Usianya
sudah hamper seabad. Namun, di tengah kerentaannya, Bendung Wilalung di
Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, berkali-kali menyelamatkan
ratusan ribu penduduk Kabupaten Kudus, Pati, dan Demak.
Tanpa
bending dengan 11 pintu pembagi pintu banjir itu, banjir tahunan dari Sungai
Serang dan Lusi sulit dikendalikan. Tanpa bendung buatan Pemerintah Hindia
Belanda tahun 1892 tersebut, banjir selalu melanda permukiman dan sawah
masyarakat.
Bendung
Wilalung merupakan bangunan pembagi pintu banjir yang bertujuan melindungi
daerah Demak, Kudus, dan Grobogan dari banjir. Pemerintah Hindia Belanda
membangun bendung itu pada 1908-1916 di percabangan Sungai Serang.
Pemerintah
Hindia Belanda mengoperasikan bending tersebut pada 1918. Sebelum bending itu
dibangun, pada 1892, Pemerintah Hindia Belanda membangun saluran besar yang
menghubungkan Sungai Serang dan Sungai Gelis yang sekarang disebut Sungai
Wulan, dengan tujuan memperpendek jarak Sungai Serang ke laut.
Pada
waktu itu, bending pembagi pintu banjir dibuat untuk mengatur dan mengalihkan
luapan banjir Sungai Serang ke Sungai Wulan dan Juwana. Debit air maksimal
Sungai Serang 1.350 meter kubik per detik dilewatkan ke 2 pintu Sungai Wulan
sebesar 350 meter kubik per detik dan 9 pintu Sungai Juwana 1.000 meter kubik
per detik.
Salah
satu kepentingan Pemerintah Hindia Belanda membangun bending ialah melindungi
Kudus yang pada waktu menjadi daerah penopang perdagangan Karesidenan Semarang.
Di bagian timur Distrik Undaan terdapat Rawa Gede, suatu rawa besar yang
melewati perbatasan dengan Distrik Kajen (sekarang Kayen di Kabupaten Pati).
Pembuangan rawa ini adalah Sungai Juwana. Batas barat Kota Kudus adalah Sungai
Serang yang di kedua sisinya dibangun bendungan. Di Wilalung Distrik Undaan,
dibangun sebuah pintu air besar yang mengatur air banjir ke Sungai Babalan atau
Juwana dan Tanggulangin (Sungai Wulan).
Seiring
dengan kerusakan alam di hulu dan sedimentasi Sungai Lusi dan Serang, Bendung
Wilalung mulai kesulitan mengendalikan banjir. Pada tahun 1995, pemerintah
membangun kanal banjir yang mengalirkan air ke Sungai Wulan 400 meter kubik per
detik.
“Kanal
banjir itu dibangun setelah banjir melanda Kudus pada 1993. Waktu itu, debit
air Sungai Serang sebesar 1.600 meter kubik per detik sehingga melebihi batas
tamping Bendung Wilalung,” tutur Kaspono, tokoh petani Kudus dan anggota Dewan
Sumber Daya Air Jawa Tengah, Senin (17/12).
Setelah
itu, banjir besar kembali landa Kudus, Demak, dan Pati pada 2003, 2007, dan
2008. Hal itu terjadi karena kondisi bending memprihatinkan. Hanya 2 pintu
menuju Sungai Wulan dan 2 pintu menuju Sungai Juwana yang bisa dioperasikan.
Selain
itu, kapasitas tamping sungai-sungai menurun. Kapasitas Sungai Wulan turun dari
1.000 meter kubik per detik menjadi 725 meter kubik per detik dan Sungai Juwana
juga merosot drastis dari 1.650 meter kubik per detik menjadi 150 meter kubik
per detik.
Beragam
kondisi itu pada akhir 2007 menyebabkan tanggul kanan Sungai Wulan di Desa
Medini, Kudus, jebol di tujuh titik sepanjang total 203 meter. Banjir setinggi
2 meter itu menyebabkan 6.092 hektar lahan dan 35.000 rumah tergenang serta
12.076 warga mengungsi.
Pada
tahun 2011 dan 2012, Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Serang-Lusi-Juwana (BPSDA
Seluna) memperbaiki Bendung Wilalung. Dua pintu bending menuju Sungai Wulan
dipotong agar sampah tidak menyumbat dan memperlancar arus air ke Sungai Wulan.
Adapun
tiga pintu pembagi banjir menuju Sungai Juwana telah diperbaiki dan dapat
difungsikan kembali. Perbaikan itu juga didukung dengan sejumlah normalisasi di
Sungai Wulan, Serang, dan Juwana.
“Ketiga
pintu itu berfungsi untuk mengalirkan banjir ke Sungai Juwana ketika Sungai
Wulan tidak mampu menampung banjir. Namun, prosedur operasional standarnya
belum kami dapat dari BPSDA pusat,” kata
Noor kholis, Koordinator Verbal BPSDA Wilayah Juwana. [HENDRIYO WIDI]
Sumber:
- KOMPAS Edisi Kamis, 3 Januari 2013
wilalung ikut Demak gan...
BalasHapuskecamatan gajah...