Tidak
banyak yang tahu, benteng terluas di dunia ada di Indonesia. Berlokasi di Kota
Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, benteng Kraton Buton lebih luas daripada benteng
kerajaan di Denmark. Di dalamnya tinggal warga satu kelurahan, mayoritas
pewaris keturunan Kraton Buton.
Kemegahan
benteng Kraton Buton sudah terlihat dari jauh. Benteng seluas lebih dari 22
hektar dengan panjang 2.740 m tersebut mengelilingi perkampungan adat asli
Buton yang berada di Kelurahan Melai. Tidak heran bila benteng Kraton Buton
mendapat penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) dan Guinness
World Records pada September 2006 sebagai benteng terluas di dunia.
Memasuki
pintu gerbang, tampak pemandangan seperti perkampungan pada umumnya. Anak-anak
kecil bermain di halaman rumah, sedangkan ibu-ibu asyik mengobrol di depan
rumah. Warga Kelurahan Melai terdiri atas 537 kepala keluarga dengan 1.098
jiwa. Mereka hidup rukun dan bersahaja.
Yang
pasti, warga amat memperhatikan warisan budaya Kesultanan Buton sehingga sampai
kini bangunan benteng yang memagari kampung mereka tetap terpelihara dengan
baik.
Termasuk
mempertahankan model rumah panggung dengan gaya arsitektur rumah adat Buton.
Rumah-rumah tersebut masih berdiri kukuh.
Memang
kini juga banyak berdiri rumah-rumah zaman sekarang dengan fondasi beton dan
dinding tembok.
Menurut
Kepala Desa Kelurahan Melai, Siti Sarinah, ada rencana pemerintah kota untuk
menyeragamkan model hunian warga di kelurahannya. Untuk menjaga keaslian
warisan leluhur Kesultanan Buton, warga pendatang akan diwajibkan mengganti
rumah beton dengan rumah panggung dari kayu.
“Sebab,
di wilayah kraton, sesuai dengan aturan nenek moyang, harusnya yang boleh
berdiri hanya rumah panggung. Bagi warga yang rumahnya terlanjur berdiri dengan
fondasi batu dan berdinding tembok kemungkinan akan diminta untuk mengubahnya
menjadi rumah panggung,” papar kepala desa perempuan itu.
Rina-panggilan
Siti Sarinah-menuturkan, di area benteng masih banyak situs peninggalan sejarah
Kesultanan Buton yang terpelihara dengan baik. Salah satunya sebuah masjid
agung dan tiang bendera yang berdiri tegak di depan masjid tersebut. Di samping
masjid tua, banyak obyek menarik lainnya. Di antaranya, batu Popapua yang
merupakan batu yang disakralkan karena menjadi tempat pengambilan sumpah para
raja atau Sultan Buton.
Ada
juga batu Wolio yang dianggap sebagai simbol kekuatan dalam menghadapi berbagai
tantangan hidup. Batu Wolio berwarna gelap dan besarnya seperti seekor lembu
yang sedang duduk berkubang.
Tidak
hanya itu, makam Sultan Murhum yang merupakan Sultan Buton pertama juga berada
di dekat area masjid. Kondisi makam Sultan Murhum pun terjaga dan terpelihara
dengan baik. Di area makam yang panjangnya sekitar 3 m itu terdapat 20 anak
tangga. Konon, setiap orang dengan khusyuk berdoa kepada Allah SWT di makam
tersebut, permintaannya akan dikabulkan. Makam itu banyak dikunjungi warga
setempat maupun masyarakat luar. Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri juga
pernah berziarah di makam itu.
Benteng
tersebut memiliki 12 pintu gerbang dan 16 pos jaga (bastion) yang dalam bahasa setempat disebut baluara. Tiap pintu gerbang (lawa)
dan baluara “dijaga” empat sampai
enam meriam. Jumlah meriam di seluruh penjuru benteng sebanyak 52 buah. Pada
pojok kanan sebelah selatan terdapat godana-oba
(gudang mesiu) dan gudang peluru di sebelah kiri.
Di
samping bangunan kuno, masyarakat yang bermukim di kawasan benteng juga masih
melakukan berbagai upacara ritual, layaknya yang terjadi pada masa Kesultanan
Buton. Upacara besar terakhir terjadi saat penobatan Sultan Buton yang baru
tahun lalu (2012). Upacara penobatan tersebut menandai sejarah baru masyarakat
Kraton Buton. Sejak meninggalnya Sultan Buton ke-37, La Ode Muhammad Falihi,
pada 1960, belum ada lagi acara penobatan sultan.
Setelah
52 tahun meninggalnya Sultan Buton ke-37, H. La Ode Muhammad Jafar SH diangkat
menjadi Sultan Buton ke-39 tahun lalu. Upacara penobatan yang dikenal dengan
istilah Bulilingiyana Pau Laki Wolio itu bertempat di Baruga Kraton Kesultanan
Buton, Kota Bau-Bau.
Tidak
hanya itu, warga Kelurahan Melai juga masih menjalankan tradisi turun-temurun.
Seperti tradisi pingitan atau yang disebut posuo.
Menurut Lurah Rina, setiap anak gadis yang sudah akil balig akan menjalani
tradisi posuo. Selama delapan hari
delapan malam, si gadis tidak boleh keluar rumah. Di dalam rumah pun dia
diharuskan berdiam diri menghadap arah kiblat dan sebaliknya.
“Empat
hari menghadap kiblat, empat hari berikutnya menghadap sebaliknya. Ya sesuai
matahari terbit dan tenggelam. Selama itu pula dia harus berdzikir dan menahan
diri. Makanannya pun dibatasi. Pingitan tersebut dilakukan agar si gadis
nantinya siap mengarungi rumah tangga,” papar perempuan 42 tahun yang masih
keturunan bangsawan Kraton Buton itu.
Warisan
lainnya adalah sekitar 100 jenis kain tenunan khas Buton yang tercipta dari
tangan-tangan terampil masyarakat Buton. Rina menuturkan, kaum ibu Kelurahan
Melai gemar menenun denga menggunakan peralatan tradisional.
“Masyarakat
di sini suka menenun. Motifnya pun bermacam-macam. Sebab, memang, ada motif
tersendiri untuk anak-anak dan dewasa. Laki-laki dan perempuan pun beda motif
sarung tenunnya,” ujar lurah yang baru sebulan menjabat itu.
Ibu
dua putri itu melanjutkan, sebagai ajang promosi budaya Benteng Kraton Buton,
pada Desember mendatang akan diadakan prosesi penyarungan benteng. Benteng
dengan luas wilayah 3.34 km² itu akan disarungi dengan menggunakan sarung tenun
khas Buton. “Ini untuk menarik kunjungan wisatawan asing.”
Menurut
catatan sejarah, benteng Kraton Buton didirikan karena Sultan ke-4 Kesultanan
Buton, Dayanu Ikhsanuddin (1597-1631) gundah melihat banyaknya bajak laut yang
menyerang rakyatnya. Untuk menghalau serangan bajak laut itu, Sultan
memerintahkan prajuritnya membangun 16 baluara
di sekeliling bukit Wolio. Pendirian baluara
itu tidak dilakukan sembarangan.
Sultan
mendasarkan pembangunan 16 baluara
itu pada proses kelahiran manusia. Angka 16 dianggap angka kehidupan (nuftah). Sebab, pada umur 160 hari,
janin di kandungan seorang ibu akan ditiupkan roh tanda kehidupan oleh Tuhan.
Demikian pula dengan 16 baluara itu.
Bangunan-bangunan tersebut diharapkan memberikan jaminan kehidupan bagi seluruh
rakyat Kesultanan Buton pada masa itu.
Saat
pemerintahan Sultan ke-5, Sultan Gafarul Wadudu (1632-1645) terjadi perubahan
besar-besaran. Sultan Gafarul memerintahkan ribuan prajurit dan seluruh
rakyatnya membangun benteng besar di puncak bukit Wolio dengan
menghubung-hubungkan bangunan baluara
itu dalam satu rangkaian. Karena sejak awal pembangunan benteng Kraton Buton
didasarkan pada proses kehidupan manusia, Sultan Gafarul Wadudu kemudian
memerintahkan pembangunan 12 buah lawa
(pintu gerbang) di sekeliling benteng. Angka 12 mengacu pada adanya 12 buah
pintu (lubang) di tubuh manusia sebagai ciptaan Tuhan.
Panjang
keliling benteng tersebut 3 km dengan tinggi rata-rata 4 m dan lebar
(ketebalan) dinding mencapai 50 cm. Bahan baku utama yang digunakan adalah
batu-batu gunung yang disusun rapi dengan dengan kapur dan rumput laut
(agar-agar) sebagai bahan perekat. Luas seluruh kompleks kraton yang dikitari
benteng 401.911 m². Untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan masyarakat di dalam
kompleks benteng, Sultan Gafarul Wadudu juga membuat pasar. Begitu besar dan
luasnya bangunan benteng Kraton Buton itu, diperlukan setidaknya 13 tahun lagi
bagi Sultan Gafarul Wadudu untuk menyelesaikannya. Selama proses
pembangunannya, seluruh lelaki yang ada di wilayah Kesultanan Buton diwajibkan
terlibat secara penuh. [SEKARING RATRI ADANINGGAR]
Sumber:
JAWA POS Edisi Kamis, 31 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar