Pulo
Geulis merupakan suatu daerah yang secara administratif berada di Kelurahan
Babakan Pasar, Kecamatan Bogor, Kota Bogor. Konon, Pulau Geulis ini terbentuk
akibat aliran Sungai Cliwung yang terbelah sehingga menyerupai seperti pulau
kecil, yang di kanan kirinya masih banyak ditumbuhi hutan. Dalam bahasa Sunda, Pulo Geulis berarti pulau yang cantik.
Pulo
Geulis ini sudah sejak dulu dikenal, diawali sebagai tempat peristirahatan raja
beserta kerabatnya dari Kerajaan Pakuan Pajajaran hingga menjadi pemukiman
orang-orang Tionghoa. Sebelum kawasan hunian orang-orang Tionghoa bergeser ke
Jalan Surya Kencana setelah adanya peraturan wijkenstelsel, Pulo Geulis telah lebih dulu menjadi pemukiman
orang-orang Tionghoa terlebih dahulu. Karena memang Pulo Geulis terletak di
tepi Sungai Ciliwung yang dulunya masih bisa dilalui oleh kapal-kapal yang
cukup besar. Setelah pendatang Tionghoa ini mendirikan pemukiman di Pulo
Geulis, mereka berupaya mendirikan tempat peribadatan untuk melakukan
sembahyang seperti yang diajarkan oleh leluhur mereka di Tiongkok. Bangunan
peribadatan itu diberi nama Klenteng Pan Kho Bio.
Klenteng Pan Kho Bio terletak di Jalan Roda IV No. 18 RT. 02 RW.04 Kelurahan Babakan Pasar, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi klenteng ini berada di sebuah jalan yang kecil, dan berada di tengah kampung, sehingga menyebabkan kurangnya umat yang datang ke klenteng tersebut dan lebih memilih menuju ke Klenteng Hok Tek Bio.
Sesuai dengan inskripsi yang ditemukan, bangunan klenteng ini diperkirakan dibangun pada tahun 1883. Awalnya, masih berupa bangunan yang sangat sederhana namun seiring perjalanan sang waktu, klenteng ini mengalami beberapa renovasi sehingga bentuknya kini tidak seperti bangunan klenteng pada umumnya.
Klenteng
Pan Kho Bio memiliki denah persegi empat dengan luas bangunan 400 m²
di atas lahan seluas 500 m². Seperti bangunan klenteng pada umumnya, klenteng ini
didominasi oleh warna merah dan kuning pada bagian jendela dan warna cat
dinding. Klenteng ini semula merupakan tempat peribadatan bagi umat Kong Hu Chu
kemudian berkembang menjadi Tri Dharma yang terdiri atas Kong Hu Chu, Tao
maupun Buddha. Akan tetapi, ketika masa pemerintahan Orde Baru (Orba) klenteng
ini berubah nama menjadi Vihara Maha Brahma. Hal ini dimaksudkan untuk
kamuflase agar klenteng ini tetap diakui.
Klenteng
ini juga telah mengalami akulturasi budaya dengan budaya lokal yang menjadi keunikan
klenteng ini bila dibandingkan dengan klenteng yang lainnya. Di dalam klenteng
ini juga terdapat situs purbakala yang berasal dari zaman megalitikum dan zaman
klasik berupa batu besar yang masih dipuja lengkap dengan sesajian oleh
masyarakat setempat. *** [220514]
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusBaik, Mbak Assa. Tapi melihat kuesioner yang akan diisi di mana ya?
BalasHapus