Balai
Soedjatmoko yang ada di Jalan Slamet Riyadi, Solo ternyata memiliki sejarah
menarik. Soedjatmoko menjadi seorang tokoh penting hingga masa Orde Baru,
kiprahnya mulai menjadi anggota Partai Sosialis Indonesia (PIS), delegasi PBB, Konferensi
Asia Afrika hingga sempat menjadi Duta Besar RI untuk Amerika Serikat.
Namun
yang paling menggerakkan adalah aktivitas intelektualnya. Solo disebut-sebut
menjadi tempat tinggalnya semasa pendudukan Jepang, dan di kota ini ia menekuni
banyak wacana berbagai budaya. Bersama keluarganya, Soedjatmoko tinggal di
bangunan yang kini menjadi situs bernama Balai Soedjatmoko.
Dulu,
tempat ini adalah rumah ayah DR Soedjatmoko yaitu Prof. Dr. KRT. Mohammad Saleh
Mangundiningrat. Dr. Saleh adalah seorang dokter Kraton Kasunanan Surakarta.
Maka oleh Sri Susuhunan Paku Buwono (PB) X – seorang raja yang besar, kaya dan
pintar - DR Saleh diberi sebuah rumah yang sekarang dikenal dengan nama Balai
Soedjatmoko itu.
Saleh adalah di antara sedikit anak bangsa pada masa penjajahan yang bernasib baik. Setelah meraih gelar dokter (Indisch Arts) dari Stovia (School tot Opleiding Inlandsche Arts, Sekolah Dokter Pribumi) pada 1916, pada tahun 1929 meraih gelar doktor dalam Ilmu Kedokteran di Universitas Amsterdam dengan disertasi "Over Echinococcus" di bawah penyelia Prof. Dr. Noordenbosch. Siapa mengira pada masa itu, seorang Saleh kelahiran Balerejo, sebuah desa yang terletak antara Kota Madiun dan Ponorogo, akan berhasil meraih prestasi akademik tertinggi di Eropa, pada saat lebih 90 persen rakyat Indonesia masih hidup dalam keadaan buta huruf. Saleh, yang tak mau melibatkan dirinya dalam gerakan politik, baik di Negeri Belanda maupun di Tanah Air, telah mengabdikan ilmunya untuk kepentingan rakyat banyak, semula di Sawahlunto, seterusnya di Kediri, Surabaya, Manado, dan terakhir di Solo, sampai wafat.
Soedjatmoko lahir di Sawahlunto pada tahun 1922, namun pada tahun 1943 semasa pendudukan Jepang, ia pindah dan menetap di Solo, hingga wafat di Yogyakarta pada tahun 1989.
Kini,
rumah tua yang dibangun pada zaman kolonial itu telah dibeli oleh Group
KOMPAS GRAMEDIA untuk dijadikan Toko Buku Gramedia di Solo. Namun bangunan kuno
tersebut tidak serta merta dihancurkan atau dirobohkan. Di tangan Jakob Oetama,
pemilik Group KOMPAS GRAMEDIA, rumah tua itu direnovasi, dan dijadikanlah
sebagai Balai Soedjatmoko. Jakob Oetama mengatakan bahwa penamaan Balai
Soedjatmoko memiliki niat untuk pelestarian bangunan rumah dan melacak jejak
teladan kecendekiawanan Soedjatmoko (1922-1989) yang pernah tinggal di Solo.
Akhirnya,
pihak manajemen Gramedia Solo memfungsikan Balai Sudjatmoko sebagai pusat
apresiasi baik pementasan, pertunjukan, pameran, bedah buku dan sarasehan. Para
seniman juga diberi kesempatan luas untuk memanfaatkan Balai Sudjatmoko untuk
melakukan apresiasi seni dalam bentuk pameran baik pameran lukisan, patung,
kriya sampai dengan pameran pendidikan. Di samping itu, Balai ini juga dapat
dijadikan sebagai alternatif wahana pembelajaran bagi orang non seni. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar