Prasasti
Panai tidak memiliki angka tahun yang absolut. Prasasti ini menggunakan aksara
pasca-Pallawa atau aksara Kawi Akhir dan berbahasa Melayu Kuno. Prasasti ini
terbuat dari batu putih atau batu kapur yang berbentuk silinder berukuran tinggi
81 cm, keliling terbesar 124 cm, dan keliling terkecil 89 cm. Tulisan diukir
melingkar mengikuti bentuk medianya. Sebagian besar, kondisi prasasti ini dalam
keadaan aus karena media yang digunakan adalah batu yang sifatnya sangat rapuh
dan sensitif dengan iklim sehingga mudah rusak, sehingga sebagian tulisan sulit
untuk dibaca. Tulisan yang dapat dibaca pada prasasti ini sebanyak sepuluh
baris.
Prasasti
ini ditemukan di kompleks Biaro Bahal I,
Kecamatan Portibi, Kabupaten Padang Lawas Utara, Provinsi Sumatera Utara.
Sebelumnya,
prasasti sempat dikenal sebagai Prasasti Batu Gana, kemudian menjadi Prasasti
Batu Gana I, penemuam ini berdasarkan adanya penemuan baru berupa prasasti
dengan nama yang sama sekitar 2 kilometer di sebelah utara Biaro Bahal I. Ada
juga yang menyebutnya sebagai Prasasti Bahal I mengingat prasasti ini ditemukan
di kompleks Biaro Bahal I. Namun kini, setelah melewati sepuluh tahun, prasasti
tersebut dinamai Prasasti Panai. Hal ini sesuai dengan hasil pembacaan akhir
yang menyebutkan nama “Panai” pada baris kesepuluh.
Catatan
perjalanan Armenia menyebut dua pelabuhan yang mengekspor kamper dalam jumlah
yang besar: “P’anès” dan “Lewang”. Kemungkinan besar, nama tempat yang
pertama tidak lain adalah Panai. Identifikasi nama yang kedua lebih sulit.
Jelas bahwa pelabuhan tersebut terletak di selatan Panai dan di utara Jambi
(Melayu) – mungkin Belawan, yang sekarang merupakan pelabuhan dari Medan.
Kutipan-kutipan
di atas menunjukkan bahwa pada zaman Lobu Tua, kamper tersedia di beberapa pelabuhan
dari Selat Malaka, baik di pantai Sumatera, maupun di pantai Semenanjung.
Tersedianya bahan ini di pasar Panai dan “Lewang”, yang menurut teks asli
tampaknya berhubungan, mungkin berarti bahwa sebagian dari kamper yang berasal
dari Barus dibawa melalui jalan darat yang melewati Padang Lawas, sebelum
menuju ke pantai timur melalui sungainya. Dari situ, kamper disebarkan ke
berbagai pelabuhan di Selat Malaka.
Prasasti
Panai ini merupakan salah satu artefak yang membuktikan keberadaan Kerajaan
Panai yang pernah disebut pada Prasasti Tanjore (India) dan Kitab
Negarakertagama (Indonesia).
Sekarang
ini, prasasti Panai disimpan di Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara dengan
nomor inventaris 2186. Pemindahan artefak bertulis ini dilakukan mengingat
kondisi fisiknya yang sudah aus serta bahannya yang mudah rusak. Jika dibiarkan
di tempat di mana prasasti tersebut ditemukan, dikhawatirkan akan terjadi
kerusakan yang lebih parah lagi. Selain itu, yang paling ekstrim adalah
kemusnahan yang diakibatkan ulah tangan manusia, baik aktivitas vandalisme
maupun pencurian.
Prasasti
Panai ini menyebutkan tentang aliran sungai yang dilayari perahu hingga hilir
dari abad ke-12 hingga 14 M. Hal ini diketahui dari informasi yang tertera
dalam prasasti tersebut yang menyebutkan kata “mahilir” yang artinya pergi ke hilir dengan menggunakan perahu.
Alih
aksara:
… la na°i
k. dańa [n]
… yaŋ
di (da) laŋ savah na°ik.
… °ikat. (malava) n. (man)da [la]
… n. turun. manamat. °a
… (s) uńai
{l} ńa parayunan. Maŋ hilirā
… kan. na°ik.
{2/3}t. batu tanam. yaŋ
di padaŋ
… (s)uńai
marla(mpa)m. hilir.
… (?)u kami dańa(n) {2/3}n. pramana bhumi pańkana di yaŋ
°a
… (na) (pa) {1} (ma) li (da) kuţi haji di {3}i mañusuk. bhumi °inan.
… dari kabayan. punya kuţi hinan. kuţi
haji bava bvat. paņai
samuha
Alih
bahasa:
…
naik dengan
…
yang di (dalam) sawah naik
…
(melawan) manda-
…
turun mengakhiri
…
sungai … perahu yang mengalir ke hilir/hanyut
…
naik … batu tanam yang di padang
…
Sungai yang ada ikannya di hilir
…
pramana bumi/wilayah Pańkana kepada
… kuţi
haji … mendirikan wilayah yang bermula di
… dari kabayan punya kuţi hinan dan kuţi
haji yang dibawa untuk (masyarakat) Paņai semuanya
Kepustakaan:
Claude Guillot dkk, 2007, Barus Seribu Tahun yang Lalu, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Lisda Meyanti, 2012, Prasasti Paņai, dalam Skripsi pada Program Studi Arkeologi, Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar