Pada abad ke-5, pusat pertumbuhan kota Jakarta (Jayakarta, Batavia) terletak di muara Sungai Ciliwung, tepatnya di daerah Angke. Daerah ini kemudian lebih terkenal dengan sebutan Muara Angke. Pelabuhan Angke pun merupakan pelabuhan yang diperhitungkan pada masa itu. Termasuk biasa digunakan untuk menyeberang ke Kepulauan Seribu. Kehidupan nelayan memang telah menjadi darah daging di wilayah ini.
Bahkan, kini setelah penataan kawasan dengan perbaikan tata letak yang sudah dilakukan pada tahun 1984, Muara Angke diharapkan menjadi wilayah yang berwawasan lingkungan dan otonom. Di kawasan pemukiman nelayan ini dilaksanakan program penerapan teknologi untuk Kelompok Usaha Tani Nelayan Lokal, Kecil dan Menengah. Selanjutnya, Muara Angke didorong untuk menjadi daerah produksi perikanan dan wisata.
Sementara itu, untuk menjaga kelestarian area di sisi Teluk Jakarta ini, maka dibuatlah Hutan Suaka Margasatwa Muara Angke, Jakarta Utara. Di tempat ini terdapat lebih dari 2.500 pohon bakau (mangrove) dari jenis pidada. Penanaman Bakau tersebut untuk mendukung hutan tetap lestari, sehingga menjadi tempat satwa-satwa berkembang biak dan menjadi penahan banjir di wilayah Jakarta. Sayangnya, hutan mangrove yang semula 1.025 hektar itu, sekarang tinggal 25 hektar (di Suaka Margasatwa Muara Angke) dan 45 hektar (di Taman Wisata Angke Kapuk). ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar