Ibarat
pepatah siapa menanam dia menuai, demikian pula nasib Singkil di Aceh dan Barus
di Tapanuli, Sumatera Utara. Pamor kedua kota yang begitu tenar dalam
perdagangan internasional berabad lampau kini surut dalam kesunyian.
Waktu
seakan berhenti saat mobil kami melalui tikungan terakhir menjelang Barus,
Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Setelah enam jam berkendara dari
Singkil melintasi jalan berkelok menembus hutan bercampur kebun kelapa sawit
melalui Manduamas, Tapteng, tidak membawa kami ke tempat lebih ramai. Kota yang
begitu metropolis pada masanya kini tak lebih dari sekadar persinggahan
pelintas semata. Bahkan, untuk mencari makan malam bagi 13 orang sja, kami
harus tiga kali masuk-keluar warung makan.
Komoditas alam
Ya,
pamor Singkil dan Barus yang mendunia di pasar internasional berabad lampau
berkat lada (Piper nigrum L) dan
kapur barus (Dryobalanops aromatica),
kini nyaris tak tersisa. Bumbu masak paling dicari di negeri empat musim, lada,
menjadikan pelabuhan Singkil sangat sibuk. Demikian pula khasiat kulit pohon
kapur berwarna merah kehitaman yang mengharumkan nama Barus ke seluruh dunia.
Dalam
buku Sejarah Sumatera (April 1783), William Marsden, mengisahkan, pedagang Aceh
membeli kapur barus dari orang Batak dan menjualnya kepada pedagang dari Eropa
dan Tiongkok. Harga kapur barus berkualitas terbaik di tingkat penghasil 6-8
dollar Spanyol per 0,5 kilogram. Harga ii akan melonjak dua kali lipat saat
diperdagangkan di pasar Tiongkok di Kanton.
Marsden
memperkirakan, perdagangan kapur barus di pantai barat Sumatera ketika itu tak
melebihi 50 pikul (setara 3.325 kilogram per tahun). Kelangkaan pohon kapur
karena para pencari harus masuk hutan berbulan-bulan membuat komoditas yang
berkhasiat sebagai obat ini harganya terus naik.
Kapur
barus bukan satu-satunya komoditas yang membuat nama Sumatera terkenal. Inggris
sampai mendirikan benteng Marlborough sebagai kantor dagang di Bengkulu untuk
memonopoli perdagangan lada.
Gusti
Asnan dalam buku Dunia Maritim Pantai
Barat Sumatera (2007) menjelaskan, bukti sejarah menunjukkan, kawasan
pantai barat Sumatera cukup hidup pada periode 1819-1906. Pantai barat Sumatera
menjadi salah satu kawasan dengan kekayaan alam besar, sumber penghasilan
Pemerintah Hindia Belanda, dan terkenal ke seluruh dunia.
Infrastruktur dibangun
Pembangunan
infrastruktur berkembang pesat. Para raja membangun pelabuhan dan infrastruktur
pendukung untuk menarik investor asing berlabuh. Kemajuan infrastruktur terus
terjadi saat kolonialis menemukan potensi tambang dan mengembangkan perkebunan
pada akhir abad ke-19. Belanda membangun jalur kereta api sepanjang 155.5
kilometer untuk mengangkut batubara dari Sawahlunto ke Padang sejak 6 Juli 1887
sampai 1 Februari 1894. Mereka juga membangun pelabuhan Teluk Bayur untuk
mengekspor batubara atau menjualnya pada kapal uap yang berlayar di pantai
barat Sumatera.
Terbukanya
jalur pelayaran Selat Malaka menjelang akhir abad ke-19 membuat kegiatan bisnis
kota-kota di pesisir barat Sumatera turut surut. Pusat-pusat perdagangan
internasional beralih ke pantai timur Sumatera. Sejumlah kota di pesisir pantai
timur dan barat Sumatera berkembang menjadi pusat perniagaan internasional.
Kerajaan Samudera Pasai di pantai timur Aceh berkembang menjadi kota metropolis
pada abad ke-13 berkat perdagangan lada dan beras yang diminati saudagar dari
Tiongkok, Arab, dan Eropa.
Denys
Lombard dalam Kerajaan Aceh: Zaman Sultan
Iskandar Muda (1967) menggambarkan, Sultan Aceh adalah raja Pulau Sumatera
yang tidak ada tandingannya pada abad ke-17. Di sebelah timur, dia memerintah
Pedir (Pidie), Pacem (Pasai), Tamiang, Deli, Aru, sampai semenanjung Melayu,
seperti Johor, Kedah, Pahang, dan Perak. Di barat, ia memerintah mulai dari
Meulaboh, Singkil, Barus, Pasaman, Pariaman, sampai Padang.
Pasca
kolonialisasi, kota-kota pantai barat yang termasyhur ini tak juga mendapat
perhatian memadai. Perputaran sektor riil melambat. Kota-kota yang dulu maju
berkat perdagangan internasional, kini hanya ramai kali hari pasaran.
Infrastruktur yang memburuk membuat orang enggan berkunjung ke sana.
Pada
pertengahan 2013, kami membutuhkan waktu 3 jam berkendara dari Barus ke Sibolga
sejauh 70 kilometer. Pemerintah harus menyadari, kemajuan perekonomian kota
sangat bergantung pada infrastruktur jalan dan telekomunikasi yang mendorong
warga menjadi kreatif.
Sisa kejayaan tambang
Kisah
kota lain yang kehilangan pamor adalah Pangkalan Brandan, Kabupaten Langkat,
Sumut, dan Bangka, Bangka Belitung. Pangkalan Brandan menjadi kota petro dollar
berkat sumur-sumur minyak yang melahirkan PT Pertamina (Persero).
Pada
era kejayaan pertambangan minyak Indonesia tahun 180-an, kompleks perumahan
pegawai Pertamina di Tangkahan Lagan dan Pangkalan Brandan menjadi tolok ukur
kemewahan bagi masyarakat di sekitar. Lapangan golf, kolam renang, rumah sakit,
sampai gedung bioskop berstandar Jakarta menjadi fasilitas gratis penghuni
kompleks. Sektor riil bergerak kencang. Singkat kata, orang bisa menjual barang
dengan mudah di Pangkalan Brandan.
Ketika
sumur minyak mongering dan aktivitas pengeboran terhenti, selama lima tahun
terakhir, Pangkalan Brandan pun semakin sepi. Perumahan karyawan Pertamina
beserta fasilitasnya tak lagi berpenghuni. Kompleks permukiman di Tangkahan
Lagan yang dilengkapi lapangan golf kini dihuni pasukan Brigade Infanteri
Marinir. Aktivitas ekonomi Pangkalan Brandan kini sepi dan hanya mengandalkan
keramaian lalu lintas jalan kintas timur Sumatera.
Nasib
Bangka, pusat pertambangan sejak zaman kolonial yang berhias danau-danau sisa
penambangan timah, berubah terbawa oleh Belitung yang menjadi lokasi pembuatan
film Laskar Pelangi.
Laskar Pelangi berhasil menampilkan
keindahan Belitung dan jumlah kunjungan turis ke “Negeri Laskar Pelangi”
meningkat. Paket-paket wisata baru juga ikut dikemas. Mulai dari mengunjungi
gugusan batu raksasa, pantai berpasir putih, sampai pulau menara suar buatan
Belanda yang memiliki lokasi menyelam atau snorkeling.
Pariwisata
menjadi motor baru penggerak perekonomian Bangka-Belitung karena pertanian
tidak terlalu menjanjikan di sana. Danau-danau bekas galian tambang timah yang
menampung air bening kehijauan menjadi atraksi wisata. Seusai menikmati
keindahan laut, turis akan diajak melihat danau-danau yang sebagian terlantar
tidak direklamasi.
Sambil
melihat keropeng bekas eksploitasi timah, pemandu wisata menuturkan kisah
kejayaan masa lampau.
Kota-kota
yang pernah jaya dan kemudian mati disebabkan pemerintah kota dan masyarakat
gagal menemukan keunikan yang kemudian menjadi kekuatan.
Bukan
tak mungkin kota-kota di atas akan bangkit kembali. Kita sedang melihat
perjuangan itu di Bangka dan Belitung. Yang diperlukan adalah kepemimpinan yang
kuat serta memiliki visi dan komitmen. [HAMZIRWAN]
Sumber:
KOMPAS Edisi Jumat, 27 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar