Bagi
masyarakat awam, Dusun Sokoliman II, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo,
Kabupaten Gunung Kidul, hanyalah perdusunan biasa. Namun, setelah mendengar
latar belakang sejarahnya, terungkap jelas kalau dusun itu adalah mata rantai
dari sejarah peradaban manusia, khususnya pada masa-masa kehidupan prasejarah.
Dusun
Sokoliman II dan sekitarnya memang dikenal sebagai “gudang penyimpanan”
berbagai jenis peninggalan zaman megalitikum. Di wilayah itu, kita bisa
menemukan ratusan menhir atau tiang batu serta sejumlah kubur batu yang
diyakini ada minimal 2.000 tahun sebelum Masehi. Peninggalan bersejarah itu
bisa ditemukan di lahan-lahan pertanian atau pekarangan rumah warga.
Sejak
masa kanak-kanak, Sugito (41) sudah taka sing dengan batu-batu besar
peninggalan zaman megalitikum atau peradaban neolitik yang tersebar di ladang
pertanian milik keluarganya. Kala itu, dia kerap diajak ayahnya berkeliling
ladang untuk menemani para akademisi yang meneliti batu-batu tersebut.
“Secara
tak langsung, sejak kecil saya sudah dididik bahwa batu-batu itu merupakan
peninggalan bersejarah,” kata warga Dusun Sokoliman II, Desa Bejiharjo,
Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, itu,
Selasa (17/6).
Bahkan,
sebagaimana diungkapkan Wartoyuwono (62), selain memiliki peninggalan berupa
batu menhir dan kubur batu, Sokoliman juga masih memiliki lima sumur
peninggalan zaman megalitikum yang hingga saat ini masih memiliki simpanan air.
Sumur tersebut oleh warga setempat dinamai Sumur Kecil, Besar, Kajar,
Kembangarum, dan Krambilsawit. Keselamatan sumur dari kerusakan karena warga
setempat menganggap sumur itu keramat. Mereka tak berani sembarangan terhadap
sumur tua tersebut.
Sugito
mengatakan, sejak 1978, pemerintah mulai meneliti peninggalan batu-batu besar
itu. Karena jumlahnya banyak, pemerintah mulai berpikir untuk mengumpulkan
peninggalan bersejarah di satu tempat guna memudahkan pelestarian dan
penelitian. Itulah kenapa pada 1988 pemerintah mulai membebaskan lahan seluas
2.000 meter persegi di Dusun Sokoliman II guna menampung ratusan menhir dan
beberapa kubur batu.
“Lalu,
mulai 1992, dimulailah pengumpulan menhir dari sejumlah wilayah dusun ini dan
sekitarnya ke sebuah tanah lapang,” kata Sugito.
Tanah
lapang seluas 2.000 meter persegi itu kini menjadi area cagar budaya Situs
Megalitikum Sokoliman yang dikelola Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta.
Areal situs itu dipagari dengan kawat di sekelilingnya. Sejak tahun 2000,
Sugito menjadi juru pelihara Situs Megalitikum Sokoliman menggantikan ayahnya,
Mento Prawiro, yang telah meninggal.
Selain
Sugito, yang sudah diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di Balai
Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta, ada seorang tenaga honorer yang bertugas
membersihkan situs tersebut. Berbeda dengan beberapa tahun silam, kondisi situs
saat ini tergolong bersih dan tertata.
Terus bertambah
Memasuki
situs tersebut, kita akan melihat jejeran menhir yang ditata rapid an sudah
dipagari dengan batu-batu kecil. Di beberapa bagian terdapat jalan setapak
untuk pengunjung, taman rumput, beberapa pohon besar, dan sejumlah pohon
asparagus yang mengenakkan mata. Di bagian belakang situs juga terdapat
beberapa bangku yang terbuat dari semen.
Sugito
menuturkan, jumlah batu-batu bersejarah yang dimasukkan ke area situs terus
bertambah setiap tahun. Saat ini, di situs tersebut terdapat lima batu kubur
dan 183 menhir. Selain itu, ada juga sebuah arca batu besar serta sebuah punden
berundak. Dari Sokoliman kita melihat betapa Gunung Kidul memiliki perjalanan
sejarah yang ritmis. Kehidupan manusia di goa-goa dengan peradaban batu kasar, kemudian
kehidupan di alam bebas yang didukung manusia prasejarah di Sokoliman yang
memiliki peralatan batu halus sampai perunggu.
Keberadaan
punden berundak menandakan kehidupan yang lebih modern lagi. Meski masih
diwarnai peradaban megalitik, sudah sangat modern karena telah mengenal
tulisan. Keberadaan candi juga menandakan juga menandakan munculnya peradaban
Hindu di kota tersebut.
“Punden
berundak itu memang berbeda dengan zaman megalitikum karena dulu di punden itu
ada sebuah prasasti beraksara Sanskerta. Sayangnya, prasasti itu sudah dicuri
orang,” ujar Sugito yang memang sudah mendapatkan pembekalan tentang dunia
arkeologi, khususnya di Sokoliman.
Arkeolog
dari Balai Arkeologi Yogyakarta, Indah Asikin Nurani, menyatakan, situs
Sokoliman memang unik, bukan hanya di Indonesia, melainkan juga dunia. Banyak
sudah arkeolog melakukan penelitian, bahkan sejak masa kolonial. Seperti
arkeolog dari Belanda, Van Koningwaltz, sekitar 1941 pernah melakukan
penelitian di tempat ini.
Dari
penelitian tersebut memberikan kesimpulan bahwa manusia berbudaya menhir batu
telah mengenal benda perunggu. Dalam penelitian itu, Koningwaltz menemukan
peralatan upacara kubur di kuburan batu Sokoliman.
Dia
menambahkan, saat ini masih banyak menhir dan kubur batu yang berada di luar
areal situs. Kondisi batu-batu di luar situs itu mengkhawatirkan karena tidak
diawasi secara langsung. “Banyak batu yang rusak karena faktor alam dan ulah
manusia, misalnya tak sengaja terkena cangkul,” kata dia.
Warto
Yuwono (62), warga Dusun Sokoliman II, menuturkan, warga setempat tak banyak
paham soal makna sejarah batu-batu tersebut. Warga justru masih kerap
beranggapan batu-batu besar itu sebagai benda keramat.
Oleh
karena itu, beberapa warga masih enggan memindahkan batu-batu di ladang mereka
ke tempat lain. Hal itu sebenarnya “menguntungkan” karena warga tak berani
menjual batu-batu tersebut.
Namun,
keengganan warga tersebut juga membuat pengawasan terhadap peninggalan
bersejarah kadang lebih susah dilakukan. “Karena itu, kadang kalau warga
khawatir menhir di lahan mereka rusak, mereka minta supaya batu tersebut
dipindahkan ke areal situs,” kata Warto.
Sugito
menambahkan, warga juga ikut berpartisipasi menjaga berbagai peninggalan
bersejarah di areal situs. Caranya dengan mewaspadai kedatangan orang-orang
yang mencurigakan ke wilayah itu. “Kalau ada orang malam-malam datang ke
areal situs, warga pasti membuntuti
karena takut mereka mau mencuri atau bagaimana,” kata dia.
Pada
hari-hari biasa, jumlah pengunjung yang mendatangi situs itu hanya sekitar 50
orang per bulan. Sebaliknya, pada masa liburan sekolah, jumlah pengunjung
melonjak menjadi ratusan orang.
“Kebanyakan
yang berkunjung ke sini memang para pelajar, baik SD, SMP, maupun SMA. Biasanya
mereka datang berombongan,” kata dia. [THOMAS
PUDJO WIDIJANTO]
Sumber:
KOMPAS Edisi Sabtu, 5 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar