Seperti
kebiasaan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, sebuah bangunan kraton atau
istana selalu berdekatan bangunannya dengan sebuah masjid. Hal ini mengandung
makna filosofis bahwa seorang raja atau sultan selain ia seorang pemimpin
rakyat dan kerajaan tetapi juga seorang pemimpin agama atau seorang yang taat
dan patuh menjalankan syariat agama yang khususnya syari’at Islam yang
merupakan anutan dan keyakinan raja dan menjadi dasar pemerintahan kerajaan.
Termasuk juga dengan Masjid Jamik Sultan Muhammad Tsafiuddin II ini.
Masjid
ini terletak di Desa Dalam Kaum, Kecamatan Sambas, Kabupaten Sambas, Provinsi
Kalimantan Barat. Lokasi masjid berada di sebelah barat daya istana, dan masih
satu lingkungan pagar kompleks istana yang berjarak sekitar 50 meter dengan
Istana Alwatzikhoebillah.
Awalnya, masjid Kesultanan Sambas ini kecil seperti mushola, namun semasa pemerintahan Sultan Muhammad Tsafiuddin (6 Agustus 1866 – 4 Desember 1922), mushola tersebut dirobohkan dan dibangunlah masjid yang lebih besar pada 1 Muharam 1303 H atau 11 Oktober 1885 M oleh sultan bersama-sama ibundanya, Ratu Sabar.
Pada
masa pemerintahannya, Sultan Muhammad Tsafiuddin II lebih menitikberatkan
perhatiannya pada pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Sultan banyak
mendirikan masjid dan surau-surau, termasuk di antaranya masjid ini. Banyak
pemuda-pemuda yang berbakat di bidang agama oleh Sultan Muhammad Tsafiuddin II
diberi beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di Al Azhar, Kairo, Mesir. Di
antaranya yang terkenal adalah H. Muhammad Basiuni Imran yang kemudian diangkat
sebagai Maharaja Imam Kerajaan Sambas.
Bangunan
masjid ini memiliki arsitektur yang khas. Arsitekturnya mengambil bentuk segi
empat dengan atap berbentuk tajug tumpang yang menjadi ciri gaya aristektur
khas masjid-masjid awal di Nusantara.
Jumlah tiang tengah masjid ini berjumlah delapan tiang (soko guru) terbuat dari kayu belian. Ini merupakan simbol yang mempunyai makna bahwa pendirinya adalah sultan ke-8 dari kesultanan Islam Sambas atau sultan ke-14 garis Kerajaan Sambas yang dimulai sejak Raden Janur sekitar tahun 1364 yang masih Hindu.
Di
bagian depan ruang utama masjid ini, terdapat sebuah mimbar kecil yang
digunakan untuk khotbah bagi khatib. Mimbar ini terkesan antik dengan
ukirannya, dan terbuat dari kayu berwarna merah. Konon khabarnya, berasal dari
Palembang yang dipersembahkan para pelaut dan pedagang kepada sultan.
Masjid
yang memiliki menara sebangunan dengan bangunan utamanya ini, dulu menggunakan bedug
besar sebagai alat pemberitahuan sholat, akan tetapi setelah adanya pengeras
suara digunakan untuk azan maka bedug tersebut tidak digunakan lagi.
Hingga
kini, bangunan Masjid Jamik Sultan Muhammad Tsafiuddin II yang didominasi
warna kuning emas, atau yang dikenal dengan sebutan Masjid Sultan ini masih
berdiri kokoh meski telah berumur ratusan tahun lebih. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar