Makam
Sunan Bungkul terletak di Jalan Raya Darmo, Kelurahan Darmo, Kecamatan
Wonokromo, Provinsi Jawa Timur, atau tepatnya berada di area Taman Bungkul.
Kurang lebih 200 meter arah barat dari Grand Darmo Suite yang menjulang tinggi.
Makam
Sunan Bungkul merupakan makam tua yang berada di tengah Kota Surabaya yang
sangat rindang karena banyak ditumbuhi pohon besar yang sudah berusia ratusan
tahun. Banyak orang yang berziarah ke sini sebelum melanjutkan ziarah ke makam
Sunan Ampel, dan pada hari-hari tertentu makam Sunan Bungkul akan ramai
dikunjungi peziarah yang datang dari dalam maupun dari luar Kota Surabaya.
Secara
arkelogis, kompleks makam ini cukup menarik karena di dalam tembok makam
tersebut masih dalam keadaan asli, di dalam kompleks tersebut juga terdapat
sumur tua yang airnya dipercaya memiliki khasiat bagi yang meminumnya.
Kompleks
makam ini dikelilingi tembok dan terbagi menjadi tiga halaman yang disusun
berurut ke belakang dari arah timur ke barat lalu ke utara. Masing-masing
halaman dibatasi pagar tembok penghubung antara halaman yang satu dengan yang
lain berupa gerbang berbentuk sebuah bentar dan dua paduraksa. Pertama datang,
peziarah akan melintasi gerbang berbentuk bentar yang di atasnya dipasang papan
bertuliskan Makam Ki Ageng Bungkul Surabaya. Lalu. Lurus ada akan ketemu
gerbang paduraksa yang pertama, di mana begitu memasuki gerbang tersebut akan
menemui mushola yang konon dibangun oleh Sunan Bungkul bersama Raden Rahmat
(Sunan Ampel). Kemudian belok ke kanan atau arah utara usai melintasi sejumlah
batu nisan kuno, akan menemukan gerbang paduraksa yang kedua yang di dalamnya
bersemayam jasad Sunan Bungkul. Secara keseluruhan di dalam kompleks makam
Sunan Bungkul yang terdiri atas tiga halaman tersebut, terdapat sekitar 50
makam. Selain makam Sunan Bungkul sendiri, di kompleks tersebut juga terdapat
makam Nyai Ageng Bungkul (Istri Sunan Bungkul), kerabat maupun santrinya.
Kompleks
Makam Sunan Bungkul telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya (BCB) sesuai
dengan Surat Keputusan (SK) Wali kota Nomor 188.45/251/402.104/1996 dengan
nomor urut 52. Sehingga keberadaannya sekarang dilindungi oleh Undang-Undang.
Latar Belakang Sejarah
Sosok
Sunan Bungkul hingga kini masih menyimpan misteri mengingat cerita rakyat yang
beredar di tengah masyarkat memiliki banyak versi, dan kadang kala antara
cerita yang satu dengan cerita yang lain bersifat paradoks.
Sulitnya
menemukan sosok ini bahkan dibenarkan sejarawan mendiang Godfried Hariowald von Faber pada bukunya Oud Soerabaia (1931). Faber menjelaskan di dalam bukunya bahwa
siapa sosok Ki Ageng Bungkul atau Sunan Bungkul sebenarnya. Orang-orang tua
melarang menceritakan apa pun tentang Bungkul ini. Pelanggaran terhadap larangan
itu pasti diganjar hukuman. Si pelanggar akan diancam oleh jin, diisap darahnya
oleh kelelawar, lehernya dipelintir dan sebagainya, demikian pula ibu, istri,
dan anak-anaknya akan mendapatkan celaka.
Anggapan
inilah yang akhirnya malah mengaburkan sosok sebenarnya Sunan Bungkul itu
sendiri, dan ditambah minimnya literatur yang menerangkan sosok Sunan Bungkul
secara gamblang. Akan tetapi, nama Ki Ageng Bungkul sempat ditemukan di dalam
Babad Ampeldenta terbitan 2 Oktober 1901 yang naskah aslinya masih tersimpan di
Yayasan Panti Budaya Yogyakarta. Selain itu, juga disinggung di Babad Risakipun
Majapahit Wiwit Jumenengipun Prabu Majapahit Wekasan Dumugi Demak Pungkasan
yang disimpan di Perpustakan Rekso Poestaka Surakarta.
Ki
Ageng Bungkul, sebutan lain untuk Sunan Bungkul adalah seorang nayaka Kerajaan Majapahit pada abad XV yang
tinggi ilmunya yang kemudian menjadi mertua Sunan Ampel. Beliau sering
berkonsultasi dengan Sunan Ampel mengenai masalah agama Islam sehingga kemudian
beliau berkenan memeluk agama Islam.
Ki
Ageng Bungkul, aslinya bernama Ki Supa Mandagri, seorang ahli pembuat keris (empu) dari Tuban yang semula dimintai
oleh Prabu Kertabhumi (Brawijaya V) dari Kerajaan Majapahit untuk membuatkan
sebilah keris yang bagus. Pada awal-awalnya, keris buatan Ki Supa ini dikagumi
oleh Raja Brawijaya hingga Adipati Blambangan. Kepiawiannya inilah yang
menyebabkan Ki Supa mendapat anugerah Dewi Lara Upas, adik dari Adipati
Blambangan, dan pemberian salah satu putri Raja Brawijaya yang cantik. Akan
tetapi, pada saat pembuatan keris yang terakhir untuk pesanan Sang Prabu
Brawijaya, rupanya kurang berkenan di hati Raja Majapahit tersebut.
Ki
Supa yang merasa tugasnya telah selesai kemudian kembali pulang ke Tuban. Di
perjalanan, beliau tertarik pada tempat Bungkul hingga akhirnya menetap di
tempat tersebut sampai dengan wafatnya.
Keberadaan
kompleks makam Sunan Bungkul seluas 900 meter persegi ini semakin mencuat
dengan dijadikannya kawasan di sekitar makam tersebut menjadi sebuah taman
untuk mempertahankan pepohonan rindang yang usianya sudah ratusan tahun lebih.
Diawali
sejak zaman kolonial, keberadaan Taman Bungkul dipertahankan pemkot semasa
pemerintah kolonial Belanda. Lokasi Taman Bungkul yang berada di tengah
kompleks perumahan warga Belanda bisa dimaknakan sebagai penghormatan para
perencana tata kota kala itu terhadap keberadaannya. Kemewahan kawasan Darmo
Boulevard tidak sampai menggusur makam dan Taman Bungkul, bahkan lahan hijau
itu dinamai Boengkoel Park.
Lalu,
pada 21 Maret 2007, Taman Bungkul dikembangkan menjadi sebuah taman yang
menarik dan mempesona. Sarananya makin dilengkapi, seperti skateboard track dan BMX track,
jogging track, plaza yang sering
digunakan untuk panggung live performance
berbagai entertainment, zona akses wi-fi gratis, telepon umum, area green park dengan kolam air mancur,
taman bermain untuk anak-anak hingga lokasi pujasera untuk wisata kuliner.
Upaya
ini ternyata tidak sia-sia, pada 26 November 2013 Taman Bungkul mendapat
penghargaan sebagai taman terbaik se-Asia yang diberikan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) di Jepang. *** [050114]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar