Tidak
begitu jauh dari Rumah Sembahyang Keluarga Han, terdapat juga Rumah Sembahyang
The. Rumah ini terletak di Jalan Karet No. 50 Kelurahan Bongkaran, Kecamatan
Pabean Cantikan, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur.
Sesuai
dengan papan nama yang terpasang di atas pintu utama rumah ini tertulis Rumah
Sembahyang Keluarga The Goan Tjing, dikenal juga dengan nama The Sie Siauw Yang
Tjo Biauw. Namun, ada juga sebagian masyarakat yang menyebutnya dengan Rumah
Abu The.
Rumah
ini didirikan pada tahun 1884 oleh The Goan Tjing. Ayahnya bernama The Sing Koo
dan ibunya bernama Liem Gie Nio.
Saudara The Goan Tjing, The Goan Siang pernah menjadi Luitenant pada 1829-1831, kemudian menjadi Luitenant Tituler pada 1831-1838, dan menjadi Kapitein Surabaya pada 1838-1861. Sedangkan, The Goan Tjing sendiri adalah seorang Mayor Tionghoa (Majoor der Chineezen) di Surabaya
Istilah
Luitenant, Kapitein, dan Mayor dalam
hal ini tidak ada kaitannya dengan urusan militer. Ketiga istilah tersebut
adalah sebuah gelar yang diberikan kepada kelompok etnis Tionghoa. Seorang
Luitenant, Kapitein maupun Mayor diberikan kekuasaan oleh pemerintah kolonial
untuk mengatur urusan kelompok etnis tersebut yang berkenaan dengan agama, adat
istiadat maupun hukum yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Mereka
yang diharapkan untuk menyelesaikan pertikaian di antara kelompok masyarakat
Tionghoa sehubungan dengan hukum yang berlaku tersebut.
Keluarga The ini dalam perkembangannya mempunyai keturunan yang menguasai bidang pertanian, perkebunan tebu dan pabrik gula. Keluarga The mempunyai perhatian lebih terhadap masalah sosial dibanding keluarga Han dan Tjoa. Kepeduliannya terhadap klenteng, pendidikan dan nasib para imigran yang baru datang sangat besar.
Rumah
Sembahyang Keluarga The adalah rumah yang dikhususkan untuk memperingati dan
menghormati leluhur dari keluarga bermarga The. Di dalamnya tersimpan papan
nama arwah (sinci) leluhur yang
bersangkutan yang sering disembahyangi dengan membakar hio. Sehingga tidak benar bahwa di dalam rumah sembahyang tersebut
terdapat kuburan maupun abu jenazah leluhurnya. Rumah sembahyang ini terkadang
disebut sebagai Rumah Abu Keluarga The lantaran disebabkan oleh banyaknya hasil
bakaran hio yang terkumpul dalam hiolo (tempat menancapkan hio) di depan sinci.
Rumah
Sembahyang Keluarga The ini meski kelihatan kusam lantaran cat temboknya yang
mulai kusut namun masih dirawat dan masih dipergunakan sebagai tempat
sembahyang tahunan oleh keluarga besarnya. Paling tidak setahun minimal 2 kali,
yaitu saat tahun baru Imlek dan sembahyang Ceng
Bing.
Bangunan
ini menghadap ke barat. Tatanan denahnya tidak memiliki sumur langit di tengah,
tetapi diletakkan di kiri-kanannya. ***
[020314]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar