Kesepakatan
para founding father, yaitu Soekarno,
Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewantoro, Ki Ageng Suryomataram, Gatot Mangkuprojo,
K.H. Mas Mansyur, K.H. Agus Salim, agar bangsa Indonesia mendapat latihan
kemiliteran merupakan ide pembentukan
tentara pembela tanah air (PETA). Secara de facto dan de jure
pembentukan PETA berdasarkan maklumat Osamu
Seirei No. 44 tanggal 3 Oktober 1943 yang diumumkan Panglima Tentara ke-16
Jepang Letnan Jenderal (Letjen) Kumakichi Harada untuk membantu tentara Jepang
sebagai kekuatan cadangan.
Pelatihan
tentara PETA dipusatkan di Boei Gyugun
Resentai Bogor dengan materi taktik dan teknik tempur dari tingkat Daidancho (Danyon), Chudanco (Danki) dan Shodancho
(Danton) dengan instruktur Jepang. Bila ditelisik sudah banyak peran yang
dilakukan tentara PETA, dalam proses mempersiapkan, merebut, mempertahankan dan
mengisi kemerdekaan RI. Hal ini dapat dilihat di mana pada 16 Agustus 1945,
PETA mengamankan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok karena di Jakarta diisukan
akan terjadi revolusi. Pada saat proklamasi kemerdekaan RI, PETA berperan
mengamankan wilayah, sarana telepon, dan Chudancho
Latief Hendraningrat dipercaya sebagai pengibar bendera Merah Putih. PETA juga
berperan dalam mempertahankan kemerdekaan RI dan berbagai pertempuran seperti
Palagan Ambarawa yang dipimpin Kolonel Sudirman, dibantu komandan lapangan
(Letkol Gatot Subroto, Mayor A. Yani, Mayor Soeharto dan Mayor Sarwo Edhie
Wibowo), Palagan Surabaya (Dr. Mustopo, Letkol Sungkono), Palagan Palembang
(Bambang Utoyo, Makmun Murod, Ratu Alamsyah Prawiranegara), Palagan Bali (I
Gusti Ngurah Rai). Adapun tentara PETA yang berhasil menjadi tokoh TNI AD dan
pemimpin bangsa, antara lain Jenderal Sudirman, Jenderal A. Yani, Jenderal
Soeharto, Jenderal Umar Wirahadikusumah dan Letjen Sarwo Edhie Wibowo.
Untuk
menghormati dan mengabdikan nilai-nilai kepahlawanan, patriotism, nasionalisme,
militansi perjuangan PETA, atas prakarsa Yayasan (YAPETA) PETA Bogor dan mantan
PETA, situs yang ada pada masa kolonial Belanda digunakan sebagai Markas Koninklijk Nederlands Indische Leger
(KNIL), pada masa pendudukan Jepang digunakan sebagai Boei Gyugun Kanbu Kyo Iku Tai (Markas Komando Pusat Pendidikan
Perwira Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa) dan pada tanggal 15 April
1950 diserahkan oleh KNIL kepada Indonesia dan difungsikan sebagai Sekolah
Genie yang kemudian dirancang dan direnovasi sebagai Monumen dan Museum PETA.
Peletakan
batu pertama dilakukan oleh mantan PETA Jenderal TNI (Purn) Umar Wirahadikusuma
yang pernah menjabat Wakil Presiden RI tanggal 14 November 1993. Selanjutnya
Monumen dan Museum PETA diresmikan oleh Presiden RI ke-2 Jenderal Soeharto
tanggal 18 Desember 1995 dan dibuka untuk umum.
Pada
tanggal 9 Agustus 2010 dilaksanakan serah terima Monumen dan Museum PETA dari
YAPETA Bogor kepada Pemerintah, dengan penandatanganan Berita Acara Serah
Terima Monumen dan Museum PETA oleh Ketua YAPETA Bogor, H. Tinton Soeprapto,
diserahkan kepada Menteri Pertahanan (Menhan) RI cq Dirjen Kuanthan Kemhan
Mayjen TNI (Purn) Suryadi, M.Sc dan dari Dirjen Kuanthan Kemhan dierahkan
kepada Kasad cq Kadisjarahad Brigjen TNI Marsono. Dilanjutkan dengan peresmian
patung Shodancho Supriyadi dan penandatangan prasasti oleh Menhan Prof. Dr.
Purnomo Yusgiantoro.
Monumen dan Museum PETA terletak di Jalan Jenderal Sudirman No. 35 Kelurahan Pabaton, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi Monumen dan Museum PETA ini berada di sebelah utara Markas Kodim 0606 Bogor.
Monumen
dan Museum PETA ini menempati bangunan peninggalan Belanda. Bangunan ini
dibangun bersamaan dengan pembangunan Istana Bogor pada tahun 1745. Dulu
bangunan ini merupakan gedung yang dipergunakan pengawal Gubernur Jenderal dan
pegawai yang lainnya.
Kemudian
penggunaan bangunan ini silih berganti beralih penggunaannya seiring
perkembangan zaman. Bermula dari tangsi militer bagi pengawalan Gubernur
Jenderal menjadi zeni Belanda atau militair
kampement, lalu berganti menjadi tangsi atau pusat pelatihan tentara PETA
dan kini menjadi zeni Indonesia.
Dari
keseluruhan lahan yang digunakan oleh Zeni AD ini seluas 13,7 hektar, hanya
2,150 m²
lahan yang dipakai untuk Monumen dan Museum PETA di mana luas bangunan untuk
museumnya sendiri seluas 1.733,59 m².
Di
halaman depan museum terdapat patung Panglima Besar Jenderal Sudirman dan Shodancho Supriyadi, batu prasasti serta
2 unit tank AMX-13. Lalu, memasuki pintu gerbang yang cukup besar terdapat
lorong sebelum memasuki Museum PETA. Pada lorong yang dikenal dengan sebutan
lorong among tamu, dinding kanan terdapat relief pembentukan PETA, tokoh-tokoh
PETA dan Daidan PETA Blitar;
Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945; mantan PETA yang menjadi tokoh
nasional, sedangkan pada dinding kiri lorong terdapat relief perjuangan dan
pemberontakan PETA di Blitar, Palagan Ambarawa, dan PETA sebagai salah satu
cikal bakal TNI.
Ada
2 bangunan cagar budaya (BCB) yang difungsikan sebagai Museum PETA, Di bagian
sayap kanan gedung utama museum merupakan Ruang Supriyadi, dan bagian sayap
kiri gedung utama museum merupakan Ruang Sudirman.
Pada
Ruang Supriyadi, koleksi yang dipamerkan sebagai bukti sejarah perjuangan para
tokoh bangsa Indonesia dan pendiri tentara PETA berupa diorama, vitrin,
foto-foto maupun maket Markas KNIL, sedangkan pada Ruang Sudirman, koleksi yang
dipamerkan berupa diorama sejarah perjalanan cikal bakal TNI, vitrin, foto-foto
mantan PETA dan sebagainya.
Usai
melihat pajangan koleksi yang dipamerkan di dalam museum, pengunjung bisa
menuju ke halaman belakang. Di sana terdapat Monumen PETA yang berbentuk dinding
oval di atas selasar bundar. Pada dinding dalam memuat organisasi dan nama
Perwira PETA yang dididik di Boei Gyugun
Renseitai Bogor dan dinding luar berupa relief sejarah perjuangan PETA. *** [140514]
Kepustakaan:
Brosur Monumen dan Museum PETA yang dikeluarkan oleh
Dinas Sejarah Aangkatan Darat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar