Wisata
Alam Bukit Kelam terletak di Kabupaten Sintang dengan luas 520 hektar, dan
memiliki keindahan yang khas sebagai daya tarik obyek wisata alam perbukitan. Sebagai
kawasan hutan wisata, keberadaan obyek rekreasi dan wisata alam Bukit Kelam
menjadi peranan penting untuk menghadirkan pengunjung. Beberapa obyek menarik
tersebut adalah panorama alam yang menampakkan sebuah tebing terjal setinggi ±
600 meter yang diselingi hutan lebat di kaki gunung dan puncaknya, terdapat
pula air terjun. Hutan wisata Bukit Kelam berada di antara dua sungai besar
yaitu Sungai Melawi dan Sungai Kapuas. Dua sungai inilah yang konon menjadikan
sentral dari legenda yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Sintang perihal Bukit Kelam.
Selain
itu, sisi menarik dari kawasan wisata Bukit Kelam adalah kekhasan desain pintu
masuk ke Taman Wisata Alam Bukit Kelam. Di sekitar pintu masuk tersebut dibuan
ornamen yang terbuat dari campuran semen dan pasir jumlah lumayan banyak.
Ornamen tersebut menggambarkan legenda dari bukit batu yang ada di dalam taman
tersebut.
Menurut Daru Wijayanti dalam Dongeng Asal-Usul Nusantara (2010: 47-52) diceritakan bahwa alkisah di Negeri Sintang, Kalimantan Barat, hiduplah dua orang pemimpin dari keturunan dewa yang memiliki kesaktian tinggi, namun keduanya memiliki sifat yang berbeda. Yang pertama bernama Sebeji atau dikenal dengan Bujang Beji. Ia memiliki sifat suka merusak, pendengki dan serakah. Tidak seorang pun yang boleh memiliki ilmu, apalagi melebihi kesaktiannya. Oleh karena itu, ia kurang disukai oleh masyarakat sekitar, sehingga sedikit pengikutnya. Sementara seorang lainnya bernama Temenggung Marubai. Sifatnya justru kebalikan dari sifat Bujang Beji. Ia memiliki sifat suka menolong, berhati mulia, dan rendah hati. Kedua pemimpin tersebut bermata pencaharian utama menangkap ikan, di samping juga berladang dan berkebun.
Bujang
Beji beserta pengikutnya menguasai sungai di Simpang Kapuas, sedangkan
Temenggung Marubai menguasai sungai di Simpang Melawi. Ikan di sungai Simpang
Melawi beraneka ragam jenis dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan sungai di
Simpang Kapuas. Tidak heran jika setiap hari Temenggung Marubai selalu mendapat
hasil tangkapan yang lebih banyak dibandingkan dengan Bujang Beji.
Temenggung
Marubai menangkap ikan di sungai Simpang Melawi dengan menggunakan bubu
(perangkap ikan) raksasa dari batang bambu dan menutup sebagian arus sungai
dengan batu-batu, sehingga dengan mudah ikan-ikan terperangkap masuk ke dalam
bubunya. Ikan-ikan tersebut kemudian dipilihnya, hanya ikan besar saja yang
diambil, sedangkan ikan-ikan yang masih kecil dilepaskannya kembali ke dalam
sungai sampai ikan tersebut menjadi besar untuk ditangkap kembali. Dengan cara
demikian, ikan-ikan di sungai di Simpang Melawi tidak akan pernah habis dan
terus berkembang biak.
Mengetahui
hal tersebut, Bujang Beji pun menjadi iri hati terhadap Temenggung Marubai.
Oleh karena tidak mau kalah, Bujang Beji pun pergi menangkap ikan di sungai di
Simpang Kapuas dengan cara meracun ikan-ikan dengan tuba. Tuba adalah sejenis
racun ikan dari akar tumbuh-tumbuhan yang sangat memabukkan. Dengan cara itu,
ia pun mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak. Pada awalnya, ikan yang
diperoleh Bujang Beji dapat melebihi hasil tangkapan Temenggung Marubai. Namun,
ia tidak menyadari bahwa menangkap ikan dengan cara menuba lambat laun akan
memusnahkan ikan di sungai Simpang Kapuas, karena tidak hanya ikan besar saja
yang tertangkap, tetapi ikan kecil juga ikut mati. Akibatnya, semakin hari
hasil tangkapannya pun semakin sedikit, sedangkan Temenggung Marubai tetap
memperoleh hasil tangkapan yang melimpah. Hal itu membuat Bujang Beji semakin
dengki dan iri hati kepada Temenggung Marubai.
”Wah,
gawat jika keadaan ini terus dibiarkan!” gumam Bujang Beji dengan geram.
Sejenak
ia merenung untuk mencari cara agar ikan-ikan yang ada di kawasan Sungai Melawi
habis. Setelah beberapa lama berpikir, ia pun menemukan sebuah cara yang paling
baik, yakni menutup aliran Sungai Melawi dengan batu besar pada hulu Sungai
Melawi. Dengan demikian, Sungai Melawi akan terbendung dan ikan-ikan akan
menetap di hulu sungai.
Setelah memikirkan masak-masak, Bujang Beji pun memutuskan untuk mengangkat puncak Bukit Batu di Nanga Silat, Kabupaten Kapuas Hulu. Dengan kesaktiannya yang tinggi, ia pun memikul puncak Bukit Batu yang besar itu. Oleh karena jarak antara Bukit Batu dengan hulu Sungai Melawi cukup jauh, ia mengikat puncak bukit itu dengan tujuh lembar daun ilalang.
Di
tengah perjalanan menuju hulu Sungai Melawi, tiba-tiba Bujang Beji mendengar
suara perempuan sedang menertawakannya. Rupanya, tanpa disadari, dewi-dewi di
Kayangan telah mengawasi tingkah lakunya. Saat akan sampai di persimpangan
Kapuas-Melawi, ia menoleh ke atas. Namun, belum sempat melihat wajah dewi-dewi
yang sedang menertawakannya, tiba-tiba kakinya menginjak duri yang beracun.
”Aduuuhhh...
!” jerit Bujang Beji sambil berjingkrat-jingkrat menahan rasa sakit.
Seketika
itu pula tujuh lembar daun ilalang yang digunakan untuk mengikat puncak bukit
terputus. Akibatnya, puncak bukit batu terjatuh dan tenggelam di sebuah rantau
yang disebut Jetak. Dengan geram, Bujang Beji segera menatap wajah dewi-dewi
yang masih menertawakannya.
”Awas,
kalian! Tunggu saja pembalasanku!” gertak Bujang Beji kepada dewi-dewi tersebut
sambil menghentakkan kakinya yang terkena duri beracun ke salah satu bukit di
sekitarnya.
”Enyahlah
kau duri brengsek!” seru Bujang Beji dengan perasaan marah.
Setelah
itu, ia segera mengangkat sebuah bukit yang bentuknya memanjang untuk digunakan
mencongkel puncak Bukit Batu yang terbenam di rantau (Jetak) itu. Namun, Bukit
Batu itu sudah melekat pada Jetak, sehingga bukit panjang yang digunakan
mencongkel itu patah menjadi dua. Akhirnya, Bujang Beji gagal memindahkan
puncak Bukit Batu dari Nanga Silat untuk menutup hulu Sungai Melawi. Ia sangat
marah dan berniat untuk membalas dendam kepada dewi-dewi yang telah
menertawakannya itu.
Bujang
Beji kemudian menanam pohon kumpang mambu (sejenis kayu raksasa yang ujungnya
menjulang tinggi ke angkasa) yang akan digunakan sebagai jalan untuk mencapai
Kayangan dan membinasakan para dewi yang telah menggagalkan rencananya itu.
Dalam waktu beberapa hari, pohon itu tumbuh dengan subur dan tinggi menjulang
ke angkasa. Puncaknya tidak tampak jika dipandang dengan mata kepala dari bawah.
Sebelum
memanjat pohon kumpang mambu, Bujang Keji melakukan upacara sesajian adat yang
disebut dengan Bedarak Begelak, yaitu memberikan makan kepada seluruh binatang
dan roh jahat di sekitarnya agar tidak menghalangi niatnya dan berharap dapat
membantunya sampai ke kayangan untuk membinasakan dewi-dewi tersebut.
Namun,
dalam upacara tersebut ada beberapa binatang yang terlupakan oleh Bujang Beji,
sehingga tidak dapat menikmati sesajiannya. Binatang itu adalah kawanan sampok
(Rayap) dan beruang. Mereka sangat marah dan murka, karena merasa diremehkan
oleh Bujang Beji. Mereka kemudian bermusyawarah untuk mufakat bagaimana cara
menggagalkan niat Bujang Beji agar tidak mencapai kayangan.
”Apa
yang harus kita lakukan, Raja Beruang?” tanya Raja Sampok kepada Raja Beruang
dalam pertemuan itu.
”Kita
robohkan pohon kumpang mambu itu,” jawab Raja Beruang.
”Bagaimana
caranya?” tanya Raja Sampok penasaran.
”Kita
beramai-ramai menggerogoti akar pohon itu ketika Bujang Beji sedang
memanjatnya,” jelas Raja Beruang.
Seluruh
peserta rapat, baik dari pihak sampok maupun beruang, setuju dengan pendapat
Raja Beruang.
Keesokan
harinya, ketika Bujang Beji memanjat pohon itu, mereka pun berdatangan
menggerogoti akar pohon itu. Oleh karena jumlah mereka sangat banyak, pohon
kumpang mambu yang besar dan tinggi itu pun mulai goyah. Pada saat Bujang Beji
akan mencapai kayangan, tiba-tiba terdengar suara keras yang teramat dahsyat.
”Kretak...
Kretak... Kretak... !!!”
Beberapa
saat kemudian, pohon Kumpang Mambu setinggi langit itu pun roboh bersama
dengan Bujang Beji.
”Tolooong...
! Tolooong.... !” terdengar suara Bujang Beji menjerit meminta tolong.
Pohon
tinggi itu terhempas di hulu sungai Kapuas Hulu, tepatnya di Danau Luar dan
Danau Belidak. Bujang Beji yang ikut terhempas bersama pohon itu mati seketika.
Maka gagallah usaha Bujang Beji membinasakan dewi-dewi di kayangan, sedangkan
Temenggung Marubai terhindar dari bencana yang telah direncanakan oleh Bujang
Beji.
Menurut
cerita, tubuh Bujang Beji dibagi-bagi oleh masyarakat di sekitarnya untuk
dijadikan jimat kesaktian. Sementara puncak bukit Nanga Silat yang terlepas
dari pikulan Bujang Beji menjelma menjadi Bukit Kelam. Patahan bukit yang
berbentuk panjang yang digunakan Bujang Beji untuk mencongkelnya menjelma
menjadi Bukit Liut. Adapun bukit yang menjadi tempat pelampiasan Bujang Beji
saat menginjak duri beracun, diberi nama Bukit Rentap.
Bagi yang berkunjung ke Kabupaten Sintang, Bukit Kelam merupakan salah satu tujuan wisata yang cukup dikenal. Tempat wisata yang menampilkan keindahan panorama alam pegunungan, sekaligus memeiliki legenda yang mengundang keingintahuan para pengunjung. *** [140716]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar