Desa
Pangeragoan merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Kediri,
Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Topografi ketinggian desa ini adalah berupa daerah
landai, yaitu sekitar 300 - 400 meter di atas permukaan air laut.
Berdasarkan
data administrasi pemerintahan Desa Pangeragoan tahun 2010, jumlah penduduknya
adalah 4.151 orang dengan jumlah 953 KK dengan luas wilayah 2.620,58 hektar. Desa
Pangeragoan terdiri atas lima banjar, yaitu Banjar Dinas Pangeragoan Dangin
Tukad, Banjar Dinas Pangeragoan Dauh Tukad, Banjar Dinas Badingkayu, Banjar
Dinas Mengenuanyar, dan Banjar Dinas Pasut. Sebagian besar penduduknya adalah
petani, pedagang, karyawan swasta, PNS, sopir, dan wiraswasta.
Secara
administratif, Desa Pangeragoan dibatasi oleh wilayah desa-desa tetangga. Di
sebelah utara berbatasan dengan Desa Tista, Kabupaten Buleleng. Di sebelah
barat berbatasan dengan Sungai Gumbrih/Desa Gumbrih. Di sisi selatan berbatasan
dengan Samudera Indonesia, sedangkan di sisi timur berbatasan dengan Sungai Yeh
Leh.
Dalam
Profil Desa Pangeragoan diceriterakan bahwa pada tahun 1919 para orang tua (pengelingsir) dari Desa Pangkung tibah Kecamatan Kediri, Kabupaten
Tabanan, pindah tempat dengan berjalan kaki melalui pantai ke arah barat
yang jaraknya lebih kurang 50 kilometer yang dipimpin oleh seorang bernama Pan
Biring, Tujuannya untuk mencari tempat untuk lahan pertanian, dan sekaligus membangun
desa, yang sudah jelas untuk meningkatkan kesejahteraan anggota keluarganya .
Sesudah
berjalan beberapa hari lamanya, tibalah di sebuah muara sungai kecil di
tepi pantai. Lalu orang tua itu menghentikan perjalanan, dan keesokan
harinya masuk ke dalam kawasan untuk memeriksa apakah cocok tempat
itu dibuka untuk dijadikan lahan, maka
mulailah membuat tempat tinggal bersama (bangsal)
saat itu kebetulan semua rombongan itu menganut agama Hindu , maka
dibuatlah purus lumbung, untuk tempat
memohon keselamatan kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa, yang tujuannya adalah
semoga selamat semua dalam membuka lahan pertanian yang dimaksud. Turus lumbung tersebut diganti
dibangunlah Pura Kawitan yang namanya Pura Segara. Sampai saat ini pura
itu masih ada di sebelah selatan sungai Pengeragoan.
Setelah dibangun
turus lumbung, barulah kemudian mulai
bekerja membuka lahan secara gotong- royong setelah mendapat izin dari
Pemerintah Belanda.
Tidak
terhitung beberapa lama ketua bertempat di sana, maka ada keinginan
ketua membuat nama untuk tempat itu dan diadakan rembug bersama semua yang ada
akhirnya ada kesimpulan nama yang dipakai adalah nama udang kecil “geraga” yang banyak terdapat di sungai
sekitar daerah itu, sehingga suatu ketika geraga itu tidak habis untuk dimakan oleh masyarakat kala
itu. Geraga berasal dari kata ngeraga dan geraga, yaitu gumi
pangeragoan, yang sekarang menjadi Desa Pangeragoan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar