Landak
merupakan salah satu kabupaten yang berada di Kalimantan Barat yang merupakan
hasil pemekaran dari Kabupaten Pontianak. Daerah ini tergolong maju lantaran
memiliki kekayaan hasil alam di sepanjang sungainya yang membentang, seperti
emas dan intan, dan potensi wisata alam yang mengagumkan, seperti air terjun
Riam Melanggar maupun Gunung Sehaq. Selain itu, Landak juga mempunyai obyek
wisata sejarah yang tak kalah menariknya, yaitu Kraton Ismahayana.
Kraton
Ismahayana terletak di Jalan Pangeran Sancanata, Desa Raja, Kecamatan Ngabang,
Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat. Lokasi kraton atau istana ini
berada sekitar 50 meter di sebelah barat Sungai Landak yang membelah Kota
Ngabang, atau sekitar 177 kilometer dari Kota Pontianak.
Riwayat
Kraton Ismahayana ini dibilang cukup panjang. Dimulai dengan adanya ekspedisi
ke daerah Melayu yang dijalankan oleh Kertanegara, seorang Raja Singasari, pada
tahun 1275. Ekspedisi tersebut akhirnya dikenal dengan nama ekspedisi Pamalayu.
Tujuan awal ekspedisi Pamalayu adalah untuk menjadikan Swarnadwipa (sekarang Sumatera) sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi ekspansi bangsa Mongol selain juga ingin mengamankan jalur ekonomi dan politik yang penting dari incaran bangsa Mongol. Di samping itu, Kertanegara juga memerintahkan Kebo Anabrang untuk menguasai Pahang di Semenanjung Malaka dan Balakapura maupun Tanjungpura di Warunadwipa (Kalimantan). Kemudian dilanjutkan ekspansi ke daerah lain di Nusantara. Namun sebelum tercapai semua tujuannya, Kertanegara akhirnya terbunuh oleh pasukan Jayakatwang pada tahun 1292.
Mendengar
Raja Kertanegara wafat, ternyata tidak semua pasukan dalam ekspedisi Pamalayu bersedia kembali ke Jawa.
Di bawah pimpinan Indrawarman, sebagian prajurit ekspedisi Pamalayu menetap di
Swarnadwipa. Begitu pula halnya, dengan Ratu Sang Nata Pulang Pali I, pemimpin
salah satu rombongan, membelokkan armada pasukannya menuju Warunadwipa atau
Nusa Tanjungpura.
Di
pulau yang sekarang dikenal dengan Pulau Kalimantan ini, Ratu Sang Nata Pulang
Pali I bersama pengikutnya awalnya singgah di daerah Padang Tikar, kemudian
menyusuri Sungai Tenganap, dan akhirnya berlabuh di daerah Sekilap atau yang
disebut juga Sepatah. Di tempat inilah, Ratu Sang Nata Pulang Pali I mendirikan
Kerajaan Landak, dan nama Sekilap kemudian diganti menjadi Ningrat Batur atau
Angrat (Anggerat) Batur.
Periode pemerintahan Kerajaan Landak di Ningrat Batur berlangsung 180 tahun (1292-1472) lamanya. Selama di Ningrat Batur, kerajaan ini dipimpin oleh tujuh raja, yaitu Ratu Sang Nata Pulang Pali I hingga Abhiseka Ratu Brawijaya Angkawijaya (Ratu Sang Nata Pulang Pali VII). Pada masa pemerintahan Ratu Sang Nata Pulang Pali VII, Kerajaan Landak memiliki kompleks istana terpadu. Di istana ini, beliau menikahi Putri Dara Hitam yang kemudian menjadi permaisuri kerajaan. Dari perkawinan tersebut, Ratu Sang Nata Pulang Pali VII memiliki keturunan bernama Abhiseka Sultan Dipati Karang Tanjung yang sekaligus merupakan putra mahkota. Setelah Raja Landak terakhir di Ningrat Batur tersebut mangkat, sang putra mahkota kemudian naik tahta dan bergelar Pangeran Ismahayana (memerintah tahun 1472-1542).
Pada
era pemerintahan Pangeran Ismahayana, pusat kerajaan dipindahkan ke area hulu
Sungai Landak, yang kemudian dikenal dengan nama Mungguk Ayu. Setelah menganut
agama Islam, Pangeran Ismahayana berganti nama menjadi Raden Abdul Kahar dengan
bergelar Raden Dipati Karang Tanjung. Dari perkawinannya dengan Nyi Limbaisari
yang bergelar Raden Ayu diperoleh dua orang putra, yaitu Raden Tjili Tedung dan
Raden Tjili Pahang yang keduanya kemudian menjadi raja Kerajaan Landak.
Pada
masa Pangeran Kesuma Agung Muda (1703-1709), pusat pemerintahan Kerajaan Landak
dipindahkan ke Bandung (suatu daerah dekat Munggu), yang selanjutnya pada masa
pemerintahan Pangeran Sanca Nata Kesuma Muda (1768-1798) sebagai Sultan Landak
XII, dipindahkan ke Ngabang, dengan mendirikan kraton yang terletak di Desa
Raja Ngabang seperti yang ada sekarang ini.
Raja
terakhir yang memerintah Kerajaan Landak adalah Pangeran Ratu Gusti Abdul Hamid
bergelar Panembahan Gusti Abdul Hamid.
Pada
tahun 1943, beliau wafat karena korban keganasan tentara pendudukan Jepang
dalam peristiwa Mandor.
Selanjutnya
Kerajaan Landak diperintah oleh Pangeran Mangku Gusti Afandi (Waka Raja XXVIII)
hingga dihapuskannya sistem kerajaan oleh pemerintah Indonesia, menjelang
dibentuknya pemerintahan swapraja Landak. ***
Kepustakaan:
Tim Gunung Djati, 2008. Warisan Masa Lampau Indonesia: Kerajaan Singasari, Cirebon: CV.
Gunung Djati
http://ujp.ucoz.com/Modul/Kepariwisataan/22-KALBAR.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar