Kalau
sudah rezeki tidak akan kemana. Demikianlah kira-kira istilah yang saya alami.
Gagal berkunjung ke kampung adat yang cukup terkenal di sekitar Bajawa pada
tahun 2013, namun akhirnya terlaksana juga bisa mengunjungi kampung adat tersebut
pada tahun 2015 ini.
Kisah
ini bermula saat saya mendapat tugas untuk mendampingi seorang Data Specialist dari Lembaga Donor untuk
melakukan monitoring ke Pulau Flores. Sebenarnya nama asli pulau ini adalah
Nusa Nipa atau Pulau Ular. Nusa Nipa atau Nusa Ular merupakan nama mitologis Pulau
Flores yang ditemukan oleh Pater Piet Petu, SVD yang terurai dalam bukunya, Nusa Nipa Warisan Purba (1969).
“Flores” berasal dari bahasa Portugis yang berarti “bunga”. Penyebutan Flores dicetuskan oleh koloni Portugis, yaitu dari kata Cabo de Flores yang artinya Tanjung Bunga. Penamaan Flores telah ada selama empat abad yang lalu, bahkan berikutnya Pemerintah Hindia Belanda enggan mengubahnya dan bertahan hingga sekarang.
Dalam
perjalanan dari Desa Haju Wangi, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai
Timur, menuju ke Desa Dhereisa, Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo, kami harus
bermalam dulu di Bajawa. Bajawa terletak di antara Kabupaten Manggarai Timur
dan Kabupaten Nagekeo, dan merupakan ibu kota dari Kabupaten Ngada. Kami pun
menginap di Hotel Johny. Hal ini untuk mengantisipasi sholat Idul Adha esok
harinya.
Usai sholat Idul Adha di Masjid Baiturrahman Bajawa yang berlokasi dekat Pasar Bajawa, kami sarapan nasi goreng yang telah disediakan pihak hotel, dan kemudian langsung bergegas melanjutkan perjalanan ke Nagekeo. Dalam perjalanan tersebut, sopir rental mengajak singgah ke kampung adat di sekitar Bajawa. Kampung yang kami kunjungi adalah Kampung Adat Bena. Kampung Adat Bena terletak di Desa Tiworiwu, Kecamatan Jerebu’u, Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Lokasi kampung adat ini berjarak sekitar 19 kilometer ke arah selatan Kota Bajawa.
Dipilihnya
kampung adat ini oleh sopir rental, didasarkan atas pertimbangan bahwa di
antara kampung adat yang terdapat di Kabupaten Ngada, Kampung Bena merupakan
kawasan desa adat yang terbesar dibandingkan dengan kampung adat lainnya,
seperti Gurusina, Wogolama, Tua Woi, dan Bata Dolu.
Kampung Bena adalah salah satu perkampungan tradisional yang masih asli yang ada di Kabupaten Ngada. Perkampungan ini sangat unik karena berada di lembah dan diapit Gunung Inerie dan Gunung Surelaki. Memasuki areal kampung, ada susunan batu turap berteras setinggi tiga meter yang mengaburkan kesan adanya kampung. Namun setelah menaiki batu berteras pada ketinggian tiga meter, barulah terlihat ada Kampung Bena yang tertata apik berderet linier tersembunyi di dalamnya.
Kampung
Bena memiliki halaman luas yang disebut kisanatha,
ruang publik berupa halaman yang merupakan orientasi setiap kegiatan ritual. Di
sini terdapat sejumlah bangunan yang disakralkan masyarakat sebagai perwajahan
leluhur mereka, ngadhu dan bagha. Ngadhu merupakan simbol perwajahan leluhur laki-laki, bangunannya
menyerupai payung, sedangkan bagha
semacam miniatur rumah sebagai perlambang perwajahan leluhur perempuan.
Rumah
pendukung ini harus terus disempurnakan sampai pada tingkatan kesembilan yang
disebut sao ulu po yang sudah
dipandang layak sebagai rumah adat. Sejak memiliki rumah dalam tingkatan ini,
mereka sudah boleh menyiapkan diri untuk memiliki ngadhu dan bagha,
bangunan pemujaan leluhur laki-laki dan perempuan. Karena pertimbangan lahan
yang makin menyempit, maka pembangunan rumah pendukung di kampung Bena sekarang
dibatasi dan diperbolehkan membangun di luar areal kampung dengan dasar
pertimbangan untuk menjaga keaslian kampung Bena.
Walaupun sekarang masyarakat setempat dominan penganut Katolik, namun budaya lama tradisi megalitik masih tetap membuadaya. Hal ini terlihat jelas saat diadakan upacara reba yakni perayaan syukuran tahunan atas karunia alam dan leluhur. Perayaan ini dimulai dari Bena, di halaman kisanatha yang luas. Masing-masing klan mengadakan perayaan memasak bersama di bangunan bagha yang merupakan bangunan pemersatu agar semua warga klan tetap ingat kepada leluhurnya.
Tidak
hanya terpaku pada bangunan yang masih asli, pengunjung juga bisa menyaksikan
kegiatan menenun yang dilakukan di ruang teras rumah. Kerajinan tradisional di
kawasan wisata budaya Kampung Adat Bena terdiri dari tenun ikat dan kerajinan
tangan lainnya, misalnya membuat tempat minum, kalung, hiasan, dengan bahas
dasarnya yaitu tempurung kelapa yang sudah tua. Untuk tenun ikat biasanya
dilakukan oleh kaum ibu atau anak perempuan.
Di
Kampung Bena terdapat beberapa fasilitas yang dapat menunjang kegiatan wisata,
fasilitas tersebut terdiri dari pondok payung, pusat informasi, kios dan MCK.
Ditinjau dari akseptabilitas, Kampung Adat Bena mudah dikunjungi karena berada
di pinggir jalan yang cukup halus. ***
[240915]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar