Namanya
juga Hari Kartini. Sosok RA Kartini, tokoh emansipasi perempuan asal Jepara,
Jawa Tengah, selalu mendominasi peringatan Hari Kartini, yang tahun ini jatuh
pada hari Selasa (21/4).
Namun,
sebenarnya ada sosok penting di balik perjuangan Kartini. Salah satu sosok yang
dekat dengan Kartini adalah kakak kandungnya, Raden Mas Panji (RMP)
Sosrokartono. Dia ilmuwan, wartawan perang angkatan pertama RI, juga nasionalis
yang sangat humanis.
Di
Museum Kartini di Rembang, Jateng, ada sejumlah foto dan tulisan singkat
mengenai Sosrokartono serta silsilah keluarga Bupati Jepara RM Adipati Ario
Sosrodiningrat, ayahandanya. Seperti Kartini, Sosrokartono juga pelopor
kemanusiaan dalam berbagai bidang yang melampaui zamannya.
Sejarawan
Yayasan Nation Building Didi Kwartanada, mengatakan, ada sejumlah hal penting
yang bisa dipelajari dari sosok Sosrokartono yang pada dasawarsa 1890-an
menjadi mahasiswa Universitas Leiden. Sosrokartono dikenal sebagai sosok polyglot (mampu berbicara dalam banyak
bahasa) yang sekembalinya ke Tanah Air menjadi aktivis kemanusiaan dan dikenal
berkemampuan sebagai penyembuh secara paranormal.
“Sosrokartono
itu jurnalis perang pertama RI yang meliput Perang Dunia I. Dia juga menjadi
penerjemah dalam perundingan damai, lalu menjadi juru bahasa di Volken Bond
(Liga Bangsa-Bangsa),” kata Didi.
Sosrokartono
yang lahir 10 April 1877, lebih tua dua tahun daripada Kartini, berkuliah di
Universitas Leiden, Belanda, setelah menamatkan HBS di Semarang, Jawa Tengah,
pada 1897. Semula dia mengambil jurusan teknik di Universitas Delft. Hanya
berjalan dua tahun, dia pindah ke jurusan sastra dan bahasa timur di
Universitas Leiden. Semasa matrikulasi, Sosrokartono menguasai bahasa Latin dan
Yunani.
Semasa
itu, Kerajaan Belanda mengangkat gubernur jenderal baru untuk Hindia Belanda,
yakni W Rooseboom. Sebelum Rooseboom berangkat, Sosrokartono menghadap dia
untuk meminta agar memperhatikan pendidikan rakyat Hindia (Indonesia). Dia juga
menjadi salah seorang pendiri Indisch Vereeniging (Perkumpulan Hindia) yang
kelak menjadi Indonesische Vereeniging (Perkumpulan Indonesia) yang pada 1930
dipimpin Mohammad Hatta.
Selain
kiprahnya di dunia akademis, Sosrokartono juga konsisten berkiprah di Eropa
sebagai jurnalis dan dalam forum-forum kebahasaan.
Solichin
Salam, penulis buku RMP Sosrokartono
Sebuah Biografi, Sugih Tanpa Banda, Digdaja Tanpa Adji, Ngalurug Tanpa Bala,
Menang Tanpa Ngasoraken (Kaya Tanpa Harta, Berkuasa Tanpa Kesaktian,
Menyerang Tanpa Kekerasan, Menang Tanpa Mempermalukan) mencatat, saat melamar
menjadi wartawan, Sosrokartono menjalani ujian mengedit.
Dari
semula sebuah berita panjang, dia lalu diminta mengubah menjadi satu paragraf
maksimal 30 kata dalam empat bahasa, yakni Inggris, Perancis, Spanyol, dan Rusia.
Para
pelamar lain menulis lebih dari 30 kata dan Sosrokartono sukses meringkas
berita dalam 27 kata. Jadilah dia wartawan perang New York Herald Tribune, harian terbitan AS. Dia diberi pangkat
tituler oleh militer AS demi kemudahan bertugas.
Dalam
perundingan damai Jerman dengan Sekutu, Sosrokartono terpilih menjadi juru
bahasa karena dia menguasai beragam bahasa Eropa dan bukan berdarah Eropa
sehingga dianggap netral. Selanjutnya, pada 1919, dia ditunjuk menjadi Atase
bagi Kedutaan Besar Perancis di Den Haag, Belanda. Kariernya berkembang setelah
Presiden AS 1913-1921 Woodrow Wilson membentuk Volken Bond (Liga Bangsa-Bangsa). Dia pun hijrah ke Geneva, Swiss,
menjadi juru bahasa resmi.
Selama
hidupnya, Sosrokartono bersemboyan, “Saya hanyalah manusia biasa karena itu
memegang peri kemanusiaan bukan hal asing”. [IWAN SANTOSA]
Sumber:
KOMPAS Edisi Rabu, 22 April 2015 hal. 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar