Cirebon
merupakan salah satu kota yang ada di wilayah Jawa Barat. Letaknya berada di
pesisir pantai utara bagian ujung timur, dan lebih dekat ke wilayah Jawa Tengah
ketimbang ke arah ibu kota Provinsi
Jawa Barat, Bandung karena memang letaknya berada di perbatasan Jawa Tengah dan
Jawa Barat. Sehingga, di Cirebon tidaklah mengherankan bila di daerah tersebut
ditemui sejumlahnya masyarakatnya ada yang menggunakan bahasa Sunda maupun
bahasa Jawa. Inilah salah satu yang membentuk kekhasan Cirebon sesuai dengan
istilah Cirebon itu sendiri.
Istilah
Cirebon, yang termaktub dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang disusun
oleh Pangeran Arya Carbon pada tahun 1720, disebutkan berasal dari kata Caruban
kemudian Carbon dan akhirnya menjadi Cirebon. Awalnya Cirebon hanya merupakan
sebuah tempat pemukiman beberapa keluarga yang dikenal dengan nama Tegal Alang-alang,
yang kini menjadi Lemahwungkuk. Karena letaknya yang tidak begitu jauh dari
laut, memungkinkan daerah disinggahi oleh beberapa suku bangsa yang melintas di
kawasan laut ini. Lama-kelamaan karena seringnya menjadi tempat persinggahan
dari kapal-kapal yang berlabuh kala itu maka kemudian daerah tersebut acapkali
disebut sebagai Caruban yang berarti campuran. Campuran di sini bermakna sebuah
percampuran dari beberapa suku bangsa yang pernah singgah di daerah ini.
Selain
kekhasan Cirebon tersebut, Cirebon dikenal juga sebagai Kota Udang karena pada
zaman dulu, sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai pencari ikan dan
membuat petis dari air udang atau dalam bahasa Sundanya dinamakan Cai Rebon,
maka masyarakat menyebutnya juga dengan Cirebon hingga sekarang.. Tidak hanya
itu saja, Cirebon juga memiliki keunikan lain yang tak kalah menariknya. Sebagai
kota yang tidak begitu besar, Cirebon memiliki tiga istana atau kraton yang
tidak dijumpai di tempat lain di Indonesia. Salah satunya adalah Kraton
Kasepuhan Cirebon.
Kraton
Kasepuhan Cirebon terletak di Jalan Kraton Kasepuhan No. 43 Kelurahan Kasepuhan,
Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat.
Dulu
sebelum menjadi Kraton Kasepuhan, istana ini bernama Istana Pakungwati. Istana
Pakungwati yang bercorak Islam didirikan oleh Pangeran Cakrabuana sepulang dari
menunaikan ibadah haji ke Mekkah pada abad 15 (1456-1479). Pangeran Cakrabuana
adalah nama lain dari Raden Walangsungsang, putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas
Ratu Subanglarang dari Kerajaan Pajajaran, dan dinamakan Istana Pakungwati
diambil dari nama putrinya yang lahir ketika Pangerang Cakrabuana pergi
berhaji. Usai menunaikan haji, Pangeran Cakrabuana disebut Haji Abdullah Iman,
dan tampil menjadi raja Cirebon pertama yang memerintah Istana Pakungwati
sembari menyebarkan dakwah Islam.
Ketika
memunaikan ibadah haji, sesungguhnya Pangeran Cakrabuana berangkat dengan adik
perempuannya yang bernama Ni Mas Rarasantang. Di Kota Mekkah, kedua kakak
beradik itu bermukim beberapa bulan di rumah Syekh Bayamillah sambil menambah
ilmu agama Islam. Di sinilah terjadi peristiwa penting, yaitu dinikahinya Ni
Mas Rarasantang oleh seorang pembesar Kota Isma’iliyah bernama Syarif Abdillah
bin Nurul Alim dari suku Bani Hasyim. Pada masa itu, Pusat Pemerintahan Islam
berada di Turki (Istambul). Agar lebih dekat dengan lingkungannya, maka Syarif
Abdillah mengganti nama Rarasantang dengan nama Syarifah Muda’im. Dari
perkawinan itu kemudian dikaruniai dua orang anak, yaitu Syarif Hidayatullah
dan Syarif Nurullah.
Pada
saat Syarif Hidayatullah berusia dua puluh tahun, Syarif Abdillah meninggal
dunia, maka sebagai puteranya yang tertua Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk
menggantikannya memerintah Kota Isma’illiyah. Akan tetapi karena dia sudah
bertekad untuk melaksanakan harapan ibunya, yaitu menjadi muballigh di Caruban,
maka dia melimpahkan jabatan itu kepada adiknya, Syarif Nurullah.
Beberapa
bulan setelah pengangkatan Syarif Nurullah sebagai penguasa Kota Isma’illiyah,
ibunya Syarifah Muda’im meninggalkannya untuk pulang ke tanah Jawa bersama
Syarif Hidayatullah. Dalam perjalanan pulangnya, mereka beberapa kali singgah
di beberapa daerah dengan waktu yang cukup lama, seperti di Mekkah, Gujarat,
dan Pasai. Dan sekitar tahun 1475, mereka baru sampai di Caruban. Dapatlah
digambarkan bagaimana suasana di Istana Pakungwati itu saat menyambut
kedatangan Syarifah Muda’im dan puteranya.
Kemudian,
Pangeran Cakrabuana di saat yang sudah ditentukan dan sesuai dengan yang sudah
direncanakan, menikahkan puterinya, Ratu Ayu Pakungwati dengan Syarif
Hidayataullah, yang tidak lain adalah keponakannya sendiri. Selanjutnya pada
tahun 1479, karena usianya yang sudah semakin lanjut, Pangeran Cakrabuana
mengalihkan kekuasaannya atas Istana Pakungwati Nagari Caruban Larang kepada
menantu yang juga keponakannya, Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan atau
Sunan, dan dalam jajaran Walisongo, beliau dikenal dengan sebutan Sunan Gunung
Jati.
Sejak
itu, Cirebon merupakan pusat pengembangan agama Islam di Jawa dengan adanya
Walisongo yang kepemimpinannya saat itu dipegang oleh Sunan Gunung Jati.
Pertumbuhan dan perkembangan Kesultanan Cirebon semakin pesat ketika tampuk
pemerintahan Istana Pakungwati dipegang oleh Syarif Hidayatullah, dan sekaligus
beliau diyakini sebagai pendiri dinasti Kesultanan Pakungwati Cirebon dan
Banten, serta menyebarkan agama Islam di Majalengka, Kuningan, Kawali Galuh,
Sunda Kelapa, dan Banten.
Setelah
dirasa cukup, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, memutuskan menjadi
muballigh untuk menyiarkan agama Islam di tanah Jawa. Kemudian beliau
mengangkat puteranya yang bernama Pangeran Muhammad Arifin dari hasil
perkawinannya dengan Nyi Ageng Tepasari, seorang puteri dari Ki Ageng Tepasan
mantan pembesar Majapahit, sebagai Sultan Cirebon ke-2 dengan bergelar Pangeran
Pasarean. Karena dari hasil perkawinannya dengan Ratu Ayu Pakungwati dan dengan
Ong Tien, seorang puteri dari Kaisar Tiongkak tidak dikaruniai putera.
Sedangkan hasil perkawinannya dengan Nyi Ratu Kawunganten, puteri dari Adipati
Banten, yaitu Pangeran Sabakingking telah dinobatkan sebagai Sultan Banten yang
pertama dengan gelar Sultan Maulana Hasanuddin.
Namun
malang tak dapat ditolak, pada tahun kelima pengangkatannya sebagai Sultan
Cirebon berkahir dengan wafatnya beliau pada tahun 1552. Lalu, atas
kebijaksanaan Sunan Gunung Jati yang telah bermusyawarah dengan para sesepuh
kraton, diangkatlah Aria Kemuning sebagai Sultan Cirebon ke-3 dengan menyandang
gelar Dipati Carbon I. Aria Kemuning adalah anak angkat Sunan Gunung Jati dari
Ki Lurah Agung yang pernah menjadi senopati untuk menundukkan Rajagaluh, bekas
pusat Kerajaan Pajajaran sebelum pindah ke Pakuan (Bogor). Ia menikah dengan
Nyi Ratu Wanawati, puteri Fatahillah (Ki Bagus Pasai) dengan Ratu Wulung Ayu.
Sedangkan, Ratu Wulung Ayu adalah puteri Sunan Gunung Jati dengan Nyi Ageng
Tepasari, dan Ratu Wulung Ayu sendiri merupakan saudara kandung dari Pangeran
Muhammad Arifin.
Kesultanan
masa pemerintahan Dipati Carbon I berlangsung lebih kurang dua belas tahun, dan
pada tahun 1565 tahta kesultanannya diserahkan kepada puteranya yang baru
berusia 18 tahun, yaitu Pangeran Pangeran Mas Zainul Arifin dengan gelar
Panembahan Ratu Pakungwati I. Panembahan Ratu Pakungwati I ini memerintah
Cirebon selama kurang lebih 79 tahun. Setelah Panembahan Ratu Pakungwati I
meninggal pada tahun 1649, kekuasaan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh
cucunya yang bernama Pangeran Karim, karena ayahnya yaitu Pangeran
Adiningkusumah meninggal dunia terlebih dahulu. Setelah menjadi Sultan Cirebon
ke-6, beliau menyandang gelar Panembahan Ratu Pakungwati II atau yang kemudian
hari dikenal sebagai Panembahan Girilaya (1649-1662).
Namun
semenjak Panembahan Girilaya meninggal, di dalam Istana Pakungwati mengalami
perpecahan politik karena ketiga putera Panembahan Girilaya merasa berhak
menduduki tahta ayahandanya. Sehingga atas kebijakan Sultan Banten An Nasr
Abdul Kohar yang sudah dianggap saudara tuanya, dipecahlah Kesultanan Cirebon
menjadi tiga bagian, yaitu Kraton Kasepuhan, Kraton Kanoman dan Kraton
Kacirebonan. Kraton Kasepuhan dipegang oleh anak tertua, yaitu Pangeran
Martawijaya yang kemudian bergelar Sultan Syamsudin atau dikenal dengan sebutan
Sultan Sepuh I (1662-1697). Kemudian, Kraton Kanoman dipegang oleh anak
keduanya yang bernama Pangeran Kertawijaya bergelar Sultan Muhammad Badridin
atau yang dikenal dengan sebutan Sultan Anom I (1677-1723), dan anak ketiganya,
yaitu Pangeran Wangsakerta menjadi raja di Kraton Kacirebonan dengan mendapat
sebutan sebagai Panembahan Tohpati (1677-1713).
Istana
yang pada awalnya merupakan Kraton Pakungwati kemudian menjadi Kraton
Kasepuhan, sedangkan Kraton Kanoman baru dibangun pada tahun 1688. Kemudian
Kraton Kacirebonan baru dibangun pada tahun 1808. Maka bila bila ditinjau dari
segi bangunan, Kraton Kasepuhan merupakan kraton tertua di Cirebon.
Lokasi
bangunan Kraton Kasepuhan yang berdiri di atas lahan sekitar 25 hektar ini, membujur
dari utara ke selatan atau menghadap ke utara. Menghadap ke utara ini
diibaratkan menghadap ke magnet dunia seperti yang dilakukan oleh kraton-kraton
yang ada di Jawa. Hal ini mengandung makna bahwa sang raja senantiasa
mengharapkan kekuatan.
Di
dalam lingkungan Kraton Kasepuhan atau yang lebih dikenal dengan istilah baluwarti, terdapat sisa-sisa
peninggalan kraton yang cukup menarik., seperti Alun-alun, Masjid Agung Sang
Cipta Rasa, Panca Ratna, Panca Niti, Kali Sipadu, Kreteg Pangrawit, Lapangan
Giyanti, Siti Inggil, Pengada, Kemandungan, Langgar Agung, Pintu Gledegan,
Taman Bunderan Dewandaru, Museum Benda Kuno, Museum Kereta, Tugu Manunggal,
Lunjuk, Sri Manganti, Kuncung dan Kutagara Wedasan, Jinem Pangrawit, Pintu Buk
Bacem, Gajah Nguling, Bangsal Pringgandani, Langgar Alit, Jinem Arum, Kaputran,
Bangsal Prabayaksa, Kaputren, Dalem Arum, Bangsal Agung Panembahan, Pungkuran,
Dapur Mulud, dan Pamburatan. Tiap bangunan tersebut memiliki ceritera
sendiri-sendiri sesuai dengan peruntukkannya. Gaya arsitektur yang terdapat
pada Kraton Kasepuhan mendapat pengaruh arsitektur Islam, Hindu, Buddha, Barat,
China dan Jawa. ***
Kepustakaan:
E. Nurmas Argadikusuma, 1998, Baluarti Kraton Kasepuhan Cirebon, dalam Makalah
Hasan Basyari, 1989, Sekitar Komplek Makam Sunan Gunung Jati dan Sekilas Riwayatnya,
Cirebon: Penerbit Zulfana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar