Di
tengah pemukiman penduduk yang lumayan padat di sekitar belakang Taman Mundu,
terdapat rumah mungil yang tampak lain dengan rumah yang ada kebanyakan berdiri
di daerah itu. Rumah yang berdinding tembok dan beratap kayu membentuk
meruncing ke atas tersebut menyimpang banyak memori historis yang dikenang oleh
anak bangsa ini. Rumah tersebut tak lain adalah Rumah Wafat WR Supratman.
Rumah
ini terletak di Jalan Mangga No. 21 Kelurahan Tambaksari, Kecamatan Tambaksari, Kota
Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Lokasi rumah ini berada di sebelah barat Gelora
10 November Surabaya, atau tepatnya berada di sebelah barat daya dari Taman
Mundu.
Menilik
nama rumah ini memang tampak aneh, akan tetapi bila menelusuri sejarah terhadap
orang yang menempati terakhir rumah ini akan salut. Alkisah, disebutkan bahwa
WR Supratman lahir di Meester Cornelis (sekarang Jatinegara) pada hari Senin
Wage tanggal 9 Maret 1903 pukul 11.00 siang. Ia anak ketujuh dari sembilan
bersaudara, namun kedua kakak laki-lakinya meninggal ketika masih kecil.
Ayahnya bernama DJoemeno Senen Sastrosoehardjo alias Abdoel Moein, seorang
serdadu Kompeni KNIL, dan ibunya bernama Siti yang berasal dari Desa Somongari,
Purworejo, Jawa Tengah. Sedangkan, kakek dari ayahnya, bernama Mas Ngabehi
Notosoedirjo, yang tergolong kaum priyayi kaya dan memiliki tanah persawahan
yang luas dan terkenal dalam bidang kesenian, khususnya seni musik dan seni
suara Jawa. Jadi tidak salah lagi jika darah seni WR Supratman turun dari
kakeknya tersebut.
Ibunya
meninggal sewaktu Supratman masih duduk di bangku Sekolah Rakyat (SR) di daerah
Meester Cornelis. Namun, setelah ayahnya pensiun dari KNIL, Supratman dijemput
oleh kakak tertuanya, Ny. Roekijem Soepratijah van Eldik untuk disekolahkan di
Makassar pada tahun 1914.
Atas
usaha Ny. Roekijem Soepratijah dan suaminya, W.M. van Eldik, Supratman masuk
sekolah Belanda Europese Lagere School
setelah menambahkan “Rudolf” pada namanya menjadi Wage Rudolf (WR) Supratman,
sebagai suatu siasat agar ia diterima di sekolah Belanda tersebut. Karena pada
saat itu anak yang tergolong inlander
(pribumi) seperti WR Supratman sukar diterima masuk sekolah Belanda.
Tak lama menikmati sekolah Belanda, Supratman ketahuan bahwa dia ternyata bukan anak van Eldik, melainkan adik iparnya. Kenyataan ini membawa Supratman untuk masuk ke sekolah Melayu. Di sekolah ini malah bakat seni Supratman mengalir, hingga menyelesaikan dari Normaal School, yaitu Sekolah Guru.
Sepulang
sekolah, Supratman selalu belajar memainkan gitar dan menggesek biola. Kakak
iparnya, van Eldik yang pandai dalam bidang seni, baik kesenian Barat maupun
Timur, menjadi gurunya bermain gitar dan menggesek biola. Karena WR Supratman
memiliki bakat, maka sebentar saja ia sudah pandai memainkan alat musik. Ia
bukan saja pandai memetik gitar atau menggesek biola, ia pun mahir melahirkan
perasaan seninya dalam bentuk lagu dan kata, bahkan ia dapat menggubah syair.
Melihat
adiknya yang sangat berbakat itu, kakaknya menghadiahkan sebuah biola kepada WR
Supratman pada tahun 1920, bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-17.
Ketika
Supratman diangkat menjadi guru bantu untuk ditempatkan di daerah Singkang,
yang berada di tepi Danau Tempe, ia tidak diizinkan oleh kakaknya karena di
daerah tersebut sering terjadi gejolak yang mengancam jiwanya. Akhirnya ia
bersama kawan-kawanya yang berkulit putih mendirikan Jazz Band Black dan White
yang kerap tampil dalam berbagai perhelatan yang digelar di Makassar, dan
menjadikannya semakin dikenal di kalangan inlander
maupun Belanda. Dalam menekuni di bidang musik, Supratman pernah bekerja
sebagai clerk pada Firma Nedem, dan terakhir di sebuah kantor pengacara milik
Mr. Schulten, teman baik van Eldik.
Pada
tahun 1924, Supratman berlayar dari Makassar ke Surabaya. Ia tinggal di rumah
kakaknya yang bernama Roekinah Soepratirah. Kemudian ia bergabung dalam
aktivitas pergerakan, akan tetapi lantaran dalam pergerakan itu antar golongan
saling bertentangan, Supratman meninggalkan Surabaya, kemudian ke Jakarta.
Selang beberapa tahun, Supratman kembali lagi ke Surabaya. Ia mendiami rumah
kakaknya tertua, Ny. Roekijem Soepratijah van Eldik di lingkungan Tambaksari.
Selama
di Surabaya, Supratman juga tidak bisa lepas dari biolanya. Dengan biola ini,
WR Supratman telah berhasil menciptakan lagu kebangsaan Indonesia Raya sebagai
alat pemersatu bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Dari lagu inilah,
Supratman menjadi incaran daftar yang dicari oleh pihak Kompeni.
WR
Supratman menghembuskan nafas terakhir pada hari Rabu Wage jam 12 tengah malam
tanggal 17 Agustus 1938. Ia meninggal di rumah kakaknya tertua Ny. Roekijem Soepratijah di Jl. Mangga lingkungan
Tambaksari Surabaya.
WR
Supratman meninggal dunia tanpa meninggalkan harta. Ia hanya meninggalkan
secarik kertas not-not musik lagu ciptaannya yang terakhir kepada bangsanya. Atas
sumbangsihnya kepada bangsa inilah, rumah tersebut akhirnya dijadikan sebagai
Rumah Wafat WR Supratman.
Bila
masuk ke rumah ini, kesan yang nampak adalah seperti sebuah museum. Karena di
dalam rumah tersebut terdapat koleksi dari benda-benda yang pernah menjadi
milik WR Supratman atau paling tidak terdapat hubungan dengan kehidupan WR
Supratman. Seperti foto-foto WR Supratman dengan keluarga yang terpampang di
dinding ruang tamu, di pojok terdapat almari berisi replika biola karena biola
aslinya saat ini disimpan di Gedung Sumpah Pemuda Jakarta. Biola ini sebagai
alat untuk menciptakan persatuan bangsa Indonesia telah dipamerkan di beberapa
provinsi di Kalimantan dan Sulawesi oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Rumah
Wafat WR Supratman ini telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya dalam
pengelolaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya berdasarkan Surat
Keputusan (SK) Walikota Surabaya Nomor: 188.45/251/402.1.04/1996 dengan nomor
urut 56. *** [230314]
Kepustakaan:
Anthony C. Hutabarat, 2001, Wage Rudolf Soepratman: Meluruskan Sejarah dan Riwayat Hidup Pencipta
Lagu Kebangsaan Republik Indonesia “Indonesia Raya” dan Pahlawan Nasional,
Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar