Berbekal
informasi dari penjual soto di depan SMAN 3 Magelang, penulis mendapatkan dan
sekaligus bisa menyaksikan sebuah bangunan kuno yang masih berdiri hingga saat
ini yang lokasinya berada di daerah Pecinan Magelang. Bangunan tersebut begitu
menonjol dengan daerah sekitarnya karena bentuknya yang berbeda sendiri. Fasade
melengkung atau setengah bulatan, yang kurang lazim di Magelang pada waktu itu.
Bangunan tersebut dikenal sebagai gedung atau rumah bundar.
Rumah
bundar tersebut terletak di Jalan Sriwijaya No. 56 Kelurahan Rejowinangun
Utara, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi
rumah bundar ini berada di sebelah timur SMAN 3 Magelang, dan jaraknya tidak
terlalu jauh.
Rumah
dengan luas bangunan 350 m² yang berdiri di atas lahan 1.705 m² ini dibangun oleh seorang
saudagar Tionghoa yang kaya raya dari Magelang, bernama Tan Gwat Ling. Sebagai
agen komoditas konsumsi, seperti teh, kopi, gula maupun tembakau, yang lumayan
besar di Magelang pada waktu itu, mengharuskan Tan Gwat Ling kerap berkeliling
untuk memperoleh barang-barang dagangannya tersebut guna dijual kembali. Salah
satu kota tujuan yang sering didatangi adalah Bandung.
Pada saat di Bandung inilah, Tan Gwat Ling tertarik pda desain Villa Isola milik seorang hartawan Belanda bernama Dominique Willem Berretty yang dirancang oleh arsitek Belanda yang bekerja di Hindia Belanda, Prof. Charles Prosper Wolf Schoemaker. Terinspirasi akan keindahan Villa Isola tersebut, Tan Gwat Ling berkeinginan membangun rumah miliknya dengan mengadopsi karya Schoemaker tersebut.
Pada
tahun 1934, Tan Gwat Ling benar-benar mewujudkannya dengan memulai proses
pembangunan rumah yang kelak di kemudian hari dikenal sebagai rumah bundar.
Dilihat dari fasadenya, rumah bundar ini memiliki aksen bulatan pada tiga
bidang depannya, dan tampak megah lantaran berdiri dengan dikelilingi halamana
yang begitu luas. Bentuk silinder (bundar), tampilan sederhana dan ditandai
dengan ornamen lengkung mengisyaratkan bahwa gaya arsitektur dari rumah bundar
ini adalah langgam art deco yang
banyak berkembang di Indonesia.
Pada
masa pendudukan Jepang, rumah bundar ini sempat dirampas untuk dijadikan
sebagai salah satu markas pasukannya dengan memenjarakan Tan Gwat Ling. Namun
ketika Jepang meninggalkan Magelang dan digantikan kembali kekuasaannya kepada
Belanda, tidak serta merta mengembalikan rumah bundar tersebut kepada
pemiliknya. Baru pada tahun 1951, Pemerintah RI mengembalikan rumah bundar
tersebut kepada Tan Gwat Ling lagi.
Pada
tahun 1970-an, rumah bundar ini sempat difungsikan sebagai tempat kos. Namun,
sekarang rumah bundar telah dikembalikan oleh keturunan Tan Gwat Ling, sebagai
rumah tinggal dan tempat perisitirahatan bila anak cucunya ingin ke Magelang.
Komitmen keluarga besar Tan Gwat Ling ini patut diacungi jempol karena masih
mau merawat dan melestarikan rumah moyangnya seperti awal dibangunnya. Karena
bagaimanapun, rumah bundar tersebut telah memenuhi kriteria sebagai bangunan
cagar budaya (BCB) yang ada di Kota Magelang. *** [201214]
Hebat...... Akan menjadi salah satu tujuan wisata saya nanti. Tulisan ini akan saya sebarkan.
BalasHapus