The Story of Indonesian Heritage

SDN 1 Rangkasbitung Barat

Pada waktu menghadiri perhelatan pengantin sepupu di Tangerang Selatan pada hari Sabtu, 18 Agustus 2018, saya sempat bermalam beberapa hari di rumah paman karena kehabisan tiket kereta api saat itu. Dalam penantian jadwal tiket kereta api menuju Solo pada hari Senin, 20 Agustustus 2018, saya mencoba mengisi waktu berjalan-jalan ke Rangkasbitung pada hari Ahadnya.
Dengan menggunakan transportasi KRL Commuter Line dari Stasiun Sudimara, saya pun berusaha berangkat pagi, yaitu pada pukul 06.19 WIB, dan sampai di Stasiun Rangkasbitung sekitar pukul 08.14 WIB. Keluar dari stasiun itu, saya menyambungnya dengan naik angkot yang melintas di depan stasiun tersebut. Karena belum pernah kemari, tujuan yang saya pilih adalah di seputaran Alun-Alun Rangkasbitung.
Mengingat saat itu adalah hari Ahad, oleh sopir angkot saya diturunkan pas dekat Kantor Cabang BRI Rangkasbitung karena jalan yang menuju alun-alun itu ditutup untuk car free day. Dari lokasi diturunkan oleh sopir angkot itu, saya mulai berjalan kaki menuju alun-alun. Dalam perjalanan itu, saya menjumpai bangunan lawas berupa bangunan sekolah yang bernama SDN 1 Rangkasbitung Barat.

SDN ini terletak di Jalan H.M. Iko Djatmiko No. 4 Kelurahan Rangkasbitung Barat, Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Lokasi sekolah ini berada di sebelah timur Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lebak, atau berdampingan dengan TK PGRI Rangkasbitung.
SDN 1 Rangkasbitung Barat merupakan salah satu sekolah tua yang ada di Rangkasbitung. Meski fasad bangunannya sudah banyak penambahan, namun tujuh gedung ruang kelas masih utuh dan digunakan hingga sekarang. Bangunan itu didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1928 dengan nama Hollandsch-Inlandsche School (HIS), atau lengkapnya Hollandsch-Inlandsche School te Rangkasbetoeng. HIS ini tumbuh seiring dengan diberlakukannya Politik Etis. Sekolah ini ada pada jenjang Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs) atau setingkat dengan pendidikan dasar sekarang. HIS termasuk Sekolah Rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda (Westerch Lager Onderwijs), dan lama belajarnya adalah tujuh tahun. Yang bisa bersekolah di HIS ini dulunya adalah kalangan priyayi yang penghasilannya sebesar 100 gulden ke atas.
Pada masa pendudukan Jepang, segala sesuatu yang berbau Belanda dihapuskan. HIS ini dibekukan dan diganti menjadi Kokumin Gakko, lengkapnya Kokumin Gakko Rangkasbetoeng.  Dalam bahasa Jepang, kokumin artinya rakyat dan gakko artinya sekolah. Jadi, kokumin gakko adalah sekolah rakyat, yang lama belajarnya 6 tahun dan bahasa pengantarnya menggunakan bahasa Indonesia, namun para murid harus menyanyikan lagu Kimigayo di sekolah.


Kokumin Gakko berlangsung sepanjang pendudukan Jepang dari Maret 1942 sampai Agustus 1945, hanya tiga setengah tahun, namun dampaknya bagi dunia pendidikan sungguh luar biasa. Dalam periode ini ‘sekat-sekat dan tembok-tembok’ sistem pendidikan Hindia Belanda yang tidak memungkinkan bagi anak biasa untuk menikmati pendidikan yang mengintrodusir demokratisasi dalam dunia pendidikan yang berlanjut dalam alam merdeka.
Setelah Indonesia merdeka, Sekolah Rakyat berubah menjadi Sekolah Dasar (SD) pada tanggal 13 Maret 1946. Dengan demikian, semenjak itu Sekolah Rakyat Rangkasbitung pun berganti nama menjadi SD Rangkasbitung. Kemudian pada periode perang atau revolusi fisik pada tahun 1947 dan 1949, nyaris aktivitas persekolahan di Rangkasbitung terhenti lantaran banyak penduduk yang mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Setelah situasi mulai kembali normal dan aman, SD Rangkasbitung mulai beroperasi lagi, dan pada 18 November 1976 terbitlah Surat Keputusan Pendirian maupun Izin Operasional atas SD ini. Lalu, dalam perjalanannya, sekolah ini juga sempat berganti nama menjadi SDN 1 Rangkasbitung dan terakhir berubah nama menjadi SDN 1 Rangkasbitung Barat.
Dilihat dari perjalanannya, bangunan SD ini telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya berdasarkan Surat Keputusan Bupati Lebak Nomor: 004/2549/VIII/2004. Dengan demikian, bangunan SD yang berdiri di atas lahan seluas 3.740 m² ini harus tetap diperlihara dan dilestarikan, karena dilindungi oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. *** [190818]
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami