiri. Dalam hal kaligrafi, keunikan mushaf Nusantara tampak dalam karakter “kaligrafi floral”, yaitu komposisi kaligrafi yang bermotif tumbuhan. Kreativitas tulisan tersebut dituangkan khususnya pada kepala-kepala surah. Unsur kreativitas lokal itu, baik dalam iluminasi maupun kaligrafi, berkembang sangat leluasa dan berkarakter khas, bahkan dalam bentuk makhluk zoomorphic seperti Macan Ali dan Buraq di Cirebon.
Penyalinan Al-Qur’an secara manual terus berlangsung sampai akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 yang berlangsung di berbagai kota atau wilayah penting masyarakat Islam masa lalu, seperti Aceh, Padang, Palembang, Banten, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Madura, Lombok, Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Makassar, Ambon, dan Ternate. Warisan penting masa lampau tersebut kini tersimpan di berbagai perpustakaan, museum, pesantren, ahli waris, dan kolektor, dalam jumlah yang masih cukup banyak.
Dengan mulai berkembangnya teknologi percetakan litografi (cetak batu) pada pertengahan abad ke-19, penyalinan Al-Qur’an secara tradisional pelan-pelan mulai ditinggalkan, dan beralih pada Al-Qur’an cetak. Al-Qur’an cetak itu di antaranya berasal dari India, Singapura dan Palembang. Namun, karena distribusi Al-Qur’an cetak awal (early printing) pada waktu itu tidak merata di seluruh wilayah Nusantara, penyalinan Al-Qur’an secara manual itu masih terus berlangsung sampai awal abad ke-20. Sejak saat itu, seiring dengan perkembangan teknologi percetakan yang sangat pesat, penyalinan Al-Qur’an secara manual mulai ditinggalkan, dan tradisi seni mushaf yang telah berlangsung selama berabad-abad di Nusantara bisa dikatakan telah berhenti.
Setelah hampir satu abad terhenti, sejak akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 itu, era baru dalam kreativitas seni mushaf tumbuh kembali sejak pembuatan Mushaf Istiqlal pada tahun 1991, berbarengan dengan penyelenggaraan Festival Istiqlal di Jakarta. Sejak saat itu. Gairah dalam pembuatan mushaf indah tampak terus tumbuh, dan sampai saat ini telah ada beberapa mushaf, yaitu Mushaf Sundawi, Mushaf at-Tin, Mushaf Jakarta, dan Mushaf Kalimantan Barat.
Berbeda dengan seni mushaf pada zaman dahulu yang keseluruhannya dibuat secara manual, “mushaf-mushaf kontemporer” ini dibuat dengan memanfaatkan teknologi komputer. Namun, duanya sama-sama indah, mencerminkan kekayaan khazanah budaya bangsa Indonesia. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar