Jalur
kereta api Banjar-Pangandaran-Cijulang sekitar 82 kilometer sangat eksotik.
Selain pemandangannya yang sangat elok berupa hamparan pegunungan, pada jalur
ini juga terdapat banyak terowongan kokoh, serta jembatan yang panjang. Sayang
jalur ini ditutup sementara sejak 1982.
Terselip
pertanyaan pecinta kereta api, Deden Suprayitno (36). Mengapa pemerintah
kolonial Belanda mau bersusah payah membangun jalur rel kereta api dari Banjar
menuju Pangandaran terus Cijulang di Jawa Barat selatan pada 1911-1914?
Pembangunan
jalur kereta api di jalur tersebut pasti sangat mahal dibandingkan dengan
pembangunan rel kereta api di sisi utara Jawa.
Selain harus menggembur bukit untuk terowongan, kolonial juga harus
membangun jembatan yang sangat panjang untuk menghubungkan bukit yang satu
dengan yang lain.
Di
sepotong jalur itu terdapat empat terowongan, termasuk terowongan kereta api
terpanjang di Indonesia, dan sedikitnya tujuh jembatan panjang yang
menghubungkan bukit satu dengan bukit lainnya yang berkonstruksi baja dan
beton.
“Apakah
bisa hanya dari dari eksploitasi kopra atau hasil bumi kelapa di sekitar
Pangandaran untuk pengembalian investasi pembuatan jalur kereta api yang mahal
ini? Juga tentu tidak mudah untuk mengandalkan pendapatan dari angkutan
penumpang yang berwisata ke pantai Pangandaran, pasti ada nilai lain yang
diandalkan menjadi nilai ekonomi penting di sini,” kata Deden, Koordinator
Wilayah Jawa Barat untuk komunitas pecinta kereta api Indonesian Railways
Preservation Society (IRPS).
Deden
didampingi rekannya, Asep, yang dikenal paling gemar menyusuri jalur rel kereta
api nonaktif atau mati. Mereka menunjukkan jalur mati lintas kereta api
Banjar-Cijulang sepanjang 82 kilometer.
Berdasarkan
buku Sekilas 125 Tahun Kereta Api Kita
1867-1992 (1992) oleh Iman Subarkah, pembangunan jalur kereta api Banjar ke
Cijulang dibagi dalam dua periode. Periode pertama antara Banjar dan Kalipucang
sepanjang 43 kilometer selesai pada 15 Desember 1916.
Periode
kedua, dilanjutkan dari Kalipucang melintasi Pangandaran sampai di Cijulang
sepanjang 39 kilometer itu selesai dan mulai dioperasikan pada 1 Januari 1921.
Menurut
Deden, pengelola kereta api menutup operasional jalur kereta api dari Cijulang
ke Pangandaran pada 1980. Kemudian disusul dari Pangandaran menuju Banjar
ditutup pada 1982.
Stasiun
Banjar berada pada lintasan utama jalur kereta api dari Bandung menuju
Yogyakarta. Jalur yang terus dipertahankan sampai sekarang.
Terowongan
Empat
terowongan yang ada di jalur Banjar-Pangandaran memiliki keunikan masing-masing
dan semuanya menggunakan nama keluarga Kerajaan Belanda.
Terowongan
Hendrik yang memiliki panjang 105 meter, misalnya, hingga saat ini masih
digunakan warga bahkan bisa dilintasi mobil.
Adapun
terowongan Juliana (127,4 meter) dikenal pula sebagai Terowongan Bengkok karena
terowongan ini berbelok di bagian tengahnya.
Adapun
terowongan Wilhelmina yang berjarak sekitar 400 meter dari terowongan Juliana,
merupakan terowongan terpanjang di Tanah Air dengan panjang 1.116 meter. Terowongan
ini juga sering disebut terowongan Sumber karena terletak di Desa Sumber.
Jika
ketiga terowongan itu relatif berdekatan, terowongan Philip/Batulawang
terpencil sendiri karena berjarak sekitar 35 kilometer ke arah Banjar atau
hanya sekitar 3,4 kilometer dari Stasiun Banjar. Terowongan sepanjang 283 meter
ini juga unik karena berbelok pada salah satu ujungnya.
“Ini
satu-satunya dari empat terowongan yang mencatumkan angka tahun 1914. Persis
100 tahun yang lalu, terowongan Batulawang ini dibuat,” kata Deden.
Jembatan eksotis
Kokohnya
terowongan di lintas Banjar-Pangandaran itu masih dilengkapi dengan sedikitnya
tujuh jembatan panjang yang eksotis. Berapa jembatan menghubungkan satu bukit
ke bukit lainnya, menyajikan pemandangan indah tampak dari atas jembatan yang
hanya bisa dibayangkan karena saat ini hampir semua konstruksi baja beserta rel
di atas jembatan itu sudah raib.
Jembatan
Cikacepit berjarak sekitar 50 meter dari terowongan Hendrik menuju terowongan
Juliana ke arah Pangandaran. Jembatan ini berkonstruksi baja dan beton
sepanjang 316 meter. Dikhawatirkan sebentar lagi akan ambruk karena jejaring
bajanya banyak yang dijarah.
Konstruksi
baja pada jembatan lainnya yang sudah raib, antara lain jembatan Cipambokongan,
Cikacampa, Cikabuyutan, dan Cipanerekean atau Ciputrapinggan.
Jembatan
Cipambokongan dengan konstruksi baja sepanjang 284, 8 meter saat ini semua
konstruksi bajanya sudah raib. Yang tersisa hanya fondasi dan tiang beton.
Jembatan
Cikabuyutan bernasib sama. Konstruksi bajanya sepanjang 164 meter telah hilang
tak berbekas.
Jembatan
Cikacampa dengan konstruksi baja sepanjang 160 meter juga raib. Fondasi dan
tiang beton yang tersisa.
Ada
jembatan beton Ciputrappingan sepanjang 95 meter, berdasarkan survei IRPS,
masih terlihat utuh. Jembatan ini dapat digunakan warga dengan berjalan kaki
menuju obyek wisata Karang Nini, Pangandaran.
Di
dekat jembatan Ciputrapinggan beton terdapat jembatan Ciputrapinggan baja
dengan konstruksi sepanjang 150 meter. Lokasinya berada di pantai sehingga
dapat dibayangkan ketika melintasinya dengan kereta api pada waktu itu
sekaligus dapat menikmati keindahan Samudera Hindia.
Investasi
Banyaknya
terowongan dan jembatan panjang yang dibangun menunjukkan banyaknya investasi
yang dipakai.
“Jalur
kereta api itu dibangun perusahaan Staatsspoorwegen milik Pemerintah Hindia
Belanda. Mereka memiliki pengetahuan yang sudah jauh lebih bagus,” kata
pengamat masalah perkeretaapian, Djoko Setijowarno dari Universitas Katolik
Soegijapranata, Semarang.
Pemerintah
kolonial Belanda menggunakan sudut pandang secara makro atau luas untuk
menyediakan infrastruktur di daerah-daerah terisolasi yang berpotensi. Daerah
Jawa Barat bagian selatan dari dulu sampai sekarang pun menjadi kantong
kemiskinan.
“Pemerintah
kolonial pada waktu itu sudah berkewajiban untuk menyediakan infrastruktur
transportasi, selain meningkatkan ekonomi,” kata Djoko.
Berkaca
dari hal baik ini, menyelamatkan aset perkeretaapian warisan kolonial Belanda
pada jalur-jalur mati akan memberikan manfaat ketika ingin menghidupkannya
kembali di suatu saat nanti. Mungkin saja, kita sekarang tidak mampu lagi
mengulang pembangunan infrastruktur seperti terowongan dan jembatan eksotis
yang sepadan. [NAWA TUNGGAL DAN TRY HARJONO]
Sumber: KOMPAS Edisi Senin, 14 April 2014 hal.
14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar