Bagi
orang Tionghoa, klenteng bukan sekadar tempat ibadah, tapi juga sebagai tempat
interaksi sosial serta ekonomi. Itulah sebabnya kehadiran sebuah klenteng
menjadi sangat penting dalam masyarakat Tionghoa, terutama daerah Pecinan di
suatu kota. Masyarakat Tionghoa diyakini keberadaannya di Tuban sudah sejak
lama.
Berdasarkan
sejarah, Ma Huan, seorang penerjemah dari Laksamana Cheng Ho, yang ikut
mendampingi ekspedisi besarnya, mengatakan bahwa di Tuban waktu itu sudah
terdapat permukiman orang Tionghoa yang berasal dari Provinsi Guangdong dan
Fujian, tepatnya daerah Zhangzhou dan Guanzhou. Di Tuban, mereka merupakan
sebagian besar penduduk yang waktu itu jumlahnya mencapai “seribu keluarga
lebih”.
Banyaknya
orang Tionghoa yang bermukim di Tuban kala itu, berusaha mendirikan klenteng
sebagai tempat peribadatan mereka. Di Tuban, terdapat dua klenteng yang telah
berusia ratusan tahun lebih. Salah satunya adalah “Ciling Gong” atau dalam dialek Hokkian disebut sebagai “Tjoe Ling
Kiong”. Papan nama yang dipasang di depan tempat peribadatan tersebut adalah “Tempat
Ibadah Tri Dharma Tjoe Ling Kiong”. Klenteng ini terletak di Jalan Panglima
Sudirman No. 104 Kelurahan Kutorejo, Kecamatan Tuban, Kabupaten Tuban, Provinsi
Jawa Timur, atau tepatnya berada di sebelah utara alun-alun Tuban, dekat jalan
yang menjadi pintu masuk menuju Pantai Boom.
Seperti
biasa, klenteng ini didominasi oleh warna merah, kuning dan hijau, sehingga
dari alun-alun terlihat kekhasan bangunan klenteng tersebut. Meski tidak
memiliki tempat parkir yang cukup bagi umat maupun pengunjungnya, tidak serta
merta mengurangi kemegahan klenteng ini. Masyarakat setempat menyebut klenteng
ini dengan sebutan “klenteng perempuan”.
Klenteng Tjoe Ling Kiong merupakan tempat peribadatan pemeluk ajaran Tri Dharma, yang terdiri atas agama Buddha, Tao dan Konghucu. Eksistensi klenteng ini dipersembahkan untuk Dewi Tianhou. Tianhou atau Ma Zu atau Mak Co (Hokkian), juga dikenal dengan sebutan Tian Shang Sheng Mu (Mandarin) atau Thian Siang Sing Bo, adalah dewi pelindung bagi pelaut asal Fujian (Hokkian). Banyak klenteng Tianhou menyebar sepanjang kota-kota pantai di Asia Tenggara. Tapi di samping altar utamanya juga terdapat patung dewa lain, yaitu Fude Zhengshen dan Jialian. Fude Zhengshen adalah Dewa Bumi dan Kekayaan. Oleh orang Fujian disebut sebagai Hok tek ceng sin atau Toa pe kong (Dabo gong, istilah Mandarinnya). Dewa ini juga banyak didapati pada klenteng-klenteng di seluruh Jawa.
Sulit
diketahui kapan berdirinya klenteng ini, karena tidak ada inskripsi yang tertinggal
mengenai kapan diresmikannya bangunan tersebut. Di dalam klenteng ini terdapat
inskripsi tentang restorasi yang dilakukan pada tahun 1850. Jadi diperkirakan
klenteng tersebut sudah ada jauh sebelum tahun 1850.
Pada
tahun 1980 bagian depan klenteng tersebut dirobohkan berhubung adanya pelebaran
jalan. Sangat disayangkan bahwa klenteng yang sangat bersejarah ini terpaksa
bagian depannya harus dibongkar karena alasan adanya pelebaran jalan. *** [190913]
Kepustakaan:
Samuel Hartono, et.al, 2005, Alun-Alun dan Revitalisasi
Identitas Kota Tuban, dalam Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 33
No.1, Desember 2005 atau http://puslit.petra.ac.id/~puslit/journals
Tidak ada komentar:
Posting Komentar