Sebelum
bernama Gedung Grahadi, bangunan ini dulu dikenal dengan nama tuinhuis. Ketika Dirk van Hogendorp
ditugaskan di Surabaya sebagai Penguasa Wilayah Timur Ujung Timur (Gezaghebber van het Oost Hoek) pada
tahun 1794, awalnya tinggal di kediaman resmi yang tak jauh dari Jembatan
Merah. Namun, karena tempat itu dianggap kurang representatif maka ia
berkehendak membangun kediaman baru. Lantas, ia tertarik pada sebuah lahan
kosong yang menghadap ke arah Kali Mas yang sangat jernih airnya pada waktu
itu. Lahan tersebut milik salah seorang pedagang China. Dengan kepiawaiannya,
Dirk berhasil melobby untuk menguasai lahan tersebut dengan harga yang sangat
murah, yaitu dengan ganti rugi hanya 2,5 sen.
Setelah
itu, pada tahun 1795 dibangunlah sebuah tuinhuis.
Tuinhuis merupakan suatu sebutan bagi
model rumah musim panas di Eropa yang indah yang dikelilingi taman bunga nan
elok. Konon, biaya yang dikeluarkan Dirk untuk membangun tempat tinggal barunya
itu adalah 14 ribu ringgit dengan arsitektur bergaya Oud Holland Stijl, di mana bangunan induk dengan atap yang menjulang
tinggi kekar dan berwibawa serta pelatarannya yang sangat luas. Tepat di tepian
sungai terdapat dermaga kecil sebagai tempat perahu Dirk bersandar, sehingga
pada saat santai sore hari, Dirk bisa memandangi perahu-perahu yang hilir mudik
di Kali Mas.
Dirk
hanya menempati tuinhuis yang
menyerupai istana itu selama 3 tahun saja karena pada 1 Januari 1798, ia
ditangkap dan dibawa ke Batavia sebelum ia berhasil meloloskan diri serta
dengan segala cara ia bisa kembali dan tiba dengan selamat di Belanda. Kala
itu, Dirk ditangkap karena kritikan pedasnya terhadap para petinggi Belanda
yang dialamatkan kepada Nederburgh selaku Ketua Komisi Jenderal.
Lalu,
pada tahun 1799 diangkatlah Fredrik Jacob Rothenbuhler, seorang Residen
Pekalongan, menjadi Penguasa Wilayah Ujung Timur hingga 1809. Saat bertugas di
Surabaya, Rohthenbuhler menempati tuinhuis
yang dibangun Dirk.
Ketika Herman Willem Daendels diangkat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Timur, ia berkunjung ke Surabaya pada tahun 1810. Ia memang pernah mendengar adanya tuinhuis yang terletak di tepi Kali Mas yang sangat jernih airnya. Tatkala ia menginap di istana yang dibangun oleh Dirk van Hogendorp itu, ia nampak kecewa. Tidak sesuai dengan yang ia bayangkan. Lalu, Daendels memerintahkan para petinggi Surabaya untuk merenovasi bangunan tersebut. Akhirnya, tuinhuis itu pun direnovasi. Muka gedung yang dulunya menghadap ke Kali Mas (utara) diganti menjadi ke selatan. Selain itu, Daendels memerintahkan untuk memberi gaya The Empire Style yang dipengaruhi gaya Perancis dengan ditambahi pilar gaya Doric.
Pada
masa pendudukan Jepang, gedung tersebut digunakan sebagai kediaman Syuuchokan Kaka. Syuuchokan Kaka merupakan sebutan residen di masa pendudukan
Jepang. Setelah kemerdekaan, gedung ini menjadi kediaman resmi Gubernur
Provinsi Jawa Timur pertama, yaitu Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo.
Sekarang,
bangunan tuinhuis itu dikenal dengan
nama Gedung Grahadi. Nama Grahadi
diambil dari bahasa Sansekerta, Graha
berarti rumah, dan Adi memiliki makna
derajat tinggi. Jadi secara harafiah, gedung ini memiliki arti rumah yang derajatnya tinggi.
Semenjak
tak lagi digunakan sebagai kediaman gubernur, Gedung Grahadi menjadi Gedung
Negara yang lebih sering dijadikan tempat untuk menerima tamu Gubernur Jawa
Timur, mengadakan rapat, dan melaksanakan sejumlah acara penting pemerintahan,
seperti pelantikan pejabat dan upacara peringatan hari nasional.
Gedung
Grahadi terdiri dari dua lantai yang berdiri di atas lahan seluas 1,6 hektar.
Luas bangunan utamanya adalah 2.016 m² dan luas sejumlah bangunan
penunjangnya adalah 4.126 m². Di bagian teras gedung utama
terdapat sejumlah meja dan kursi yang di atasnya nampak menggantung lampu-lampu
bergaya klasik serta lantainya terbuat dari marmer.
Gedung
in terletak di Jalan Gubernur Suryo No. 7 Kelurahan Embong Kaliasin, Kecamatan
Genteng, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur, atau tepatnya berada di sebelah
barat Balai Pemuda (Surabaya Tourism information
Centre). Gedung ini telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya (BCB)
sesuai dengan Surat Keputusan Walikota Nomor 188.45/251/402.1.04/1996 dengan
nomor urut 15. *** [190114]
Kepustakaan:
Dukut Imam Widodo, Sorabaia Tempo Doeloe Buku 2,
Surabaya: Dinas Pariwisata Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar