Saat
melintas di depan Gedung Grahadi akan dijumpai papan kecil di sebelah kanan
yang berwarna merah maron. Papan tersebut membentuk arah panah ke kanan
bertuliskan Arca Joko Dolog secara bilingual.
Lokasi situs arca ini terletak di Jalan Taman Apsari, Kelurahan Embong Kaliasin,
Kecamatan Genteng, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur, atau sekitar 200 meter
dari Taman Apsari yang berada tepi Jalan Gubernur Suryo. Tempo doeloe, taman itu bernama Kroesenpark.
Setelah
mengikuti papan penunjuk arah tadi, arca yang dituju memang tidak langsung
kelihatan. Karena arca tersebut berada di posisi belakang dari pintu gerbang
(gapura) kompleks Situs Arca Joko Dolog yang berbentuk bentar, dan berwarna hitam. Kompleks ini ditumbuhi empat pohon
beringin besar yang telah berusia
ratusan tahun, sehingga suasananya tampak agak gelap. Untungnya, di samping gapura
ada papan berwarna putih bertuliskan Benda Cagar Budaya Arca Joko Dolog adalah Perwujudan Raja Kertanegara yang berwarna hitam
sebagai penandanya. Kondisi lokasi arca yang agak masuk ke dalam dengan
lingkungan pepohonan besar nan rimbun ditambah aroma kemenyan maupun hio yang semerbak, menjadikan suasananya
terkesan angker (keramat).
Arca yang terbuat dari batu andesit ini merupakan salah satu peninggalan karya anak bangsa berskala besar dalam posisi bhumisparsa mudra. Posisi tubuh arca tersebut duduk dengan sikap meditasi, yaitu kaki di lipat keatas (bersila) dan tangan kiri terletak di depan perut dengan telapak tangan menengadah ke atas, sedangkan tangan kanan menelungkup di atas paha dengan telapak tangan menutupi lutut. Arca ini sesungguhnya adalah Arca Buddha Maha Aksobya, perwujudan Prabu Kertanegara yang menggambarkan sedang bersemedi. Raja Kertanegara merupakan raja Singasari terakhir yang membawa kerajaannya itu ke titik puncak kejayaan. Sedang arti Maha Aksobya (bahasa Sansekerta) adalah “Yang Tak Tergerakkan”, merupakan suatu istilah dalam ajaran Buddha. Arca ini dibuat untuk menghormati Kertanegara yang memang pemeluk Buddha tantra yang taat. Ia terkenal sebagai praktisi ajaran tantra yang menganut ajaran sinkretis Siwa-Buddha.
Akan
tetapi, arca ini selanjutnya lebih dikenal dengan nama Joko Dolog. Kisahnya
bermula dari seorang warga pribumi yang secara tak sengaja menemukan arca yang
tertimbun dalam tanah dan di atasnya terdapat tumpukan kayu jati gelondongan
atau dolog kemudian dia menyebutnya Jogo Dolog (Jaga Kayu). Berita ini
akhirnya tersiar kemana-mana dari mulut ke mulut, kata "jogo" berubah menjadi
"joko" akibat salah pengucapan. Begitu seterusnya, sehingga arca
tersebut dinamakan Joko Dolog seperti sekarang ini.
Arca Joko Dolog berada di dalam sebuah area tersendiri. Dari gapura masuk, Anda akan merasakan keteduhan kompleks ini. Ada beringin besar yang tumbuh di dalam area kompleks. Di sisi kanan dan kiri jalan menuju Arca Joko Dolog, terdapat beberapa arca lainnya. Ada arca berbentuk raksasa, ada yang berupa ganesha, ada juga yang berupa kepala naga. Arca Joko Dolog sendiri berada di sebuah bangunan terbuka beratap dengan empat tiang di masing sudutnya. Ada beberapa anak tangga yang harus dinaiki untuk melihat arca ini dari dekat.
Arca
itu bisa berada di tempat ini lantaran upaya Tuan Residen Baron A.M. Th. de
Salis yang berkuasa di Surabaya kala itu. Aslinya arca itu berada di Desa
Kedungwulan dekat Nganjuk, lantas pada tahun 1817 dibawa ke Surabaya.
Konon,
arca itu dibuat di kediaman Mpu Bharada di tempat yang bernama Wurare atau Desa
Kedungwulan, dekat Nganjuk. Meski berasal dari abad ke 13, arca ini baru
ditemukan pada tahun 1812 oleh Pemerintahan Belanda di daerah Kandang Gajah,
Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Arca tersebut dibuat
untuk menghormati Kertanegara Putra Wisnuwardhana sebagai raja Singasari pada
masa itu. Beliau terkenal karena kebijaksanaannya, pengetahuannya yang luas
dalam bidang hukum dan ketaatannya pada agama Buddha serta cita-citanya yang
ingin mempersatukan Nusantara.
Dalam
buku Soerabaja: beeld van een stad
(1994), André C. Broeshart menyinggung bahwa Joko Dolog secara harafiah adalah
Jejaka Gemuk. “Een originele standbeeld
van koning Kertanegara staat nog steeds in het centrum van de stad Surabaya,
ook wel bekend als Joko Dolog, of de Fat Boy.” Arca itu sebenarnya sudah
ada di Singasari sejak tahun 1289. Dan kemudian dipindahkan ke Surabaya pada
tahun 1817.
Konon, arca ini pernah hendak dibawa ke Negeri Belanda namun kapal yang mengangkut arca ini mengalami badai hebat hingga hampir tenggelam. Akhirnya arca ini dikembalikan ke Surabaya dan ditempatkan di sini pada tahun 1817, sehingga generasi penerus bangsa ini masih bisa menyaksikan keberadaannya.
Yang
unik dari arca Joko Dolog ini adalah pada lapiknya (dudukan sang arca) terdapat
prasasti yang merupakan sajak, memakai huruf Jawa kuno, dan berbahasa Sansekerta.
Dalam prasasti tersebut disebutkan tempat yang bernama Wurare, sehingga
prasastinya disebut dengan nama Prasasti Wurare. Angka prasasti menunjukkan
1211 Saka (1289 M) yang juga menurut legenda arca ini dibuat dan ditulis oleh
seorang abdi raja Kertajaya bernama Nada. Prasasti yang berbentuk sajak
sebanyak 19 bait ini isi pokoknya dapat dirinci menjadi 5 hal.
Meski
sudah hampir 8 abad, keberadaan arca Joko Dolog masih berdiri dengan kokoh di
lahan seluas ± 100 m². Arca Joko Dolog, sudah pernah mengalami beberapa kali
renovasi kurang lebih dua kali. Pada tahun 1957 arca Joko Dolog diberi alas
duduk berupa batu. Sebelumnya, arca Joko Dolog bersila di tanah tanpa alas.
Pemugaran areal pertapaan Jogo Dolog dimulai sejak tahun 1998, dengan
pembangunan joglo atau atap untuk melindungi keberadaan Joko Dolog. Arca
tersebut telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya (BCB) melalui Surat Keputusan
(SK) Walikota Nomor 188.45/251/402.1.04/1996 dengan nomor urut 46. Sebagai
konsekuensi dari SK tersebut, arca ini harus dilindungi dan tetap dirawat.
Keberadaan
situs kuno si tengah kota ini memang menjadi daya tarik sendiri bagi Surabaya.
Tiap hari ada saja pengunjung area ini, baik untuk berziarah, ataupun
melihat-lihat dan mengamati eksotisme peninggalan nusantara ini. *** [100114]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar