Istana
Alwatzikhoebillah merupakan salah satu daya tarik wisata di Kabupaten Sambas
yang banyak dikunjungi wisatawan dari dalam maupun luar daerah bahkan wisatawan
mancanegara karena Istana Alwatzikhoebillah merupakan peninggalan bersejarah
dan lambang kebesaran dan kejayaan kerajaan Islam di Sambas.
Istana
Alwatzikhoebillah terletak di Desa Dalam Kaum, Kecamatan Sambas, Kabupaten
Sambas, Provinsi Kalimantan Barat. Lokasi istana ini berada pada pertemuan
Sungai Sambas Kecil, Sungai Subah, dan Sungai Teberau, yang berjarak sekitar 1
km dari pusat Kota Sambas atau 200 km dari Pontianak.
Sejarah
mencatat, Istana Alwatzikhoebillah Kesultanan Sambas tumbuh dan berkembang
berdasarkan latar belakang sejarah dari dua periode, yakni pada masa Hindu
(Majapahit) dan Islam (Brunei).
Asimilasi
dua periode akhirnya terjadi ketika anak perempuan dari Ratu Sepudak (kerajaan
pada masa Hindu) yang bernama Raden Mas Ayu Bungsu, dengan Raden Sulaiman, anak
sulung Pangeran Tengah yang beristrikan Ratu Suria Kesuma dari Sukadana.
Pangeran Tengah adalah adik kandung dari Sultan Abdul Jalilul Akbar yang
memerintah negeri Brunai tahun 1598-1659, dan merupakan sultan di negeri
Sarawak dengan gelar Sultan Ibrahim Ali Omar Shah pada tahun 1599. Dari
perkawinan ini, akhirnya Raden Sulaiman diangkat menjadi Wazir Kedua dalam
pemerintahan Ratu Anum Kesuma Yudha, yang tidak lain adalah menantu Ratu
Sepudak dari perkawinannya dengan Raden Mas Ayu Anom, kakak perempuan dari
istri Raden Sulaiman.
Selang beberapa tahun setelah penobatan Pangeran Prabu Kencana dengan gelar Ratu Anum Kesuma Yudha untuk menggantikan Ratu Sepudak, timbullah perselisihan yang mulanya kecil saja di mana Wazir Pertama, yakni Pangeran Mangkurat, adik kandung Ratu Anum Kesuma Yudha, kurang menyenangi Raden Sulaiman, adik ipar Ratu Anum Kesuma Yudha, yang selalu berbuat kebaikan dengan rakyatnya.
Akhirnya,
demi mengalah agar tak terjadi perang saudara, Raden Sulaiman mengambil
keputusan untuk meninggalkan Ibu Kota Negeri Kota Lama. Setelah bermusyawarah,
akhirnya Petinggi Nagur, Petinggi Bantilan, dan Petinggi Segerunding membawa
Raden Sulaiman beserta rombongan menuju ke Simpang Sungai Subah. Sesampainya di
sana, mereka mendirikan perkampungan yang diberi nama Kota Bandir.
Setelah
kepergian Raden Sulaiman dari Kota Lama, ternyata banyak rakyat yang menyusul
Raden Sulaiman pindah ke Kota Bandir dan mendirikan pemukiman di Kota Bandir.
Akhirnya Kota Lama semakin hari semakin sepi. Kepergian rakyat ke Kota Bandir
disebabkan mereka sudah tidak tahan lagi dengan perangai Pangeran Mangkurat
yang berbuat semena-mena terhadap mereka. Sementara Ratu Anum sudah tidak
dipedulikan lagi oleh Pangeran Mangkurat. Seolah-olah yang menjadi raja adalah
Pangeran Mangkurat, bukan Ratu Anum Kesuma Yudha. Sampai akhirnya Ratu Anum
sendiri, sudah tidak tahan lagi dengan perangai adiknya sehingga mengambil
keputusan untuk menginggalkan Kota Lama mencari tempat pemukiman yang baru.
Brangkatlah Ratu Anum Kesuma Yudha meninggalkan ibu kota negeri Kota Lama
dengan menggunakan tujuh puluh buah perahu yang lengkap dengan alat senjatanya.
Sebelum berangkat, Ratu Anum Kesuma Yudha menyuruh ketiga petinggi yang pernah mengantarkan Raden Sulaiman saat hijrah, untuk memanggil Raden Sulaiman, karena Ratu Anum ingin menyerahkan pemerintahan Negeri Sambas kepada Raden Sulaiman dan istrinya.
Tiga
tahun lamanya Raden Sulaiman bermukim di Kota Bandir, maka timbul keinginannya
untuk memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah Sungai Teberau, tepatnya di
Lubuk Madung.
Melalui
musyawarah keluarga, di Lubuk Madung inilah maka pada hari Senin, 10 Zulhijjah
1040 H/9 Juli 1631 M, Raden Sulaiman dinobatkan menjadi Sultan Sambas Islam
yang pertama dengan gelar Sultan Muhammad Tsafiuddin I.
Setelah
Raden Bima, anak sulung Sultan Muhammad Tsafiuddin I, dinobatkan menjadi Sultan
Sambas Islam yang kedua pada 10 Muharam 1080 H/10 Juni 1669 M dengan gelar
Sultan Muhammad Tajuddin, tak lama selang bertahta di Lubuk Mandung, maka
Sultan Muhammad Tajuddin berkeinginan untuk memindahkan ibu kota kerajaan dari
Lubuk Mandung ke Muara Ulakan, yaitu di persimpangan Sungai Sambas Kecil,
Sungai Subah, dan Sungai Teberau. Ibu kota kerajaan dibangun lengkap dengan
pagar dan parit, serta istana untuk pertama kalinya didirikan tepat menghadap
Sungai Sambas Kecil.
Sedangkan,
bangunan istana yang berdiri saat ini merupakan pembangunan kembali pada masa
pemerintahan Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Tsafiuddin (1931-1943). Istana ini dibangun pada 15 Juli
1933 dan mulai ditempati pada 6 Juli 1935.
Kompleks
Istana Alwatzikhoebillah yang didirikan di atas areal seluas sekitar 2 hektar
berdiri sejumlah bangunan yang memiliki fungsi dan peruntukkannya sendiri.
Sebelum memasuki bangunan utama istana yang menghadap ke barat, pengunjung akan
memasuki gerbang segi delapan (pendopo)
yang memiliki delapan jendela yang menandakan arah angin, dengan hamparan
alun-alun seluas lapangan sepak bola. Di tengah alun-alun tersebut, terdapat
tiang bendera berbentuk tiang perahu layar, dan di bawahnya terdapat tiga
meriam canon yang konon didapatkan dari pasukan Inggris.
Di
sisi sebelah barat daya alun-alun, terdapat Masjid Agung Jamik Sultan Muhammad Tsafiuddin
II yang dibangun pada hari Jumat, 1 Muharram 1303 H bertepatan dengan 11
Oktober 1885. Bangunan masjid terlihat kokoh, dan bahan-bahannya terbuat dari
kayu belian.
Setelah
melihat masjid, pengunjung bisa melanjutkan melangkah menuju ke bangunan utama
istana. Namun sebelum memasuki gerbang utama yang berlantai dua, pengunjung
bisa menemukan dua balai paseban yang berada di depan gerbang utama sebelah
kiri dan kanan. Dulu, balai paseban ini digunakan sebagai tempat pertunjukkan,
pameran, dan wayang kulit. Selain itu, juga digunakan oleh orang untuk
istirahat sebelum menghadap sultan.
Setelah
melintas masuk gerbang utama, pengunjung masuk ke bangunan utama istana yang
terdiri atas bangunan utama yang diapit oleh dua bangunan berbentuk limasan
yang digunakan untuk rumah pengawal. Dari bangunan utama mau menuju ke bangunan
pengapit tersebut dihubungkan oleh bangunan penghubung beratap seperti yang ada
di rumah sakit pada umumnya.
Bangunan
limasan yang berada di sebelah utara bangunan utama istana, pada zaman dulu selain
dipergunakan untuk rumah pengawal, di ruangan paling depan sering digunakan
oleh sultan sebagai tempat bersemedi atau bertapa, juga digunakan sebagai
tempat penyimpanan pusaka, dan di bagian belakangnya digunakan untuk garasi.
Sedangkan, pada bangunan limasan yang berada di sebelah selatan bangunan utama
istana, selain digunakan untuk rumah pengawal juga difungsikan sebagai dapur
istana.
Di bangunan
utama istana ini juga berbentuk limasan, dan diketahui sebagai rumah sultan.
Memasuki rumah sultan, pengunjung akan langsung membaca Alwatzikhoebillah di
atas teras sebagai penanda bahwa bangunan ini merupakan Istana
Alwatzikhoebillah. Di atas tulisan tersebut terdapat lambang kuda laut di atas
atap istana, yang menandakan bahwa bidang yang menyokong perekonomian
kesultanan saat itu adalah bahari.
Di
bangunan rumah sultan, terdapat empat cermin besar di setiap sudut ruang tamu,
dan foto koleksi Kesultanan Sambas. Di kamar sultan terdapat tempat
peristirahatan yang dihiasi dengan kain warna kuning. Terdapat pula busana atau
pakaian kebesaran sultan yang disimpan dalam sebuah kotak kaca tertutup, payung
ubur-ubur, tombak canggah, meriam beranak, pedang sultan, tempayan keramik dari
Tiongkok, dan kaca kristal dari Inggris dan Belanda.
Tepat
di belakang rumah sultan, terdapat menara air yang berfungsi sebagai tandon air
sebelum dialirkan melalui pipa ke seluruh kompleks istana yang telah dipasang
instalasi pipa air. Searah menara air di sebelah utara, atau tepatnya berada di
sebelah timur laut dari kompleks istana, terdapat kolam pemandian yang dulunya
digunakan sebagai tempat pemandian para putri sultan.
Setelah
puas berkeliling Istana Alwatzikhoebillah, pengunjung akan menyadari betapa
istana ini mempunyai peran yang menonjol di masa lampau sebagai salah satu
pusat budaya di Sambas. Berwisata ke Istana Kesultanan Sambas ini memang bisa
cukup menyingkap kejayaan Sambas di masa lampau, dan sekaligus memahami sejarah
anak negeri ini. ***
Kepustakaan:
Urai Riza Fahmi, 2013. Selayang Pandang Sejarah Kerajaan Islam Keraton Sambas, Bandung: CV
Yrama Widya
KOMPAS Edisi Jumat, 31 Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar