Kawasan
Darmo merupakan kawasan strategis yang berada di tengah Kota Surabaya, dan
dapat dengan mudah diakses dari berbagai penjuru kota. Tempo dulu, kawasan ini
dikenal dengan istilah Bovenstad atau
Kota Atas, karena kawasan tersebut tergolong bebas banjir. Di kawasan Darmo
dilalui oleh Jalan Raya Darmo atau dulu disebut dengan istilah Darmo Boulevard, yang membentang dari
depan Soerabaiasche Dierentuin atau
Kebun Binatang Surabaya hingga perempatan Tamarindelaan
(sekarang Jalan Pandegiling).
Zaman
dulu, kawasan Darmo memang merupakan kawasan elite. Banyak bangunan dan perumahan megah didirikan di kawasan
tersebut. Salah satunya yang masih bisa disaksikan sampai sekarang adalah Darmo Ziekenhuis atau sekarang dikenal
dengan nama Rumah Sakit Darmo.
Rumah Sakit (RS) Darmo terletak di Jalan Raya Darmo No. 90 Kelurahan Dr. Sutomo, Kecamatan Tegalsari, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Lokasinya tidak begitu jauh dengan Taman atau Makam Bungkul.
Bangunan
RS Darmo didirikan pada 15 Januari 1921. Peletakkan batu pertama dilakukan oleh
G. Mejuffr Hempenius, Direktris SZV. SZV merupakan singkatan dari Surabajasche Zieken Verpleging, sebuah perkumpulan
sosial untuk pelayanan kesehatan yang didirikan pada 9 Juni 1897 dan dipimpin
seorang dokter Belanda bernama HJ Offerhaus, dan rancangan gedungnya
dipercayakan kepada G.C. Citroen,
seorang arsitek kenamaan yang banyak menciptakan gedung-gedung terkenal di
Surabaya kala itu. RS Darmo pada waktu dibangun mendapat pengaruh arsitektur Modern Fungsional dengan elemen Art Deco. Arsitektur Modern Fungsional pada waktu itu memang
sedang berkembang (1910-1940), gaya arsitektur ini lebih diminati para arsitek
yang berada di Hindia Belanda karena lebih mengutamakan fungsi, keindahan
timbul semata-mata oleh adanya fungsi dari elemen-elemen bangunannya. Aspek
keindahan tidak lagi dikaitkan dengan adanya dekor atau ornamen dan
bagian-bagian bangunan yang semata-mata untuk memperindah bangunan seperti
misalnya menara tinggi, ornamen, patung, dan lain-lain yang tidak memiliki
fungsi.
Menara yang berada pada jalan masuk utama RS Darmo menyerupai menara pada gereja-gereja Calvinist di Belanda. Menara yang terbuat dari kayu berada di puncak gevel dengan penangkal petir di atasnya. Di bawahnya terdapat logo RS Darmo yang disertai lengkungan bertuliskan “Salus Aegroti Suprema Lex Est”, yang maknanya adalah menyelamatkan penderita adalah kewajiban utama. Dindingnya diplester dan dicat dengan warna putih. Pintu masuk utama (main entrance) memiliki pintu rangkap dua, dan di belakangnya membentuk lorong-lorong entrance menuju bangunan tengah rumah sakit. Bentuk dari lorong ini bersekat-sekata dengan bentuk melengkung setengah lingkaran pada bagian atasnya, yang berfungsi sebagai isolasi panas dan sinar matahari. Citroen berusaha menghilangkan citra bangunan kolonial yang berkesan mewah dan banyak hiasan atau ornamen dengan bangunan arsitektur modern yang lebih menekankan pada fungsi.
Pada masa perang, RS Darmo pernah menjadi pusat interniran tawanan Eropa pada saat pendudukan Jepang. Hal ini diabadikan dalam bentuk tugu prasasti yang diletakkan di taman bagian depan RS Darmo. Dalam tugu tersebut tertulis “The Japanese used this hospital as the centre of the women and children internees. Liutenant Colonel Rendall and his troops toke it over. They fired at a passing truck with vouth in it on October 27, 1945 and that started the first clash of October 28-30, 1945” (Gedung ini oleh Jepang dipakai sebagai kamp interniran anak-anak dan wanita. Pasukan Sekutu datang, kamp diambilalih oleh Letnan Kolonel Rendall. Sebuah truk pemuda Sulawesi lewat pada tanggal 27 Oktober 1945 ditembaki oleh mereka dan itulah permulaan pertempuran tiga hari, 28-30 October 1945).
RS
Darmo ini tergolong bangunan yang heritagenya
tetap terjaga dengan taman yang menghijau, sehingga tampak tetap asri, dan
melegakan. Kini, RS Darmo menjadi landmark
kawasan Jalan Raya Darmo karena kekhasan arsitektur yang dimilikinya, dan telah
ditetapkan sebagai salah satu bangunan cagar budaya yang harus dilindungan dan
dilestarikan seperti yang tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Walikotamadya
Kepala Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 188.45/251/402.1.04/1996 dengan nomor
urut 12. *** [190114]
Kepustakaan:
Handinoto, 1996, Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial
Belanda di Surabaya 1870-1940, Yogyakarta: Andi
Sumalyo, Yulianto, 1997, Arsitektur Modern Abad XIX dan
Abad XX, Yogyakarta: Gajah Mada University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar