Berusia
100 tahun tidak membuat Tugu Kunstkring
Paleis renta dan kumal. Tua-tua keladi, gedung tua di Jalan Teuku Umar Nomor 1,
Menteng, Jakarta Pusat, kini justru teramat cantik dan anggun. Di sini, segala sesuatunya
bukan hanya seni, melainkan juga antik, bernilai historis, ekslusif, dan
menawan luar biasa.
Selasa
(15/4), tiba kesempatan untuk menikmati Kunstkring. Sore itu, hujan baru saja
lewat. Segelas besar wedang jahe disajikan dengan gula merah cair. Pilihan
tepat untuk mengawali perjalanan wisata sejarah dan lidah.
Kunstkring
dibuka pertama kali pada 17 April 1914 dan menjadi pusat ekshibisi seni dan
restoran mewah. Berada di sana menjalin tren baru bagi masyarakat kelas atas
kala itu.
Tahun
1914 hingga awal 1939, banyak pergelaran untuk menunjukkan penghargaan
tertinggi pada seni di Kunstkring, yang dalam bahasa Indonesia berarti
lingkaran seni.
Lukisan
karya Pablo Picasso dan Vincent van Gogh termasuk yang pernah dipamerkan di
gedung dua lantai ini.
Gedung
yang dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu kini disewa dan dikelola Grup
Hotel Tugu dan Restoran. Dengan semangat yang sama, grup ini mengembalikan
Kunstkring seperti fungsinya dulu.
Menoleh ke belakang
Anhar
Setjadibrata, pendiri Grup Hotel Tugu dan Restoran, mengajak berkeliling di
gedung yang sempat dijadikan kantor imigrasi. Gedung ini pada 4-5 tahun lalu
pernah dijadikan bar kontrovesi. Pernah juga dibiarkan terbengkalai.
Perlahan,
setiap pengunjung ditarik merambati waktu menuju masa silam negeri ini. Di
tangan Anhar, keaslian gedung tua ini dijaga ketat. Namun, interior di dalam
gedung mendadak raya dan bernilai seni tinggi setelah pria ini mengerahkan
koleksi warisan keluarga besar Raja Gula Oei Tiong Ham sebagai penghias
Kunstkring.
Ruang
Pangeran Diponegoro yang menjadi ruang utama restoran mungkin menjadi
satu-satunya tempat trah dua kerajaan di Surakarta, Jawa Tengah, yaitu
Mangkunegaran dan Pakubuwono, bisa berlama-lama bersama dalam satu ruangan.
Saat melangkah masuk, pengunjung akan melewati pintu keemasan dengan lambing MN
alias Mangkunegara. Di dinding dalam ada sederet peninggalan PB atau
Pakubuwono. Di ruangan yang luas ini, ada lukisan “The Fall of Java” karya
Anhar. Lukisan sepanjang 9 meter ini mengisahkan Pangeran Diponegoro dan
penangkapannya akibat kelicikan penjajah.
“Ini
semua pemberian langsung dari yang bersangkutan kepada keluarga Oei Tiong Ham.
Kami punya peninggalan Soekarno yang khusus kami sajikan di Ruang Soekarno.
Untuk menghormati Multatuli dan belajar darinya, ada juga ruang khusus dengan
namanya,” kata Anhar.
Bagi
Anhar, menjadikan Kunstkring seperti dulu butuh perjuangan ekstra. Ia punya
pandangan bahwa siapa pun, terlebih masyarakat sebuah bangsa, butuh menengok ke
belakang, ke masa lalunya. Banyak hal bisa dipelajari dari setiap benda
bernilai seni dan sejarah.
Di
Kunstkring, benda seni dijamin memiliki nilai tambah. “Bukan sekadar cantik,
tetapi ia pernah dimiliki atau minimal dipegang oleh orang penting. Apa yang
ada di sini termasuk benda yang jarang ditemukan di tempat lain,” tambah Anhar.
Namun,
demi kemajuan seni budaya di Jakarta, Kunstkring yang berada tepat di jantung
kawasan cagar budaya Menteng membuka diri bagi siapa saja yang ingin memamerkan
karya seninya. Sebuah aula besar di lantai dua jadi ruang khusus ekshibisi.
Anhar berharap, romantisme masa silam saat karya seni dihargai
setinggi-tingginya di kota ini akan terulang.
Relaksasi semua indera
Salah
satu pintu di lantai dua mengantar tamu masuk ke ruang kecil berisi meja bundar
dengan empat kursi. Rasa takjub tiba-tiba menjalar melihat ruang itu tepat di
bawah kubah tinggi dengan susunan bata dan balok kayu yang masih kokoh.
Dari
ruang berkubah, suasana yang begitu berbeda dirasakan saat berada di The
Balcony of Menteng. Sebuah balkon dengan ubin asli berusia satu abad.
Biarkan
mata, kulit, telinga, hingga hidung mendapatkan kemewahan. Udara segar dan
bersih menyapa dari hamparan rumput hijau tebal. Tajuk pohon-pohon tinggi
menjadi tirai alami yang membatasi diri dari keriuhan jalan aspal di seberang
sana.
Saat
hendak bersantap, kejutan sepertinya enggan berakhir. Ruangan hening dan
temaram, lagu “Jali-jali” tiba-tiba mengentak mengiringi 12 pramusaji menari
mengelilingi tamu. Mereka membawa serta aneka hidangan. Seusai beratraksi, satu
per satu minuman, panganan, hingga makanan inti disajikan. Inilah rasanya
menjadi tuan dan nyonya yang dilayani sepenuh hati.
“Ini
adalah Tugu Grand Rijsttafel Betawi. Ada pilihan 12, 16, dan 24 menu. Sajian
ini khas Kunstkring,” kata Annette Anhar, putri bungsu Anhar.
Duh,
jadi susah berhenti mengudap panganan enak dalam potongan kecil seperti kue tok
dan onde-onde. Kuah dan isi es selendang mayang nendang sekali di mulut. Belum lagi nasi uduk yang dibungkus daun
pisang, semur lidah, dan sate lembut berupa olahan daging sapi cincang yang
direkatkan pada bilah-bilah tebu. Alamak lezatnya. [NELI TRIANA]
Sumber: Kompas Edisi Sabtu, 19 April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar