Desa
Garawangi merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Garawangi,
Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Topografi ketinggian desa ini adalah
berupa tanah datar dan sedikit berbukit, yaitu sekitar 300 meter di atas
permukaan air laut. Berdasarkan keadaan geografis desa, suhu rata-rata mencapai
32°
- 36°C.
Berdasarkan
data administrasi pemerintahan Desa Garawangi tahun 2010, jumlah penduduknya
adalah 3.646 orang dengan jumlah 1.012 KK dengan luas wilayah 224,347 hektar. Desa
Garawangi terdiri atas empat dusun, yaitu Dusun Kliwon, Dusun Manis, Dusun
Pahing, dan Dusun Puhun. Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai
petani yang didukung oleh lingkungan alam yang menopang pertanian, sedangkan
yang lainnya adalah buruh swasta, PNS, pedagang, montir, dan sebagainya.
Jarak
tempuh Desa Garawangi ke ibu kota Kecamatan Garawangi yaitu sekitar 0,5
kilometer. Sedang jarak ke ibu kota Kabupaten Kuningan adalah sekitar 7
kilometer.
Secara
administratif, Desa Garawangi dibatasi oleh wilayah desa-desa tetangga. Di
sebelah utara berbatasan dengan Desa Mancagar. Di sebelah barat berbatasan
dengan Desa Purwasari. Di sisi selatan berbatasan dengan Desa Pakembangan,
sedangkan di sisi timur berbatasan dengan Desa Kramatwangi.
Dalam Profil Desa
Garawangi, Kecamatan Garawangi, Kabupaten Kuningan, yang disusun oleh Tim
Perumus Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Des) Tahun 2011 – 2015, dikisahkan
bahwa secara harfiah Garawangi berasal dari
kata Gara yang artinya gunung atau
hutan dan Wangi berarti harum.
Sehingga bila dirangkaikan menjadi gunung yang harum. Gunung yang dimaksud
adalah Gunung Tiga yang terletak di wilayah Desa Garawangi, sebelah selatan
sungai Cisanggarung. Dari beberapa keterangan yang diperoleh, Desa Garawangi
itu sendiri ada sejak tahun 1874, karena sebelumnya merupakan pedukuhan yakni
pengganti istilah pademangan pada zaman kerajaan atau kesultanan.
Desa Garawangi sekarang, dahulunya merupakan
bagian dari wilayah Kadipaten Ewangga yang sekarang menjadi Kabupaten Kuningan.
Semula Desa Garawangi mempunyai luas wilayah
kerja mencapai 700 hektar, karena sebelumnya bersatu dengan Desa Mancagar dan
Desa Kramatwangi. Desa Mancagar dimekarkan sejak Oktober 1945 dan Desa Kramatwangi
dimekarkan dari Desa Garawangi pada tahun 1983.
Tanda-tanda
adanya pemerintahan di Desa Garawangi pada zaman kerajaan, terdapat situs-situs
yang tersebar di blok Cigarawangi termasuk pemakaman tokoh-tokoh zaman tersebut,
di antaranya Dalem Siti Nyi Mas Siti
Gandawangi, Nyi Mas Siti Gandasari, Embah Gencar, Embah Baladewa, Eyang
Gandakusumah, dan Embah Padang.
Proses pembangunan di Desa Garawangi sangat
erat dengan perkembangan sejarah di daerah lain misalnya Pangeran Diponegoro
yang berjuang dalam waktu yang bersamaan diasingkan ke Manado bersama Eyang Hasan
Maulani (Eyang Manado) sebagai tokoh Islam dari Desa Lengkong.
Sebagaimana kita kenal pembuat saluran
Bantarwangi yang dimotori oleh Eyang Sindukaria adalah rangkaian pembangunan untuk
pengadaan air (dikenal dengan Saluran Bantarwangi) ke Pesantren Bilisuk
(sekarang disebut Sukamulya) yang didalamnya termasuk upaya kemakmuran bagi
masyarakat di wilayah Desa Garawangi.
Desa Garawangi memiliki tanda atau rambu serta
leluhur yang ada di Desa Pinara (Kecamatan Ciniru). Di Pinara ada sebuah gunung
yang disebut Gunung Garawangi, sebutan tersebut dikarenakan pepohonan yang ada
di gunung tersebut condong dan mengarah ke Garawangi, kabarnya bahwa perencanaan
pembangunan dipusatkan di gunung tersebut. Hal ini dikuatkan dengan keterangan
bahwa dimakamkan pula tokoh-tokoh di antaranya Pangeran Gajah Parada, Pangeran
Suralangun, Kyai Mansur dan Kyai Haeirudin yang ketika itu masih zaman pademangan,
yakni wilayah kerajaan yang dikepalai oleh Demang yang diperkirakan pada tahun 1750.
Pemerintah setingkat desa diawali tahun 1867.
Pemilihan Kuwu yang dilaksanakan pada
saat itu berupa Sorodan (zaman Sorodan) yang berarti pemilihan duduk secara berkelompok
bahkan saling tarik fisik untuk meraih kerumunan atau kelompok yang lebih
banyak jumlah kelompoknya sebab pemenang dari pilihan tersebut adalah jumlah
orang dalam kelompok yang menjagokan kuwunya.
Bahkan dari kebanyakan menceritakan bahwa daun Kawung atau daun Enau yang
digunakan untuk merokok dapat digunakan untuk kampanye guna meraih perolehan
masa pemilih kuwu. Kalau kita mengamati
dalam perubahan sebutan atau istilah kuwu
menjadi Kepala Desa diawalai pada tahun 1968.
Adapun tokoh-tokoh pemeran sejarah yang sering
kita dengar di antaranya Eyang, Buyut, Pangeran, Embah dan sebutan lain
merupakan sebuatan terhormat bagi para tokoh di antaranya Baladewa, Dalem Siti,
Gandawangi, Gandasari, Gencar, Maranggi, Sarinem, Dukun, Ranggong, Tumenggung,
Menit, Padang, Saribah, Dako dan yang lainnya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar