Dalam sejarahnya, di akhir tahun 1900 Kota Solo mulai menerapkan sistem trem kota untuk angkutan umum. Mulainya dari pusat kota, yaitu dari halte yang berada di depan beteng Vastenburg. Trem tadi setiap melewati halte berhenti untuk menurunkan dan menaikkan penumpang. Jalannya trem menuju ke selatan lalu belok ke arah barat menuju stasiun Purwosari. Kereta trem tadi berhenti pertama kali di Kampung Kauman, lalu Kampung Derpoyudan sebelah barat Nonongan, lalu ke barat berhenti di halte Pasar Pon. Di situ kereta bisa berpapasan dengan kereta trem yang dari arah barat. Jalannya trem tadi mengikuti jalan besar yang berada di bagian selatan. Kea rah barat lalu berhenti lagi di Bendha depan Sriwedari. Lalu terus ke barat sampai Pesanggrahan (dulu Dalem Ngadisuryan), lalu belok ke utara melintas jalan besar menuju ke stasiun Purwosari, dan berhenti.
Dari stasiun Purwosari, kereta trem melanjutkan perjalanannya ke arah barat hingga Gembongan. Di Gembongan terdapat pabrik gula, jadi kereta trem tersebut sekalian melayani para pekerja pabrik yang mau ke Solo.
Kereta trem yang ditarik kuda tersebut berhenti terakhirnya hanya sampai di Gembongan. Kereta tersebut hanya memiliki satu gerbong saja, dan ditarik oleh empat ekor kuda. Setiap 4 Km kudanya diganti. Gerbong tadi hanya berisi 20 orang, maksimal 25 orang.
Anehnya, dulu yang sering naik trem adalah orang asing yaitu Belanda dan Cina. Bangsa kita yang mau atau berani naik hanya para ningrat atau para saudagar, karena rakyat pada umumnya (wong cilik) itu selain sungkan atau takut juga lantaran ongkosnya yang begitu mahal.
Banyak orang yang lebih menyukai jalan kaki atau naik kereta biasa, dokar atau gerobag. Kala itu orang berjalan masih nyaman, karena sepanjang jalan masih banyak tanaman besar yang rimbun sehingga terlihat rindang dan teduh. Orang berjalan merasa tentram, tidak merasa tergesa-gesa. Zaman dulu banyak masyarakat yang memiliki rumah di pinggir jalan besar, senantiasa menyediakan kendi atau gentong berisi air untuk menyediakan bagi pejalan kaki yang sedang menempuh perjalanan jauh. Pejalan kaki bisa berhenti dan minum air yang telah disediakan.
Pada tahun 1905 kereta yang ditarik kuda diganti dengan ditarik lokomotif yang jalannya menggunakan tenaga uap atau setum. Gerbongnya pun juga tambah menjadi 10, sebagian untuk penumpang, dan sebagian lagi untuk mengangkut barang.
Bersamaan dengan itu, muncul juga kereta besar SS (Staats Spoorwegen) dari Madiun menuju Yogyakarta sehingga di Jebres didirikan sebuah stasiun.
Kereta trem yang semula hanya sampai Benteng Vastenburg lalu dilanjutkan sampai Stasiun Jebres. Setelah kereta trem ditarik menggunakan lokomotif, wong cilik mulai berani dan mau naik trem tersebut.
Pada tahun 1916 rute kereta trem tersebut mulai dirubah. Dulunya jalannya ke arah utara hingga Stasiun Jebres, sekarang diteruskan ke arah timur berhenti di Stasiun Kota (di Sangkrah). Lalu dilanjutkan menuju ke timur melintasi Sungai Bengawan Solo hingga Kronelan. Lalu, diteruskan ke arah timur terus menuju selatan hingga sampai Kali Samin. Lalu, dilanjutkan menuju Sukoharjo, Nguter, Tekaran hingga Wonogiri. Dari Stasiun Wonogiri diteruskan ke arah selatan hingga Baturetno.
Sedangkan rute yang mengarah ke barat juga diperpanjang. Semula hanya sampai di Gembongan, lalu dilanjutkan ke arah barat sampai depan Pasar Kartasura, Bangak, Banyudono, Mojosongo, dan terakhir berhenti di Boyolali.
Perusahaan yang mengoperasikan kereta dari Baturetno melintasi Kota Solo menuju Boyolali itu namanya “Nedelandsch Indische Spoorweg Maatschappij”, yang disingkat menjadi NIS, yaitu perusahaan yang membuat jalur kereta (rel) yang pertama kali di Indonesia pada tahun 1864 dari Semarang hingga Solo. Yang kemudian hari, jalur kereta tersebut diteruskan hingga Yogyakarta. Jadi, antara Solo dan Yogyakarta ada jalur kereta NIS dengan luas rel 1,47 m, dan kereta SS, luas relnya 1,07 m. Pada tahun 1943, rel kereta antara Kartasura dan Boyolali dibongkar Pemerintah Jepang. Rel kereta Wonogiri-Baturetno pada tahun 1980 mulai tergenang dan terendam air Waduk Gajah Mungkur.
Kereta trem yang melintasi rute Boyolali-Solo-Baturetno pulang pergi tersebut wujudnya seperti kereta besar namun jalannya sering berhenti, sekadar mengangkut pedagang (bakul) yang berasal dari pedesaan yntyk memasarkan hasil pertaniannya ke Solo. Semula trem ini dikelola oleh Maatschappij dan kemudian diambil alih oleh NIS.
Saat ini operasi trem kota sudah lama berhenti, namun untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas transportasi umum di Kota Solo, maka Walikota Solo Bapak Ir, Joko Widodo berniat untuk menerapkan kembali sistem transportasi trem yang dulu pernah beroperasi. ***
Kereta trem yang melintasi rute Boyolali-Solo-Baturetno pulang pergi tersebut wujudnya seperti kereta besar namun jalannya sering berhenti, sekadar mengangkut pedagang (bakul) yang berasal dari pedesaan yntyk memasarkan hasil pertaniannya ke Solo. Semula trem ini dikelola oleh Maatschappij dan kemudian diambil alih oleh NIS.
Saat ini operasi trem kota sudah lama berhenti, namun untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas transportasi umum di Kota Solo, maka Walikota Solo Bapak Ir, Joko Widodo berniat untuk menerapkan kembali sistem transportasi trem yang dulu pernah beroperasi. ***
Menarik sekali, tapi berhubung menceritakan searah tentu bakal lebih sahih dan terpercaya bila ada daftar pustakanya :)
BalasHapus