Cheng
Hoo atau Zheng He (1371 – 1435), marga aslinya ‘Ma’ atau Mohammad dan bernama ‘He’
(artinya damai) alias ‘San Bao’
(berarti anak tersayang yang ketiga). Zheng He terkenal sebagai Kasim ‘Sam Po’ (ejaan menurut dialek Fujian)
dan keturunan etnis ‘Hui’ yang berasal dari Xi Yu (Bukhara di Asia Tengah, kini
termasuk Provinsi Xinjiang), dan turun temurun menganut agama Islam. Kemudian
mereka pindah ke Kunming, Provinsi Yunan, Tiongkok barat daya dan menetap di
situ.
Konon
dikisahkan bahwa salah satu nenek moyangnya adalah Zaidinsyeh Syamsuddin,
seorang raja di Xian-yang, Provinsi Yunan. Moyang prianya bernama Bay An.
Sedang kakeknya Media dan ayahnya Myrikin. Baik kakek maupun ayahnya sudah
menunaikan ibadah fardu haji ke tanah suci Mekkah. Karena itu, mereka dihormati
dengan nama panggilan ‘Hazhi’ (‘Haji’
dalam bahasa Tionghoa). Ayahnya yang dipanggil sebagai Ma Hazhi, terkenal
sangat bijak dan murah hati yang suka menolong kaum fakir miskin dan yatim
piatu, janda/duda, sehingga amat disegani oleh masyarakat – penduduk di
lingkungannya.
Sejak
kecil, Cheng Hoo (Zheng He) sudah terkesan amat pintar dan cerdas, bersifat
cermat dan rendah hati. Hingga dewasa, watak pembawaannya berkembang menjadi
sangat cakap dan tampan, tulus, simpatik dan pandai bergaul. Wawasan dan
visinya yang luas jauh ke depan tercermin jernih, mantap dan mudah dipahami
untuk diikuti. Zheng He berjasa besar dalam banyak pertempuran selama mengikuti
pasukan di bawah pimpinan Zhu Di, Raja Van yang kemudian menjadi Kaisar Vong
Be. Karena itulah oleh Kaisar Zhu Di, Ma He dianugerahi marga Zheng serta
dipromosikan menjadi kasim perdana, berkuasa penuh untuk memimpin semua kaum
kasim intern di istana.
Pada
tahun 1405, dengan mengemban misi yang dititahkan oleh Kaisar Dinasti Ming dan
sebagai panglima armada dan seorang muslim yang saleh, Laksamana Cheng Hoo
memulai pelayarannya yang berturut-turut “Tujuh Kali Mengarungi Samudera
Hindia”, berlangsung dengan melawan gulungan ombak dan badai yang dahsyat di lautan.
Selama
26 tahun (1405 – 1433), Cheng Hoo telah memimpin awak kapal yang berjumlah
lebih dari 27.800 orang yang terlatih sempurna, berdisiplin tinggi dan
terorganisir secara solid, dilengkapi armada terbesar di dunia waktu itu, yang
terdiri dari ratusan kapal kuat dan berkualitas tinggi. Misi utamanya adalah
untuk melangsungkan dan memperbanyak kunjungan muhibah yang timbal balik antara
Tiongkok dengan negara-negara kerajaan di Asia – Afrika dan sekitarnya,
mempererat hubungan kebudayaan dan perdagangan antar bangsa, merintis dan
memperlancar jalur dan frekuensi lalu lintas pelayaran di antara
kawasan-kawasan dimaksud.
Akhirnya,
Cheng Hoo berhasil menunaikan misinya yang berat dan mulia itu dengan sempurna.
Sehingga Cheng Hoo patut dihargai sebagai muslim Tiongkok yang taat, penuh rasa
tanggung jawab, di samping sebagai duta/utusan perdamaian yang terbaik demi
memajukan hubungan kerukunan dan persahabatan antara Tiongkok dengan
negara-negara kerajaan yang dikunjunginya. Laksamana Cheng Hoo bukan saja hanya
tercatat sebagai bahariawan yang terbesar di sejarah Tiongkok, tetapi juga
pelayar perintis yang luar biasa tangguh dan berbobot dalam catatan sepanjang
sejarah navigasi dunia.
Armada
Cheng Hoo sudah muncul jauh sebelum ‘Period
of the Great Navigation’ yang diperagakan oleh konvoi kapal dagang Eropa
pada waktu menampakkan dirinya di samudera. Apabila diperbandingkan masa
penjelajahannya dengan bahariawan Spanyol, 87 tahun yang lalu, Christopher
Columbus, yang menyeberangi Samudera Atlantik dan berhasil menemukan Benua
Amerika; 92 tahun yang lalu seorang bahariawan Portugis, Vasco da Gama,
menempuh dan membelok pelayarannya di Tanjung Harapan lalu memasuki Samudera
Hindia; kemudian 116 tahun yang lalu menyusul bahariawan Portugis lainnya,
Ferdinand Magellan, yang telah mengelilingi dunia, maka sesungguhnya Laksamana
Cheng Hoo telah menjelajah lebih awal dibandingkan ketiga bahariawan dunia
tersebut. Dan semua ini sudah merupakan fakta otentik sejarah yang tidak
terbantahkan.
Armada
raksasa yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Hoo, telah berhasil merintis jalur
pelayaran langsung dari Tiongkok ke Samudera Hindia, Laut Merah dan pantai
timur Benua Afrika. Di sepanjang pelayarannya, Cheng Hoo telah menelusurinya
lebih dari 50 negara kerajaan dan region
wilayah yang dikunjunginya dan dibukanya pula 40 lebih rute pelayaran yang
serba baru antar benua, negara dan bangsa. Jumlah seluruh jarak lalu lintas
pelayaran yang ditempuh armada Laksamana Cheng Hoo adalah lebih dari 160.000
mil laut atau sama dengan 296.000 km lebih. Bersamaan dengan itu, telah
dikumpulkan pula berbagai data peta dan skema pelayaran yang signifikan dan
sangat bernilai berikut gambar peta pelayaran yang terawal di dunia yang
memperkaya pengetahuan umat manusia tentang ilmu bumi dunia dan teknologi
maritim. Dan sesungguhnya, di bawah naungan armada Laksamana Cheng Hoo sejarah
pembaharuan dan kemajuan navigasi pelayaran dunia sudah tercapai puncak
klimaksnya pada waktu itu.
Laksamana
Cheng Hoo telah mencurahkan segenap jiwa raganya demi usaha navigasi pelayaran
dan berhasil merintis ‘Jalan Sutera dan Porselin’, memantapkan saling
pengertian dan persahabatan antara Tiongkok dengan berbagai negara kerajaan di
Samudera Hindia. Di samping itu, telah pula kemakmuran dan perkembangan ekonomi
antar bandar dan kota-kota di Asia Tenggara.
Kisah
Kasim Sam Po ‘Tujuh Kali Mengarungi Samudera Hindia’ pada 600 tahun yang silam
sungguh merupakan suatu prestasi yang luar biasa dan jasanya pasti akan
tercatat di sepanjang sejarah. Selama perjalanan navigasinya, armada Laksamana
Cheng Hoo telah membentangkan layarnya dan berusaha maju siang malam dalam
gelombang yang bergulung-gulung. Di antara negara-negara kerajaan yang
dikunjungi di Asia dan Afrika, terdapat Kerajaan Majapahit di Jawa, (bekas)
Kerajaan Samboja di Palembang dan Kerajaan Samudera Pasai di Aceh – Sumatera.
Semarang dan Surabaya yang masing-masing di Jawa Tengah dan Jawa Timur
merupakan kedua tempat/bandar persinggahan terpenting yang selalu dikunjungi.
Muslim
Ma Huan, pembantu dekat Laksamana Cheng Hoo yang beberapa kali ikut dalam misi
pelayarannya, mengisahkan pernah bertemu dengan sejumlah muslim Tiongkok yang
menetap di Jawa ketika itu (di awal abad ke-15). Ini berarti keberadaan muslim
keturunan Tionghoa di Indonesia telah berpangkal dan bersejarah panjang. Pada
tahun 1961, ulama besar dan cendekiawan Indonesia terkemuka, Buya Haji Hamka,
pernah menulis kata-kata yang patut direnungkan baik-baik yang antara lain
mengatakan bahwa suatu nama muslim dan Cina yang amat erat kaitannya dengan
kemajuan dan perkembangan agama Islam di Indonesia dan Tanah Melayu, adalah
Laksamana Cheng Hoo.
Sampai
kini, tempat-tempat peninggalan yang pernah dijelajahi oleh Laksamana Cheng Hoo
yang bersejarah 600 tahun, tetap masih dapat ditelusuri. Muslim Cheng Hoo yang
berprestasi dan berjasa besar telah memperoleh penghormatan dan pujian tinggi
serta luas di kalangan rakyat dan masyarakat.
Pada
suatu ketika, Cheng Hoo mendapat tugas dari Raja Dinasti Ming untuk ikut
menghadiri upacara pembukaan vihara Buddha, meski Cheng Hoo seorang muslim
tetapi beliau tetap mengikuti upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan
kepada umat Buddha. Karena melihat kesalehan dan wibawa beliau, oleh Kepala
Biksu Kerajaan kemudian Cheng Hoo dianugerahi nama kehormatan Buddha ‘Fuk San’. Fuk berarti rezeki dan San
memiliki arti orang yang berjiwa saleh. Begitu juga oleh saudara-saudara seiman
dari Buddha yang kagum terhadap sikap beliau, Cheng Hoo dianugerahi julukan ‘Foo Fak Chen’. Foo berarti orang yang dianggap sebagai nabi, Fak berarti taat terhadap hokum Islam dan Chen berarti puasa. Dari julukan tersebut berkembang menjadi ‘San Pau’. San berarti tiga dan Pau
memiliki arti jimat.
Sampai
sekarang, Cheng Hoo dijuluki sebagai ‘San
Pau Ta Ren/San Poo Tua Lang’, semua ini karena sifatnya yang saleh, taat
beragama, tidak membeda-bedakan orang lain dan agama. Di manapun Cheng Hoo
berlabuh tidak pernah menjajah negara-negara yang dikunjunginya meski armada
beliau dibekali dengan perlengkapan senjata lengkap, bahkan Cheng Hoo banyak
membantu kaum miskin dan duafa tanpa memandang suku, agama dan harta. Atas
dasar tersebut, banyak yang memberikan penghormatan kepada Cheng Hoo
berdasarkan agama/kepercayaan masing-masing hingga sekarang, terutama mereka
yang beragama Buddha dan Tao. ***
Sumber:
- Buku Sekilas Tentang Masjid Cheng Hoo Indonesia Cetakan ke-4 (Dalam 4 bahasa: Indonesia, Inggris, Mandarin dan Arab) terbitan Yayasan Haji Muhammad Cheng Hoo Pemilik Anggota PITI se-Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar