Rumah
Banjar di Kalimantan Selatan atau yang disebut juga rumah Bubungan Tinggi,
berkat bentuk atapnya yang tinggi dengan sudut 60 derajat. Bangunan rumah adat
Banjar ini diperkirakan telah ada sejak abad ke-16, ketika Banjar di bawah kekuasaan
Pangeran Samudera.
Bubungan
Tinggi awalnya hanya dipakai oleh para bangsawan keratin. Namun, dalam
perkembangannya, arsitektur rumah ini juga diadopsi oleh masyarakat dari
berbagai lapisan.
Rumah
Banjar di Kalimantan Selatan kini pun hanya segelintir. Salah satunya, yang
berada di Teluk Selong, Martapura.Di desa ini terdapat rumah Banjar yang telah
berusia ratusan tahun.
Rumah
ini telah berdiri sejak tahun 1814 dengan arsitektur dan desainnya yang menjadi
sebuah refleksi lapisan social-ekonomi masyarakat sekaligus cara mereka hidup
berdampingan dengan alam.
Seluruh
rangka maupun fondasi menggunakan kayu ulin, yang merupakan pohon khas
Kalimantan Selatan. Semakin lama terkena air, kayu ulin justru semakin kuat,
sesuai dengan kondisi lingkungannya yang biasanya merupakan rawa-rawa atau
berlumpur. Itu sebabnya, meski telah berusia ratusan tahun, rumah ini tetap
kokoh berdiri.
Fondasinya
terbuat dari kayu ulin utuh yang menyambung dari fondasi hingga langit-langit
rumah, dengan panjang total 15 meter. Tinggi fondasinya sendiri sekitar 3-4
meter, sementara tinggi langit-langit dalam ruangan mencapai 7 meter.
Bagian
bawah rumah panggung biasanya menjadi tempat penggilingan padi. Interior rumah
pun terbagi ke dalam beberapa area dengan level permukaan yang berbeda. Bagian
kanan khusus untuk orangtua, sementara sebelah kirinya untuk anak-anak muda.
Ada pula ruang khusus (yang biasa disebut kamar untuk bujang), yang terletak
tepat di atas dapur dan tidak seberapa tinggi, menjadi tempat khusus bagi
remaja jika ada tamu yang datang.
Lokasinya
mengartikan tamu sang anak diwajibkan bertemu dengan orangtua terlebih dulu,
baru kemudian boleh bertemu. Pembagian area pun brlaku untuk memisahkan kaum
Adam dan Hawa, yang area paling depan biasanya tempat para lelaki berkumpul dan
area tengah bagi anak-anak dan perempuan.
Rumah
Banjar terdiri dari beberapa tipe. Selain Bumbungan Tinggi, ada pula yang
disebut Gajah Baliku. Bentuknya pun berbeda. Gajah Baliku tidak memiliki
jenjang lantai dan atapnya memakai kuda-kuda dengan atap perisai (atap gajah).
Inilah nostalgia sekaligus bukti peradaban masyarakat Banjar yang kini makin
sulit ditemui, mengingat sejak tahun 1930-an rumah ini tak lagi banyak dibangun
karena alasan biaya dan areal tanah yang kian terbatas. [ADT]
Sumber:
KOMPAS Edisi Sabtu, 6 Juli 2013 hal. 45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar