Sumenep
yang sekarang menjadi salah satu nama Kabupaten yang berada di Pulau Madura,
tergolong sudah tua. Di dalam Kitab Pararaton, mencantumkan kata Songennep
untuk menyebutkan wilayah Sumenep, sehingga Songennep merupakan nama paling
awal untuk Sumenep. Sebutan kata Songennep lebih sesuai dengan logat Madura
yang lebih banyak mempergunakan kata “O” ketimbang kata “U”.
Secara
etimologi, Songennep berasal dari
bahasa Kawi yang terdiri dari kata song
dan ennep. Song artinya relung, dan ennep
berarti mengendap. Jadi, Songennep diartikan sebagai lembah bekas endapan yang
tenang.
Perubahan
nama dari Songennep menjadi Sumenep terjadi sekitar abad ke-18 pada saat
pemerintah Hindia Belanda, karena bagi bangsa Belanda, lafal U lebih mudah
diucapkan daripada lafal O.
Sumenep
sebagai daerah pemerintahan mulai dipimpin oleh seorang Adipati pada abad
ke-13, dengan ditugaskannya Arya Wiraraja oleh Kertanegara, Raja Singasari kala
itu, untuk menjadi Adipati di Sumenep. Pelantikan Arya Wiraraja sebagai Adipati
merupakan titik awal berlangsungnya sistem pemerintahan di Sumenep, yang
sebelumnya Pulau Madura hanya diperintah oleh seorang yang berpangkat Akuwu yang namanya tak pernah tercatat
dalam sejarah.
Pemindahan
Arya Wiraraja ke Sumenep sebagai Adipati disebabkan oleh adanya perbedaan
pendapat antara Kertanegara dengan Arya Wiraraja menyangkut kebijakan
Kertanegara kala itu. Tentang tujuan pengangkatan Arya Wiraraja sebagai Adipati
Sumenep ini memang ada beberapa pendapat. Akan tetapi, dari riwayat dan latar
belakang kedekatannya dengan Wangsa Rajasa, kita bisa menilai jikalau Arya
Wiraraja yang merupakan penasihat utamanya berusaha dijauhkan dari lingkaran
kelompok politiknya dengan jalan diangkat menjadi Adipati yang merupakan
kenaikan jabatan yang luar biasa mengingat tokoh ini sebelumnya hanya menjabat
sebagai babatangan atau juru ramal.
Slamet
Moeljono dalam bukunya, Pemugaran Persada
Sejarah Leluhur Majapahit (1983:102) mengatakan bahwa atas pengangkatannya
menjadi Adipati Sumenep, Arya Wiraraja merasa tidak puas terhadap kebijakan
Kertanegara. Saat itu dia baru berumur kurang lebih 41 tahun. Sebagai orang
yang banyak makan garam dalam dunia politik, Arya Wiraraja mengetahui bahwa
pada saat itu Jayakatwang, Raja Gelang-gelang, menaruh dendam kepada
Kertanegara. Karena dahulu Raja Kediri, Dandang Gendis pernah dikalahkan oleh
Ken Arok yang notabene merupakan
nenek moyang Kertanegara. Akibatnya, Daha harus tunduk berada di bawah
kekuasaan Singasari. Hal itu dijadikan kesempatan oleh Arya Wiraraja untuk
mempengaruhi Jayakatwang agar mengadakan perhitungan terhadap Singasari. Ia
menulis surat yang isinya berbunyi: “Tuanku,
hamba memberi tahu, jika Tuanku ingin berburu di tegal lama, sebaiknya sekarang
Tuanku berburu. Pada saat ini tidak ada buaya, tak ada harimau, tak ada
bantengnya, tak ada ularnya, tak ada durinya, yang ada macan tanpa gigi.”
Wiraraja
mengutus anaknya Wiranjaya mengantarkan surat itu kepada Jayakatwang yang
merasa dendam kepada keturunan Ken Arok, yang telah memporak-porandakan
Kerajaan Kediri di bawah tahta Prabu Kertajaya yang tak lain adalah nenek
moyang dari Jayakatwang. Dengan surat itu, Jayakatwang menyambut gembira dan
mulai menghimpun kekuatan untuk menyerang Singasari.
Setelah
pasukan Daha dirasa kuat, Jayakatwang mulai mengatur strategi untuk menaklukkan
Kertanegara. Pasukan lalu diberangkatkan lengkap dengan senjata perangnya. Tiba
di Singasari, penyerangan pun dilancarkan. Karena pasukan Kertanegara banyak
dikirim melakukan ekspansi ke luar Jawa (dikenal dengan ekspedisi Pamalayu),
meskipun dipertahankan oleh tentara yang gagah berani, akhirnya pasukan
Singasari harus menderita kekalahan. Raja Kertanegara menemui ajalnya.
Raden
Wijaya yang merupakan salah satu menantu Prabu Kertanegara, terpaksa harus
menyingkir ke Madura guna menghindari perburuan dari pasukan Jayakatwang.
Pelarian Raden Wijaya beserta kedua belas pengikut setianya ke Madura diterima
dengan baik oleh Arya Wiraraja karena hubungan Arya Wiraraja dengan Raden
Wijaya yang telah berjalan baik mengingat dulunya Arya Wiraraja pernah mengabdi
kepada leluhur Raden Wijaya menjadi penasihat utamanya. Di Madura, sambutan
hangat kepada Raden Wijaya ini tetap dilakukan dengan member segala keperluan
Raden Wijaya, seperti makanan, pakaian, dan fasilitas kerajaan serta
nasihat-nasihat kenegaraan yang berguna.
Sambutan
Arya Wiraraja yang luar biasa disertai saran-sarannya yang sangat berharga
telah membuat semangat Raden Wijaya bangkit kembali. Setelah beberapa waktu
mengungsi di Madura, Arya Wiraraja menyarankan agar Raden Wijaya untuk
menggunakan taktik seolah-olah menyerah kepada Adipati Jayakatwang yang
sekarang telah mengangkat dirinya menjadi raja dengan kedudukan di Kediri. Pada
mulanya saran itu ditolak, tetapi melihat yang mengeluarkan saran seperti itu
adalah seorang penasihat utama Wangsa Rajasa yang telah terbukti kelihaian,
kecerdikan serta kesetiannya terhadap keluarganya, Raden Wijaya akhirnya
menuruti. Raden Wijaya kemudian berangkat menyerahkan diri ke Kediri dengan
diantar oleh para keluarga besar Arya Wiraraja sendiri yang telah menjadi
pengikutnya sejak lama. Raja Jayakatwang sendiri yang berhubungan baik dengan
Arya Wiraraja menyambut baik kabar ini dan kemudian mengutus menteri Segara Winotan untuk menyambut rombongan
ini di pelabuhan Jung Biru.
Sambutan
hangat dilakukan oleh Raja Jayakatwang, di mana kedatangan Raden Wijaya di Kediri
dianggap merupakan kemenangan besar bagi dirinya sebagai legitimasi persatuan
antara dua keluarga besar yang berseteru dan menjadikan Raden Wijaya sebagai
tahan kota. Apalagi jika melihat Arya Wiraraja yang berada di Madura sebagai
penjaminnya sehingga Raja Jayakatwang sangat memperhitungkannya karena posisi
daerah Madura yang merupakan wilayah strategis dan perlu dirangkul serta
ide-ide Arya Wiraraja yang sangat cemerlang sehingga akan diperlukannya dalam
memperkuat kedudukannya sebagai Raja Jawa. Raden Wijaya sendiri selama ada di
ibu kota Kediri selalu menunjukkan sikap sopan dan sangat menghargai
Raja
Jayakatwang sebagaimana saran dari penasihatnya. Segala yang diperintahkan Raja
Jayakatwang dilakukannya dengan senang hati sehingga menyebabkan kecurigaan
Sang Raja berangsur-angsur menjadi memudar. Karena kepercayaan Raja
Jayakatwang, maka ketika Raden Wijaya mengusulkan untuk membangun suatu desa di
sebelah utara sebagai tempat peristirahatan Raja Jayakatwang jika sedang
berburu sehingga usulan ini diterima dengan memberikan tanah di hutan Terik.
Raja Jayakatwang juga meminta kesanggupan Arya Wiraraja dalam membangun desa
ini sebagai tanda kesetiaan Adipati Madura tersebut kepada penguasa yang baru.
Setelah
disetujui pembukaan desa di hutan Terik tersebut, segera Adipati Arya Wiraraja
mengirimkan orang-orag Madura untuk membuka hutan dan akan dijadikan desa
persinggahan. Orang-orang Madura yang terbiasa bekerja di dalam lingkungan dan
tanah yang tandus bekerja dengan senang hati karena suburnya daerah yang baru
di buka ini. Dalam kisah pembangunannya, diceriterakan orang-orang Madura
kehabisan bekal dan memakan buah maja yang banyak tumbuh di hutan Terik
tersebut sehingga nama daerah baru itu dinamakan Majapahit. Setelah selesai
pembangunan Desa Majapahit tersebut, banyak orang-orang Madura menempati tanah
baru ini dengan senang hati karena kesuburan tanahnya.
Berkat
siasat yang yang telah diatur dengan baik oleh Arya Wiraraja, Raden Wijaya
dengan rakyat Madura akhirnya bisa mengalahkan Jayakatwang, serta mengusir Raja
Tartar, dan kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit.
Setelah
pengangkatan Raden Wijaya sebagai Raja Majapahit dengan bergelar Kertarajasa
Jayawardhana, Raden Wijaya memenuhi janjinya untuk membagi dua tanah Jawa yang
dikuasainya, yaitu di bagian barat yang kerajaannya dikenal dengan nama
Majapahit yang beribu kota di daerah sekitar Trowulan, Mojokerto sekarang.
Adipati Arya Wiraraja sendiri kemudian mendapatkan bagian timur di mana
kerajaannya bernama Lamajang Tigang Juru dengan ibu kota berkedudukan di
Kabupaten Lumajang sekarang.
Setelah
pemerintahan Arya Wiraraja, hubungan Sumenep dengan Majapahit terus
berlangsung, dan bahkan kemudian hubungan dipererat dengan perkawinan Jakatole
dengan Dewi Ratnadi, putri Prabu Brawijaya. Ditaklukkannya Majapahit oleh
Sultan Demak, maka terjalin hubungan antara Sumenep dengan Sultan Demak. Suatu
hubungan politik yang kemudian membawa perkembagan Islam di Sumenep,
selanjutnya mempengaruhi pada kerabat kraton untuk menuntut ilmu di beberapa
pesantren di Jawa.
Pada
saat kekuasaan di jawa beralih kepada Mataram, maka hubungan Sumenep dengan
Mataram dapat terjalin, dan menjadikan Sumenep sebagai raja bawahan Mataram.
Hubungan politik Sumenep sebagai raja bawahan Mataram, mengakibatkan munculnya
kewajiban membayar pajak dan upeti yang harus diserahkan kepada Sultan Mataram.
Sumenep sebagai kerajaan bawahan tidak memiliki hak otonomi untuk mengelola
pemerintahannya.
Ditaklukkannya
Mataram oleh VOC, merupakan kesempatan bagi pemerintahan Sumenep untuk meminta
perlindungan VOC dengan menyerahkan beberapa upeti seperti yang diserahkan
kepada Sultan Mataram. Ketika Sumenep kemudian di bawah lindungan VOC, penguasa
di Sumenep diberi hak otonomi untuk mengelola pemerintahannya secara mandiri.
Namun
hak otonomi yang diberikan kemudian berakibat dicabutnya hak-hak istimewa yang
pernah diberikan Mataram kepada Sumenep. Jabatan Adipati berubah menjadi
pegawai bawahan yang digaji oleh pemerintah kolonial Belanda. Orang Sumenep
yang dikenal ulet, berani dan pantang menyerah kemudian diperalat oleh
pemerintah kolonial untuk membantu menumpas para pemberontak yang melawan
pemerintahan kolonial Belanda.
Untuk
melawan kelihaian politik Belanda, maka kemudian Sultan Abdurrahman, penguasa
Sumenep yang ke-32, menjalankan politik ajala
sotra untuk membatu perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda yang
terjadi di berbagai daerah Nusantara. Politik ajala sotra, yaitu sejenis taktik dan siasat untuk melawan politik devide et impera milik Belanda. Politik ajala sotra tidak bisa dilakukan secara
tergesa-gesa, tapi harus secara halus dan hati-hati. Kalau tidak bisa, akan
berbahaya pada dirinya sendiri.
Bangkitnya
rasa nasionalisme di berbagai wilayah dengan berbagai organisasi kepemudaan dan
politik, membangkitkan pula nasionalisme di daerah Sumenep untuk menentang
penjajahan. Perubahan politik yang kemudian mengakibatkan pemecatan dan penangkapan
kerabat Kraton Sumenep yang dicurigai sebagai pemberontak terhadap kolonial Belanda.
***
Kepustakaan:
Mansur Hidayat, 2013, Arya Wiraraja dan Lamajang Tigang
Juru: Menafsir Ulang Sejarah Majapahit Timur, Denpasar: Pustaka Larasan
Tim Penulis Sejarah Sumenep, 2003, Sejarah
Sumenep, makalah yang disampaikan pada Seminar Buku Penulisan Sejarah
Sumenep pada 10 Desember 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar