Prasasti
Kudadu bertarikh 1216 Çaka atau bertepatan dengan 11 September 1294 M, dengan
menggunakan aksara Kawi Majapahit. Prasasti ini dipahatkan pada lempeng tembaga
(tamra praśasti) yang dikeluarkan
oleh Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardha
Anantawikramottunggadewa.
Prasasti
ini ditemukan di lereng Gunung Butak yang masuk dalam jajaran Pegunungan Putri
Tidur. Gunung Butak berada dalam wilayah perbatasan Kabupaten Blitar dan
Kabupaten Malang.
Prasasti
Kudadu atau yang dikenal juga dengan Prasasti (Gunung) Butak – sesuai dengan
lokasi ditemukan prasasti - menyebutkan tentang pemberian anugerah raja
Kertarajasa Jayawardhana kepada pejabat Desa Kudadu berupa penetapan Desa
Kudadu sebagai sīma untuk dinikmati
oleh pejabat Desa Kudadu dan keturunan-keturunannya sampai akhir zaman. Para
pejabat Desa Kudadu itu mendapat anugerah demikian karena telah berjasa kepada
raja sebelum dinobatkan menjadi raja dan masih bernama Narārya Saṃgrāmawijaya.
Pada waktu itu, Saṃgrāmawijaya melarikan diri dengan dikejar-kejar oleh musuh,
yaitu tentara Jayakatwang, yang telah membinasakan Raja Kertanegara.
Bagian sambadha dari prasasti Kudadu itu
ditulis dengan panjang lebar sampai meliputi lebih dari tiga lempengan prasasti
timbal balik. Menceriterakan dengan terperinci bagaimana Wijaya diperintahkan
Raja Kertanegara untuk menghalau musuh yang telah menyerbu sampai ke Desa Jasun
Wungkal, sampai ia terpaksa melarikan diri dan terkepung oleh musuh. Ia berlari
terus sambil memberikan perlawanan, tetapi senantiasa kalah karena banyaknya
musuh. Akhirnya ia sampai ke Desa Kudadu. Ternyata kemudian bahwa para pejabat
Desa Kudadu masih setia kepada Raja Kertanegara, karena mereka telah memberikan
makan, minum dan tempat persembunyian pada Wijaya dan pengikut-pengikutnya,
yang terdiri dari Lembu Sora, Ranggalawe, Nambi, Dangdi, Banyak Kapok, Pedang,
Mahisa Pawagal, Pamandan, Gajah Pagon dan Wiragati. Kemudian para pejabat Desa
Kudadu itu, yang dipimpin oleh kepala desanya yang bernama Macan Kuping,
mengantarkan Wijaya sampai ke Rǝmbaṅ, untuk kemudian berlayar menyeberang ke
Pulau Madura.
Setelah
Wijaya menjadi raja, ia tidak melupakan jasa-jasa para pejabat desa itu, dan karena
itu menganugerahkan Desa Kudadu sebagai daerah perdikan bagi para pejabat Desa
Kudadu dengan semua keturunan-keturunannya.
Prasasti
ini sudah diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes di dalam catatan-catatan edisinya
mengenai Pararaton.
Alih aksara:
//0// swasti śakawarṣātīta ' 1216 ' bhadrapāda
māsa ' tīthi pañcā
rohiṇi nakṣatra ' prajāpati dewatā ' mahendra
māṇḍala '
siddhi yoga ' werajya muhūrtta ' yama parwweśa
' tetila karaṇa '
kanya rāśi ' irika diwasanyajñā śrī
mahāwīratameśwarānanditapara
kramottaṅgadewa** ' mahābaṇa
sapatnādhipawinaka karaṇa ' śīlā
cāra guṇa rūpawinayotta manuyukta ' samasta
yawadwīpeśwara '
sakala sujana dharmma saṁ rakṣaṇa '
narasiṅhanagaradharmmawiśeṣa santa
na '
narasiṅhamūrtti sutātmaja ' kṛtanaga....
Kepustakaan:
Boechari,
2012, Melacak Sejarah Kuno Indonesia
Lewat Prasasti, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Denys
Lombard, 1996, Nusa Jawa: Silang Budaya
Jaringan Asia 2, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar