Berdasarkan
catatan sejarah, pada abad ke-18 ada seorang Belanda bernama Cornelis
Chastelein yang menjadi tuan tanah di Depok, Lenteng Agung, Pasar Minggu hingga
kawasan Gambir di Jakarta. Kisahnya bermula ketika pada 24 Januari 1674,
Cornelis Chastelein yang masih berumur 17 tahun, berlayar ke Hindia Belanda. Di
Hindia Belanda, ia bekerja sebagai boekhouder
bij de kamer van zeventien atau pemegang buku di kantor Dewan Pengurus VOC
(Vereenigde Oost Indische Compagnie).
Pada tahun 1680, ia menikah dengan seorang wanita Belanda, Chatarina van
Quaalbergh. Sejak itu pangkatnya di VOC naik terus, sehingga membuat ia menjadi
orang kaya.
Akan
tetapi karena terjadi selisih paham dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda,
Willem van Outhorn, pada tahun 1692, Cornelis Chastelein mengundurkan diri dari
VOC. Setelah mengundurkan diri dari VOC, ia mulai berwiraswasta. Pada tanggal 1
Mei 1696, Cornelis Chastelein membeli lagi lima persil tanah (1,244 hektar) di
sekitar Depok, yang meliputi desa Pitara, Kampung Sengon, Kampung Parung
Blimbing, dari seorang tuan tanah Tionghoa yang bernama Tio Tiong Ko.
Tanah yang dibelinya itu digunakan untuk membuka usaha pertanian, peternakan maupun perkebunan. Tanah yang dibelinya itu merupakan Tanah Partikelir yang terlepas dari kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda (Het Gemeente Bestuur van Het Particuliere Land Depok). Untuk mewujudkan usahanya tersebut, Cornelis Chastelein berusaha mendatangkan 150 orang budak yang dibeli dari raja-raja di Bali, Sulawesi Selatan, Timor, Nusa Tenggara Timur dan wilayah timur lainnya di Hindia Belanda. Namun, para budak yang menjadi pekerjanya kemudian hari pada tahun 1715 dimerdekakan dengan memakai baptis kristiani ke dalam 12 marga: Bacas, Isakh, Jonathans, Jacob, Joseph, Loen, Laurens, Leander, Tholense, Soedira, Samuel dan Zadokh.
Tanah Partieklir yang dikelola oleh Cornelis Chastelein ini ternyata diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda di Batavia dan menyetujui menjadi daerah otonomi atau teritori khusus dengan membentuk pemerintahan sipil sendiri (gemeente bestuur).
Gemeente bestuur dibentuk pada tahun
1872 oleh “pewaris” Chastelein, yaitu para pekerjanya yang telah dimerdekakan
guna membentuk tatanan awal pemerintahan sipil di Depok dalam organisasi
bercorak republik.
Gedung
Gemeente Depok (kotapraja) dibangun
di Jalan Pemuda No. 10 Kelurahan Depok, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok,
Provinsi Jawa Barat. Tempat yang menjadi pusat pemerintahan Kota Depok di masa
lampau ini sekarang menjadi Rumah Sakit Harapan Depok. Kawasan ini dulunya
dikenal dengan Kerkstraat, lantaran
bangunan pertama yang menghuni jalan tersebut adalah kapel yang di kemudian
hari berubah menjadi GPIB Jemaat Immanuel Depok.
Ketika
Indonesia sudah merdeka, pada tahun 1950 dilakukan pembubaran semua tanah
partikelir oleh Pemerintah Republik Indonesia (RI), termasuk Gemeente Depok. Setelah itu, pemerintah
menyerahkan kembali sebagian tanah partikelir yang dianggap sebagai Kommunal
bezit dan Eigendom, atau milik bersama, masyarakat Depok. Termasuk di dalamnya
tanah yang dimiliki secara pribadi oleh masing-masing ke-12 kaum keluarga
masyarakat Depok.
Menilik
dari nilai historis yang dikandungnya, gedung kotapraja Depok sudah selayaknya
menjadi bangunan cagar budaya yang harus dilestarikan di Kota Depok. *** [160514]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar