Mengikuti
jalur KOPAJA P 20 dari Pasar Senen menuju Lebak Bulus, membawa kenangan
tersendiri. Pasalnya, jalur ini merupakan jalur yang membelah Menteng yang
kesohor di Jakarta. Menteng merupakan salah kawasan tua yang ada di Jakarta.
Sebagai kawasan tua, Menteng meninggalkan jejaknya melalui beberapa bangunan
kuno yang terdapat di situ.
Salah
satu bangunan kuno yang ada di lintasan KOPAJA P 20 adalah Gedung Joang 45. Gedung
ini terletak di Jalan Menteng No. 31 Kelurahan Kebon Sirih, Kecamatan Menteng,
Kota Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta. Lokasi museum ini berada di selatan
gedung Tedja Buana/Universitas Mercu Buana.
Menurut
documentary board yang terdapat di
dalam gedung tersebut, dikisahkan bahwa pada tahun 1938 seorang pengusaha
Belanda bernama L.C. Schomper mendirikan sebuah hotel yang bernama Schomper 1
di daerah Menteng Raya. Hotel ini dibangun khusus bagi pejabat tinggi Belanda,
pengusaha asing dan pejabat pribumi yang singgah di Batavia.
Hotel
Schomper merupakan hotel termegah pada saat itu. Bangunannya bergaya Indische Empire yang mampu menciptakan
kesan kuat peninggalan kolonial. Di bagian depan terdapat pilar-pilar tinggi
berwarna putih yang membatasi serambi depan dan pintu masuk dengan lantai
marmer. Ruang tamunya sangat luas di bagian tengah bangunan. Ruang makan
ditempatkan di belakang dekat dapur, gudang, dan 3 kamar untuk juru masak. Di
samping kiri dan kana bangunan serambi utama membentuk dua sayap dengan 5 kamar
di sayap kiri dan 8 kamar besar yang dilengkapi kamar mandi berada di sayap
kanan.
Pada waktu Belanda menyerah kepada Jepang pada 8 Maret 1942, Hotel Schomper diambil alih oleh Jepang dan diserahkan kepada Jawatan Propaganda Jepang (Ganseikanbu Sedenbu) yang dikepalai oleh seorang Jepang, Simizu. Lalu, pada bulan Juli 1942 oleh Ganseikanbu Sedenbu diserahkan kepada pemuda untuk digunakan sebagai tempat pendidikan para pemuda yang dimaksudkan untuk meyokong Pemerintah Jepang di Indonesia. Di samping itu, Jepang juga membolehkan gedung ini dipergunakan untuk mendidik para pemuda dalam menyongsong kemerdekaan. Tempat ini dijadikan tempat pendidikan politik yang dibiayai oleh Ganseikanbu Sedenbu.
Jepang
bermaksud mendidik para pemuda Indonesia menjadi kader-kader demi kepentingan
Asia Timur Raya. Tapi maksud dan cita-cita Jepang ini kemudian berhasil
dibelokkan oleh para pemimpin Indonesia yang ditugaskan menjadi guru di tempat
ini dengan menanamkan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang murni. Ir. Soekarno,
Drs. Mohammad Hatta, Adam Malik, Chaerul Saleh dan sejumlah tokoh Indonesia
lainnya merupakan tokoh-tokoh yang terlibat dalam pendidikan pemuda yang
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Pusat
pendidikan ini kemudian dikenal dengan nama Asrama Angkatan Baru Indonesia, dan
akhirnya gedung diganti dengan nama Gedung Menteng 31, sedangkan pemudanya yang
menempati asrama tadi dikenal dengan Pemuda Menteng 31.
Pada
10 Januari 1972 Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan Surat Keputusan (SK) KDKI No.
CB.11/1/12/72 jo Monumenten Ordonantie
Staatblad No. 238 tahun 1931 yang menetapkan Gedung Menteng 31 sebagai
bangunan bersejarah.
Sebagai
tindak lanjut SK Gubernur tersebut, Gedung Menteng 31 dipugar kembali oleh Pemda
DKI Jakarta pada 9 September 1973, dan selesai dipuga padar 17 Agustus 1974.
Gedung Menteng 31 ini kemudian dijadikan museum dengan nama Gedung Joang 45.
Peresmiannya dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia Soeharto pada 19
Agustus 1974.
Koleksi
pada museum ini adalah benda-benda yang menggambarkan jejak perjuangan
kemerdekaan, berupa benda-benda peninggalan para pejuang Indonesia terutama
yang berhubungan dengan Menteng 31. Di antaranya foto-foto dokumentasi, lukisan
yang menggambarkan perjuangan sekitar tahun 1945-1950, patung-patung tokoh
pejuang, dan film dokumenter perjuangan.
Kemudian
di lokasi terpisah dengan gedung utama, tepatnya di bagian belakang berbentuk
bangunan joglo berkaca, terdapat 3 koleksi kebanggan museum ini berupa mobil
dinas resmi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Pertama yang dikenal
dengan mobil REP-1, REP-2, dan mobil peristiwa pemboman di Cikini.
Mobil REP-1 adalah mobil sedan limosin
merk BUICK (tahun 1939) buatan pabrik General Motor (GM). Mobil ini merupakan
mobil kepresidenan pertama yang dimiliki Pemerintah Indonesia, dan digunakan
oleh Ir. Soekarno dalam menjalankan tugasnya sebagai Presiden Republik
Indonesia. Pada saat pusat pemerintahan Republik Indonesia pindah ke
Yogyakarta, mobil REP-1 dibawa serta.
Mobil
ini sebelumnya milik Kepala Departemen Perhubungan Jepang yang dicuri oleh
Sudiro (pejuang RI), dengan cara membujuk sopirnya yang orang Kebumen untuk
pulang ke Kebumen dan meninggalkan mobil tersebut. Sudiro kemudian
menyembunyikan mobil itu, dan setelah aman mobil itu diserahkan kepada Bung
Karno.
Pada
tanggal 19 Mei 1979 mobil ini diserahkan oleh Kepala Rumah Tangga Presiden
kepada Dewan Harian Nasional ’45 untuk dijadikan koleksi Museum Joang 45 ini.
Mobil REP-2 pada mulanya digunakan yang bernama Djohan Djohor, milik seorang pengusaha yang merupakan paman dari Mohammad Hatta. Selanjutnya mobil tersebut diserahkan kepada Bung Hatta, dengan maksud untuk membantu mobilisasi perjuangannya dan juga menghindari prampasan dari pihak militer Jepang. Mobil REP-2 itu tetap dipergunakan oleh Bung Hatta di dalam melaksanakan tugas-tugas kenegaraan sebagai Wakil Presiden.
Kemudian
pada waktu pemerintahan Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta, mobil tersebut
juga turut serta mendampingi Bung Hatta di sana. Pada waktu pemerintahan
Republik Indonesia kembali lagi ke Jakarta, tidak ketinggalan mobil REP-2 ini
kembali juga ke ibu kota diangkut dengan kereta api. Akhirnya pada tanggal 20
Agustus 1975, oleh Bung Hatta mobil tersebut diserahkan kepada Dewan Harian
Nasional ’45 untuk dijadikan koleksi Museum Joang 45.
Sedangkan,
mobil peristiwa Cikini bermerk Imperial. Mobil ini dulu digunakan Presiden
Soekarno saat terjadi peristiwa peledakan granat di Perguruan Cikini. Saat itu
mobil tersebut digunakan Presiden Soekarno menghadiri acara Bazaar Sekolah
Perguruan Cikini (PERCIK). Sehingga kemudian mobil itu lebih dikenal dengan
sebutan Mobil Peristiwa Cikini.
Peristiwa
peledakan granat tersebut merupakan usaha percobaan pembunuhan yang dilakukan
terhadap Presiden Soekarno yang terjadi pada tanggal 30 November 1957, kurang
lebih pada pukul 21.00 WIB. Kejadian tersebut berlangsung di halaman depan
Kompleks Perguruan Cikini Jalan Cikini Raya Jakarta Pusat. Akibat ledakan
granat tersebut mengakibatkan 9 orang meninggal dan 55 orang luka-luka termasuk
di dalamnya pengawal Presiden Soekarno dan beberapa murid Perguruan Cikini.
Selain
koleksi, museum ini juga mempunyai beberapa fasilitas lainnya, seperti
auditorium, perpustakaan, ruang parkir, plaza untuk aktivas outdoor, dan free Wi-fi. *** [130416]
Terima kasih telah berkenan membaca sejarah anak negeri ini
BalasHapus