Koran
Sipatahoenan bisa disebut puncak
pencapaian pers di Tasikmalaya sebelum kemerdekaan. Koran ini lahir sebagai
hasil rekomendasi kongres Paguyuban Pasundan pada 1923 di Bandung. "Harita nya diputuskeun ngaluarkeun surat kabar mingguan basa Sunda make ngaran Sipatahoenan, sarta ieu surat kabar teh jadi milikna Paguyuban Pasundan cabang Tasikmalaya, nya kitu deui tempatna age di Tasikmalaya".
Sipatahoenan digawangi oleh “duet
maut” Soetisna Sedjaja di keredaksian dan Ahmad Atmadja pada administasi.
Atmadja kelak dikenal sebagai tokoh pendidikan di lingkunagn Pasundan dan
memimpin Bale Pamulangan Pasundan. Sementara Soetisna Sedjaja atau populer
sebagai Soetsen, adalah wartawan sejati. Tokoh ini sebelumnya sudah malang
melintang menggawangi orgaan Pasoendan yang
merupakan kelanjutan dari Papaes Nonoman.
Soetsen saat itu menjabat sebagai Sekretaris 1 Pengurus Besar Paguyuban
Pasundan atau setingkat sekretaris jenderal untuk ukuran sekarang. Ia mengelola
Pasoendan sejak nomor 1, tahun ke 6 (dihitung dari penerbitan Papaes Nonoman pada 1914), 17
Februari 1919.
Salah
satu tulisan Soetsen yang sangat berharga selama mengelola Pasoendan adalah laporannya tentang
pelantikan bupati Bandung R.T. Wiranatakoesoema, 12 April 1920. Karena Pasoendan terbit bulanan, laporan
itu baru terbit pada 5 Mei 1920. Gaya tulisannya jenaka tapi padat
berisi. Ia juga tak lupa menurunkan lengkap pidato Wiranatakoeseoma setelah
dilantik sebagai bupati. Laporan Soetsen itu bisa disebut reportase yang
lengkap mengenai satu peristiwa yang sangat bersejarah bagi Kabupaten Bandung.
Sipatahoenan memang lahir dari
tangan dingin Soetsen. Lokasi terbit di Tasikmalaya semata-mata mengikuti
kepindahannya dari Bandung ke Tasikmalaya. Ia seorang guru HIS dan berstatus
semacam PNS. Tempat kerjanya kerap berpindah-pindah sesuai penugasan dari
pemerintah. Beruntung di Tasikmalaya ia mendapatkan partner yang setara, yakni
Ahmad Atmadja.
Bagaimanakah Sipatahoenan dijalankan dengan idealisme dan dedikasi yang seolah musykil itu? Menarik untuk menyimak penuturan Oot Hidajat keopada Abdullah Mustappa pada akhir 1970-an. Oot mantan wartawan Sipatahoenan selagi terbit di Tasikmalaya yang kemudian membantu majalah Mangle. Menurut Oot, setiap pagi seraya membawa sejumlah eksemplar koran, ia menggayuh sepeda ke wilayah kerjanya di bagian Selatan hingga Karang Nunggal. Ia pertama-tama membagikan koran pada pelanggan dan mengisi lapak-lapak pengecer. Lalu ia berkeliling mencari berita dari berbagai sumber. Setelah hari siang sambil pulang ia menagih hasil penjualan koran hari itu atau uang langganan yang sudah jatuh tempo. Maka sekali jalan ia telah menjalankan tiga fungsi sekaligus: distribusi, wartawan, dan keuangan.
Dengan
cara militan itulah Sipatahoenan
tumbuh, berkembang dan mencapai puncaknya. Terbit mingguan (weekblad), dua minggu sekali, lalu
menjadi harian (dagblad). Setelah berjalan baik di
Tasikmalaya, Sipatahoenan kemudian ditingkatkan
kapasitasnya yang ditandai dengan kepindahan redaksi ke Bandung pada awal
1930-an, setelah Paguyuban Pasundan dipimpin oleh Oto Iskandar di Nata. Sejak
saat itulah Sipatahoenan didukung penuh oleh
Pengurus Besar Paguyuban Pasundan. Pada 1939, koran ini mencapai puncak
kejayaannya dengan peresmian Gedung Sipatahoenan
bangunan dua lantai yang megah dan bertempat di jantung kota Bandung, di Jalan
Dalem Kaum. Koran ini memang bukan orgaan resmi
Paguyuban Pasundan tetapi lebih sebagai corong. Koran ini memuat berbagai
persoalan kehidupan secara kritis sehingga pernah dua kali dibeslag. Dari Sipatahoenan lahir sejumlah
jurnalis handal seperti Bakrie Soeraatmadja dan Moehamad Koerdi (Sjarif Amin).
Walhasil, sudah sepantasnya jika
PWI Tasikmalaya dengan didukung oleh PWI Jabar menjadikan sejarah Sipatahoenan sebagai spirit
berkiprah dalam dunia pers. Hal itu bisa diawali dengan mengangkat nama
Soetisna Sendjaja sebagai tokoh pers Jabar. Soetsen benar-benar jurnalis
sejati. Dalam rentang 1919-1961, Soetsen tidak pernah lepas dari dunia pers
Sunda. Sampai wafatnya pada 9 Desmber 1961, ia tengah mengelola kalawarta Kudjang. [Iip D. Yahya, peneliti dan penulis kelahiran Sulawu Tasikmalaya, tinggal di Bandung]
Sumber:
luar biasa sekali mengenai kiprah sutsen, bahkan namanya banyak diabadikan di kota kota besar di Jawa Barat, namun sangat jarang bahkan nyaris tidak ada buku yang membahas secara eksplisit tentang pahlawan Sunda ini.
BalasHapusatau mungkin jika penulis memiliki sumber yang relevan dengan sutsen bis berbagi disini.
terimakasiih....