Pada
masa Pemerintahan Pangeran Karim, Sultan ke VI Kraton Pakungwati, yang bergelar
Panembahan Ratu II, Mataran yang sudah pro VOC mencurigai Cirebon telah
merintis kekuasaan dengan Banten untuk memberontak. Karena itu, Panembahan
Girilaya diundang oleh mertuanya, Sultan Amangkurat I dengan tanpa alas an
sesuatu. Dalam memenuhi undangan mertuanya itu, Panembahan Ratu II mengajak
serta istri dan kedua putranya, Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kertawijaya.
Untuk sementara, Kesultanan dimandatkan kepada Pangeran Wangsakerta, putra
termuda.
Undangan
yang semula dikira sebagai rasa rindu orang tua terhadap anak menantu, ternyata
sebagai hukuman atas kecurigaan Mataram kepada Cirebon. Sunan Amangkurat I
menahan Panembahan Girilaya untuk tidak kembali ke Cirebon selama-lamanya
sampai akhir hayatnya dikubur di Bukit Wonogiri pada 1667 M. Lokasi pembaringan
terakhir Panembahan Ratu II ini menyebabkan Panembahan ini juga dikenal sebagai
Panembahan Girilaya. Dengan rasa menyesal dan penuh kesedihan, kedua putranya
kembali ke Cirebon untuk meneruskan tampuk kepemimpinan.
Kenyataan
setelah sampai di Cirebon, ketiga orang putra itu masing-masing merasa berhak
menggantikan ayahnya. Maka atas kebijakan Sultan Banten, An Nasr Abdul Kohar
yang sudah dianggap seketurunan, dipecahlah Kesultanan Pakungwati menjadi tiga
bagian. Masing-masing putra Pangeran Karim mendapatkan bagian kraton. Kraton Kasepuhan dipegang oleh Pangeran Martawijaya, Kanoman oleh Pangeran
Kertawijaya, dan Kacirebonan dipegang oleh Pangeran Wangsakerta. Pembagian
wewenang dan kekuasaan tersebut terjadi pada 1667 M.
Untuk
lebih menampakkan keislaman, Pangeran Martawijaya kemudian bergelar Sultan Raja
Syamsudin. Pangeran Kertawijaya bergelar Sultan Mohammad Badridin, dan Pangeran
Wangsakerta mendapat sebutan Panembahan Tohpati.
Ihwal Berdirinya Kraton Kanoman
Kraton
Kanoman adalah hasil pemekaran Kraton Pakungwati setelah Pangeran Karim atau
Panembahan Ratu II atau Panembahan Girilaya wafat pada 1667 M. Atas kesepakatan
dan kemufakatan melalui kebijaksanaan Sultan Banten, An Nasr Abdul Kohar atau
dikenal dengan Sultan Haji, maka Kraton Kasepuhan diperuntukkan bagi Pangeran
Syamsudin Martawijaya sebagai Sultan Sepuh I, dan Kraton Kanoman dengan
Pangeran Mohammad Badridin Kertawijaya sebagai Sultan Anom I. Pelantikan
keduanya terjadi pada tahun 1678 M.
Kompleks Kraton Kanoman
Bangunan
Kraton Kanoman persisnya menghadap ke utara. Di luar bangunan Kraton terdapat
sebuah bangunan bergaya Bali yang disebut dengan Balai Maguntur yang terbuat
dari batu merah. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat kedudukan saat Sultan
berpidato atau menghadiri upacara, seperti apel prajurit atau menyaksikan
penabuhan gamelan Sekaten.
Di kraton ini masih terdapat peninggalan Sunan Gunung Jati, seperti dua buah kereta bernama Paksi Naga Liman dan Jempana yang masih terawat baik dan tersimpan di museum. Tidak jauh dari kereta, terdapat bangsal Jinem atau pendopo untuk menerima tamu, juga tempat penobatan Sultan dan pemberian restu sebuah acara seperti Maulid Nabi. Di bagian tengah kraton, terdapat kompleks bangunan bernama Siti Hinggil.
Di
depan kraton juga terdapat alun-alun yang berfungsi sebagai tempat berkumpulnya
warga sekitar, atau tamu yang hendak menghadap Sultan Anom.
Kraton
Kanonam terletak di Kelurahan Pekalipan, Kecamatan Kanoman Utara, Kota Cirebon,
Provinsi Jawa Barat, atau berada di belakang Pasar Kanoman. Kraton Kanoman
hanya berjarak sekitar 600 m sebelah utara dari Kraton Kasepuhan. Akses jalan
masuk melalui Pasar Kanoman, sebuah pasar tradisional yang di dalamnya masih
banyak dijumpai berbagai macam barang yang syarat produk untuk buah tangan atau
oleh-oleh. Sehingga, pamor pintu gerbang utama atau gapura menuju ke Kraton
Kanoman yang sebenarnya menunjukkan kemegahan Kraton Kanoman, harus rela
“tersembunyi” di balik keramaian Pasar Kanoman tersebut. *** [271013]
Kepustakaan:
Hasan Basyari, 1989, Sekitar Kompleks Makam Sunan
Gunung Jati dan Sekilas Riwayatnya, Cirebon: Zul fana Cirebon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar