Ketika
pesawat Trans Nusa turun di Bandara H. Hasan Aroeboesman Ende, bayangan saya
pesawatnya mau mendarat ke laut. Karena memang, bandara tersebut memang tepat
berada di tepi pantai. Kesan panas memang terasa ketika kaki mulai melangkah di
aspal terminal kedatangan pesawat di bandara tersebut. Suasana pantai ternyata
turut andil dalam hal ini.
Namun,
tatkala keluar pintu bandara, pemandangan pegunungan menghijau menghampiri
sepasang mata yang terasa sedikit lelah karena perjalanan udara dari Kupang ke
Ende. Perlahan tapi pasti, panorama menghijau itu seakan mengusir rasa capek
yang menggelayut. Mobil innova warna putih seri terbaru yang saya tumpangi, seolah menuntaskan rasa lelah
menjadi rasa terpesona.
Ketika
melintas jalan yang sedikit menanjak, sepasang mata ini melihat sebuah rumah
tua. Kata Sopir Anto, nama Jawa tapi asli Ende, rumah itu adalah rumah Bung
Karno di pengasingan. Akhirnya, keingintahuan saya membawanya sesaat dalam
bangunan tersebut.
Bangunan
kuno tersebut dikenal sebagai Situs Rumah Pengasingan Bung Karno ketika berada
di Pulau Flores. Lokasinya terletak di Jalan Perwira, Kelurahan Kotaraja,
Kecamatan Ende Utara, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Situs
sejarah tempat pengasingan ini bermula dari sebuah Surat Keputusan Pemerintah
Hindia Belanda tertanggal 28 Desember 1933 yang membuat Soekarno (Bung Karno)
yang saat itu berusia 35 tahun harus menjalani hukuman pembuangan sebagai
tahanan politik di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Selama 8 hari pelayaran dari Surabaya dan dikawal dua orang petugas pemerintah, tibalah Bung Karno dan keluarganya di Ende. Ia langsung dimasukkan dalam tahanan rumah milik pemerintah Hindia Belanda hingga akhirnya tinggal di rumah milik Haji Abdullah Ambuwaru. Di rumah pengasingan ini, Bung Karno bersama istrinya Inggit Ganarsih, mertuanya Ibu Amsih, dan dua anak angkatnya Ratna Juami dan Kartika, menghabiskan waktu mereka sebagai tahanam politik dari tahun 1934 hingga 18 Oktober 1938.
Rumah
yang menghadap ke timur di Pelabuhan Ende ini awalnya milik Haji Abdullah
Ambuwaru yang kemudian dikontrak oleh Bung Karno. Luas bangunannya 9 x 12
meter, memiliki tiga kamar yang berderet di sisi kanannya. Satu kamar tidur
untuk Bung Karno, satu kamar untuk Ibu Inggit bersama Ibu Amsih, dan satu kamar
lagi untuk ruang tamu.
Di
Ende, Bung Karno kehilangan mertuanya Ibu Amsih yang paling menyayangi beliau.
Ibu Amsih wafat tahun 1935 dan dimakamkan di Pemakaman Karara, Ende. Karena
sayangnya pada mertua, Bung Karno mengerjakan sendiri makam mertuanya tersebut.
Bahkan kini makam itu masih dalam keadaan kondisi sangat baik.
Di
sinilah Anda dapat meresapi bagaimana Bung Karno menjalani keseharian hidupnya
bersama keluarga diasingkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda selama 4
tahun. Di balik perjuangannya selama pengasingan, Ende telah membenamkan kesan
mendalam bagi Bung Karno karena menjadi tempat inspirasi Bung Karno menemukan
gagasan kebhinekaan, dan sekitar 300 meter dari rumah ini, tepatnya berada di
pohon sukun yang kini terkenal dengan Taman Rendo, Bung Karno melakukan
perenungan yang menghasilkan butir-butir mutiara kebangsaan yang menjadi pokok
pikiran Pancasila.
Rumah
Pengungsian Bung Karno ini telah dibuka untuk umum sejak 16 Mei 1954. Bung
Karno sudah tiga kali berkunjung, yaitu tahun 1951, 1954 dan 1957. Tahun 1952
rumah ini pernah dijadikan Kantor Sosial Daerah Flores dan tempat bersidang
DPRD Flores. Saat itu, situs peninggalan ini dipelihara oleh Dinas P dan K.
Saat ini, perawatannya penuh dipelihara oleh Dinas Budaya dan Pariwisata, dan
rumah yang dibangun tahun 1927 ini telah ditetapkan sebagai bangunan cagar
budaya. ***
Fotografer: Faqih Anatomi
Fotografer: Faqih Anatomi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar