Segelas
wedang ronde di seputaran alun-alun Kota Magelang, telah cukup menghangatkan
badan, setelah menempuh perjalanan dari Kota Solo menuju Kota Magelang di malam
hari. Sambil menikmati hangatnya wedang ronde, selurus pandangan mata ke arah
barat tampak sebuah masjid dengan menara yang menjulang. Namun sayang, penulis
tidak bisa mengambil gambar pada saat itu karena waktu menjelang larut malam.
Baru
selang dua hari, penulis bisa berkunjung ke masjid tersebut usai mendampingi
FGD di Kantor Dinas Pendidikan Kota Magelang. Masjid tersebut adalah Masjid
Agung Magelang.
Masjid
ini terletak di Jalan Alun-alun Barat No. 2 Kelurahan Cacaban, Kecamatan Magelang Tengah, Kota
Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi masjid ini berada di sebelah barat
alun-alun Kota Magelang, dan tidak begitu jauh dari Menara Air Magelang.
Awalnya,
masjid ini hanyalan berupa mushala kecil yang dibangun oleh Kyai Mundzakir,
seorang ulama dari Jawa Timur, pada tahun 1650. Atap mushala masih berbentuk
tumpang dua dan bangunan ruang utamanya masih terbuka dengan tembok setengah
tinggi manusia.
Pada tahun 1797, bangunan mushala tersebut dipugar guna menampung jamaah yang semakin hari semakin bertambah. Selain memperluas bangunan mushala, dalam pemugaran tersebut juga diiringi dengan menambah mimbar untuk khotbah dan soko guru (tiang utama) dari kayu jati yang sengaja didatangkan dari Bojonegoro. Pemugaran ini diabadikan dalam prasasti bertuliskan dengan bahasa Arab dan Belanda. Prasasti dwi bahasa tersebut sampai sekarang masih terawat dengan baik, dan berada di dalam masjid.
Ketika
Alwi bin Said Abdurrahim Basyaiban dikukuhkan menjadi bupati pertama oleh Sir
Thomas Stamford Raffles dengan gelar Mas Ngabei Danukromo pada tahun 1812,
mushala tersebut diperbesar menjadi sebuah masjid dengan sebutan Masjid Jami’
Magelang (Grote Moskee te Magelang). Kebijakan
ini dilakukan sembari membangun alun-alun, dan rumah bupati (regentwoning) di utara alun-alun.
Lalu,
sejarah juga mencatat bahwa setiap ada pergantian pemerintahan dari bupati yang
lama ke bupati berikutnya, bangunan masjid tersebut mengalami pemugaran dengan
penambahan-penambahan bangunan pendukung lainnya. Seperti pada tahun 1871,
semasa pemerintahan Bupati ke III, yaitu Adipati Danuningrat III (cucu dari Mas
Ngabei Danukromo), masjid tersebut ditambah serambi muka dan menara kecil.
Baru
pada masa pemerintahan Muhammad bin Said Basyaiban, Bupati ke V dengan gelar
Raden Tumenggung Danusugondo, masjid ini mengalami renovasi besar-besaran yang
dilakukan pada tahun 1934. Dalam pemugaran tersebut, bertindak sebagai ketua
pembangunan langsung dipegang oleh Bupati Danusugondo. Tak tanggung-tanggung,
beliau menggunakan bantuan biro arsitek berkebangsaan Belanda, yaitu Heer H
Pluyter. Hasil rancangan Pluyter tersebut menghasilkan bangunan masjid seperti
yang disaksikan sekarang, kecuali bangunan menaranya yang baru didirikan pada
tahun 1991 semasa walikota Bagus Panuntun. Sekaligus menandai berubahnya dari
Masjid Jami’ Magelang menjadi Masjid Agung Magelang.
Dilihat dari fisik bangunan, tata ruang dari masjid ini merupakan tipologi masjid yang ada di Jawa pada umumnya. Ruang dibagi menjadi tiga, yaitu ruang utama, serambi kanan dan serambi kiri. Ditambah lagi, selasar yang berada di depan yang berfungsi pula sebagai serambi depan. Selasar yang lapang ini juga kerap dimanfaatan oleh para jamaah untuk beristirahat sambil merebahkan diri.
Ciri
arsitektur Jawa lainnya juga ditemukan pula pada bentuk atap masjid yang
bercorak tajuk atau bersusun. Menurut filosofi Jawa, atap bercungkup tiga ini
menyimbolkan kehidupan manusia yang terdiri atas alam purwo (ketika berada di rahim ibu), alam madyo (saat manusia berada di dunia), dan ketiga adalah alam wusono yang merepresentasikan kehidupan
manusia di alam baka atau akhirat. Filosofi ini kemudian diadopsi oleh Walisongo
dengan menerjemahkan filosofi tersebut ke dalam bahasa agama. Atap satu
(terbawah) disebut atap panitih yang
melambangkan syariah. Atap dua
disebut atap pananggap yang
melambangkan thariqat, dan atap
ketiga disebut atap brunjung yang
melambangkan hakikat. Sedangkan
puncak yang menjadi bagian tertinggi dari Masjid Agung Magelang, dinamakan mustoko yang melambangkan ma’rifat. Mustoko berwarna kuning, dan menyambung dengan tulisan Allah.
Di
dalam ruang utama masjid ini terdapat mimbar khotbah model timur tengah yang
dipengaruhi gaya India yang berada di sebelah kanan, sedangkan di sebelah kiri
mihrab terdapat bangunan semacam mimbar tanpa tempat duduk yang dulunya
merupakan tempat shalat Bupati Magelang. Tahun pembuatannya diukir di salah
satu sudut, 1797.
Masjid
yang didominasi warna hijau ini merupakan masjid kebanggaan masyarakat Kota
Magelang. Kemegahan bangunan masjid ini selaras dengan perjalanan sejarahnya
yang cukup panjang. ***[191214]
Kepustakaan:
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/01/15/mgnqdt-masjid-agung-magelang-dominasi-arsitektur-jawa-1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar