Garis
Wallace tidak hanya memisahkan jenis flora dan fauna di Indonesia dengan yang
ada di Asia atau Australia, tetapi juga menunjukkan dimulainya percampuran
genetika manusia serta rumpun bahasa, antara Austronesia dan Papua. Garis
imajiner itu terbentang mulai dari Selat Makassar hingga Selat Lombok.
Guru
Besar Emeritus Antropologi Universitas Arizona Amerika Serikat John Stephen
Lansing di Jakarta, Rabu (26/11), mengatakan, masyarakat di Pulau Sumba, Nusa
Tenggara Timur, memiliki campuran genetika manusia Austronesia dan Papua. Makin
ke timur dari Sumba, yaitu Flores, Lembata, dan Alor, bagian genetika Papua
makin besar.
Sumba
terletak di dekat garis Wallace di sisi timur. Manusia Nusantara di barat
garis, seperti Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sumatera, memiliki genetika
Austronesia. Di sisi timur garis Wallace terjadi percampuran genetika
Austronesia dan Papua. Genetika Papua murni tersebar di wilayah Melanesia,
seperti Papua (pegunungan) dan sejumlah pulau di timur Papua.
Namun,
penelitian filogeni menunjukkan bahwa semua bahasa yang dituturkan masyarakat
Sumba masuk rumpun bahasa Austonesia, sama seperti yang digunakan di barat
garis Wallace. Makin ke timur, seperti di Pulau Timor, sebagian masyarakat
menggunakan bahasa yang masuk rumpun bahasa Papua.
“Uji
statistic menunjukkan bahasa hanya diturunkan melalui garis ibu, bukan garis
bapak,” tutur Stephen yang kini menjadi Direktur Institut Kompleksitas
Universitas Teknologi Nanyang, Singapura.
Deputi
Penelitian Fundamental Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Herawati Sudoyo
mengatakan, penelitian itu makin mempertegas garis Wallace yang bukan hanya
memisahkan jenis flora-fauna di barat dan timur Indonesia, melainkan juga
genetika dan bahasa.
“Penelitian
genetika manusia Indonesia penting untuk memahami asal usul mereka,
penyebarannya, hingga karakter penyakit yang menyertainya,” katanya.
Migrasi Austro-Asiatik
Arkeolog
prasejarah Pusat Arkeologi Nasional Harry Truman Simanjutak mengatakan,
berdasar data arkeologi, etnologi, dan paleontology, terdeteksi adanya arus
migrasi selain penutur Austronesia dan Papua yang masuk dari sisi barat
melewati Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Mereka adalah
penutur Austro-Asiatik.
Penutur
Austro-Asiatik tiba di Indonesia pada 4.300-4.100 tahun lalu yang kemudian baru
disusul penutur Austronesia pada kisaran 4.000 tahun lalu. Austro-Asiatik dan
Austronesia sebenarnya berasal dari satu rumpun bahasa yang sama, yaitu bahasa
Austrik, tetapi kemudian pecah. Bahasa Austro-Asiatik digunakan di sekitar Asia
Tenggara Daratan, sedangkan Austronesia digunakan di wilayah kepulauan, seperti
Taiwan, Filipina, Pasifik, Madagaskar, hingga Pulau Paskah.
Bahasa
Austrik awalnya dimanfaatkan masyarakat Yunan, Tiongkok selatan. Bahasa ini
kemudian pecah menjadi dua, yaitu Austro-Asiatik dan Austronesia yang kemudian
menjadi penyebutan nama kelompok berdasarkan penggolongan bahasa.
“Kami
telah menemukan data arkeologi, etnologi, dan palaentologi arus migrasi dari
barat penutur Austro-Asiatik,” papar Truman.
Pada
4.300-4.100 tahun lalu, dari Yunan, penutur Austro-Asiatik bermigrasi ke
Vietnam dan Kamboja lewat Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.
Salah satu penandanya ialah temuan tembikar-tembikar berhias tali yang
bentuknya sama dengan tembikar di selatan Tiongkok hingga Taiwan.
Kemudian,
pada 4.000-an tahun lalu, muncul arus migrasi penutur Austronesia lewat sisi
timur Indonesia. Arus migrasi itu muncul mulai dari Sulawesi, Kalimantan, dan
sebagian ke selatan, seperti Nusa Tenggara, hingga menuju Jawa dan Sumatera.
[ABK/MZW]
Sumber:
KOMPAS Edisi Kamis, 27 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar