The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

GPIB Jemaat Sion Jakarta

Minggu itu udara cerah, setelah sekian hari Jakarta dirundung mendung dan terkadang turun hujan. Kondisi ini saya manfaatkan untuk berkeliling Jakarta dengan memakai motor Honda Supra X dengan plat nomor AD 6387 CS. Sempat lewat Kota Tua Jakarta, tapi karena ramai saya memilih meneruskan keliling Jakarta.
Kemudian saya menyusuri Jalan Mangga Dua. Setelah melintasi Halte Busway Pangeran Jayakarta, sepintas saya melihat bangunan tua yang berada di sisi kanan. Sehingga, saya harus belok ke kanan guna melihat dari dekat bangunan lawas tersebut. Ternyata bangunan kuno tersebut adalah GPIB Jemaat Sion, atau biasa disebut dengan Gereja Sion saja. Gereja ini terletak di Jalan Pangeran Jayakarta No. 1 RT. 09 RW. 04 Kelurahan Pinangsia, Kecamatan Tamansari, Kota Jakarta Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta. Lokasi gereja ini berada di dekat Halte Busway Pangeran Jayakarta, atau di sudut pertemuan antara Jalan Pangeran Jayakarta dan Jalan Mangga Dua.
Menurut riwayatnya, Gereja Sion ini merupakan salah satu gereja yang paling tua di Jakarta. Gereja ini dibangun pada tahun 1693 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ke-16, Willem van Outhoorn (1691-1704). Peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Pieter van Hoorn pada 19 Oktober 1693, dan pengerjaan fisik bangunan gereja ini memakan waktu sekitar dua tahun. Setelah selesai, gereja ini pun diresmikan pada Minggu, 23 Oktober 1695 dengan pemberkatan oleh Pendeta Theodorus Zas.


Pembangunan gereja ini bertujuan sebagai tempat peribadatan orang-orang Portugis yang datang dari wilayah taklukan VOC kala itu. Mereka ini dikenal dengan de Mardijkers, yaitu sebutan untuk para bekas anggota tentara Portugis dan keturunannya di Batavia yang dibebaskan dari tawanan Belanda. Mereka itu dibawa oleh VOC bersamaan dengan jatuhnya wilayah kekuasaan Portugis di India, Malaka, Sri Langka, dan Maluku. Setelah beralih dari Katolik menjadi Protestan, mereka dibangunkan gereja. Salah satunya gereja Sion ini, yang pada peresmiannya diberi nama resmi, De Portugeesche Buitenkerk. Nama ini berasal dari bahasa Belanda, yang artinya gereja Portugis di luar.
Dulu, pada saat gereja ini dibangun, suasana Batavia masih merupakan kota di dalam kastil atau benteng. Sedangkan, lokasi dibangunnya gereja ini berada di luar benteng tersebut, makanya dinamakan gereja Portugis di luar.
Pada waktu terjadi invansi Jepang atas Hindia Belanda, bala tentara Jepang yang dikenal dengan Dai Nippon, menjadikan gereja ini sebagai tempat menyimpan abu tentara yang gugur. Setelah Indonesia merdeka, De Portugeesche Buitenkerk diganti namanya menjadi Gereja Portugis. Artinya, gereja yang diperuntukkan untuk jemaat yang berasal dari orang-orang Portugis maupun keturunannya yang bermula dari keberadaan de Mardijkers.
Pada masa peralihan ini, gereja ini resmi bergabung dengan denominasi GPIB (Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat) sejak 1957. Pada sidang Sinode GPIB tahun 1957, Gereja Portugis diputuskan untuk berganti nama menjadi GPIB Jemaat Sion. Sion berasal dari nama sebuah bukit yang berada di daerah Yerusalem, dan diyakini oleh bangsa Israel kuno sebagai lambang keselamatan.
Bangunan gereja Sion ini berbentuk persegi empat dengan luas 768 m² di mana panjangnya adalah 32  m dan lebarnya adalah 24 m, yang berdiri di atas lahan seluas 6.725 m². Luas bangunan tersebut mampu menampung jemaatnya hingga 1.000 orang. Konstruksi ini bangunan gereja ini menggunakan hasil rancangan dari E. Ewout Verhagen dari Rotterdam, dengan pondasi yang terdiri dari 10.000 batang kayu dolken atau balok bundar. Seluruh dindingnya terbuat dari batu bata yang direkatkan dengan campuran pasar dan gula yang tahan terhadap panas.
Dilihat dari fasadnya, bangunan gereja ini tergolong sederhana. Seperti kubus dengan atap menyerupai limasan. Sedangkan, di dalamnya menyerupai bangsal (hall church). Sebagian besar bangunan dan interior tidak berubah sejak gereja ini didirikan. Namun demikian, gereja ini pernah mengalami pemugaran pada tahun 1920 dan 1978. Termasuk penyempitan halaman gereja, karena adanya pelebaran Jalan Pangeran Jayakarta.
Gereja ini telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya (BCB) melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 0128/M/1988 tanggal 27 Februari 1988 dan Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta Nomor Cb 11/I/12/1972 tanggal 10 Januari 1972, bersamaan dengan penetapan Gereja Immanuel sebagai BCB. *** [240416]

Kepustakaan:
Brosur Gratis Warisan Budaya di Jakarta yang dipublikasikan oleh Dinas Pariwisata dan Budaya Provinsi DKI Jakarta, 2015
http://news.liputan6.com/read/473268/mengenal-lebih-dekat-gereja-portugis-di-jakarta
https://web.facebook.com/permalink.php?id=660910340628152&story_fbid=694132657305920&_rdr
Share:

Pantjoran Tea House Jakarta

Pada zaman dulu, sekitar tahun 1920-1930-an, Jalan Pancoran dikenal sebagai kawasan toko obat Tiongkok. Banyak orang Tionghoa yang mengais rezeki melalui berdagang obat khas Tiongkok tersebut, sehingga sepanjang Jalan Pancoran terlihat deretan toko penjual obat Tiongkok.
Maka tak mengherankan bila pada waktu itu, Pancoran dikenal sebagai sentra toko obat Tiongkok yang paling lengkap di Indonesia. Ada beberapa toko obat Tiongkok yang cukup eksis kala itu, yaitu Tay Seng Ho, Si Nei, Hau Hau, Bang Seng, dan Apotek Chung Hwa. Meskipun, berdirinya paling akhir dari keempat toko obat yang lainnya, yaitu pada tahun 1928, namun karena letak Apotek Chung Hwa dan bentuk bangunannya yang khas, menjadikan Apotek Chung Hwa ini cukup dikenal bagi masyarakat Jakarta tempo doeloe.
Kekhasan bangunannya yang terletak di sudut jalan ini, menjadikan bangunan lawas bekas Apotek Chung Hwa menjadi salah landmark yang terdapat kawasan Glodok dan Kota Tua Jakarta. Hal ini yang menginspirasi PT JOTRC (Jakarta Old Town Revitalization Corporation) yang berkerjasama dengan Pemprov DKI Jakarta untuk memasukkan Apotek Chung Hwa sebagai salah satu bangunan yang direvitalisasi.
Pemugaran bangunan bekas Apotek Chung Hwa memakan waktu sekitar 8,5 bulan, dan selesai pada 15 Desember 2015. Gedung yang awalnya memiliki luas bangunan 400 m² itu, kini hanya tersisa sekitar 218 m². Luas bangunan ini berkurang, karena terpotong proyek pelebaran jalan di kawasan Glodok.


Sekarang gedung tersebut telah utuh kembali, berdinding warna krem dan didesain dengan hiasan jendela kaca memanjang mengelilingi bagian luarnya. Bohlam-bohlam lampu bercahaya kuning temaram menggantung menghiasi ruangan. Kendati sudah purna pugar dan siap dihuni lagi, namun bangunan tua ini tidak akan dimanfaatkan kembali sebagai toko obat atau apotek lagi, melainkan difungsikan sebagai Pantjoran Tea House. Kedai teh ini terletak di Jalan Pancoran No. 6 Kelurahan Glodok, Kecamatan Taman Sari, Kota Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta. Lokasi kedai teh ini berada di sebelah utara Pasar Glodok/Eks Harco, atau berada di persimpangan Jalan Pancoran dan Jalan Pintu Besar Selatan.
Pantjoran Tea House adalah sebuah kedai teh bernuansa Tiongkok. Interiornya pun dibuat dengan unsur Tiongkok yang kuat. Terlihat dari pemilihan ornamen kisi-kisi dan pintu bergaya Tiongkok dan lantai keramik dengan gaya serupa. Desain ini memang dipilih dalam merevitalisasi bangunan tua ini, untuk mempertahankan budaya Tiongkok yang identik dengan China Town sebagai bagian dari Kota Tua Jakarta.
Selain itu, pengalihfungsian menjadi kedai teh ini tidak serta merta tanpa alasan yang mendasar. Dalam sejarahnya, Apotek Chung Hwa berdiri di daerah Patekoan Glodok. Kata Patekoan, berasal dari bahasa Tiongkok, yang terdiri dari Pa dan Tekoan. Pa artinya delapan, dan tekoan berarti teko. Jadi, Patekoan bermakna Delapan Teko.
Kisahnya bermula dari seorang Kapitein der Chineezen bernama Gan Jie yang gemar menyediakan delapan teko berisi teh di depan rumahnya. Tujuannya memberikan teh gratis untuk orang-orang yang singgah di depan rumahnya, sembari berteduh selepas berdagang keliling atau hanya kelelahan berjalan. Di depan rumahnya, Gan Jie memasang meja-meja kecil. Setiap pagi dan sore ia menyediakan cangkir-cangkir berisi air teh di atas mejanya.
Gan Jie menyediakan delapan teko ini untuk isi ulang bila teko yang satu sudah habis, orang lain yang mau minum masih bisa kebagian. Sehingga, air teh yang disediakan oleh Gan Jie dalam delapan teko ini mampu mencukupi keperluan warga yang melintas di depan rumahnya. Perbuatan mulia Gan Jie ini pun akhirnya dikenal oleh warga, dan persediaan air teh pun akhirnya menjadi suatu ciri untuk memudahkan warga mencari lokasi rumah Kapiten Tionghoa itu. Warga pada umumnya mengatakan, di mana ada teh-teh itu di situlah tempat tinggal Gan Jie.
Kisah inilah yang mengilhami kedai teh tersebut. Kota Tua Jakarta yang diwarnai suasana Pecinan, di mana banyak etnis Tionghoa tinggal, tentu akrab dengan tradisi minum khas negeri Tirai Bambu. Teh menjadi minuman yang populer di tengah-tengah keluarga Tionghoa, karena bukan sekadar rasanya tetapi juga kualitas teh tersebut bagi kesehatan.
Sesuai namanya, Pantjoran Tea House ini diusung menjadi brand kedai teh yang ada di kawasan Glodok, yang dulunya merupakan pintu gerbang menuju Kota Tua Jakarta. Teh, memang menjadi menu unggulan yang terdapat di kedai teh ini, di samping menu makanan yang lainnya, seperti nasi goreng, mie goreng, bakso tahu kuah, bubur ayam, dan aneka masakan lainnya.
Kedai teh ini juga tak mau kalah dengan museum pada umumnya. Di kedai tersebut, pengunjung kedai teh tersebut bisa menikmati secangkir teh khas Tiongkok sambil membaca documentary story board ala museum. Ada dua story board di situ, yaitu Timeline Sejarah Teh: Kelahiran di Cina dan Kebudayaan Teh Jepang. Teguk mantapnya, dan dapatkan sejarahnya! *** [240416]

Share:

Stasiun Kereta Api Jatinegara

Stasiun Kereta Api Pasar Jatinegara (JNG) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Jatinegara, merupakan salah satu stasiun kereta api yang berada di bawah manajemen PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 1 Jakarta yang berada pada ketinggian +16 m di atas permukaan laut, dan merupakan stasiun yang cukup besar.
Stasiun ini terletak di Jalan Raya Bekasi Barat No. 1 RT. 13 RW. 16 Kelurahan Pisangan Baru, Kecamatan Matraman, Kota Jakarta Timur, Provinsi DKI Jakarta. Lokasi stasiun ini terletak di depan Pasar Batu Mulia Jakarta, atau yang dikenal dengan Jakarta Gems Center.
Keberadaan Stasiun Jatinegara tidak terlepas dari adanya pembangunan jalur kereta api dari Jakarta Kota-Bekasi lewat Pasar Senen sepanjang 27 kilometer oleh Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschappij (BOS) pada tahun 1887, dan kemudian dilanjutkan ke Kedunggedeh yang selesai pada 1891 serta diteruskan lagi hingga ke Karawang.
Pada saat membangun jalur Kedunggedeh-Karawang, Maskapai BOS mengalami kesulitan keuangan sehingga tidak mampu meneruskan jalur tersebut, dan tidak bisa merawat jalur yang sudah ada. Akhirnya, jalur bekas milik Maskapai BOS ini dibeli oleh Pemerintah Hindia Belanda pada Agustus 1898, dan pengelolaannya diserahkan kepada Staatsspoorwegen (perusahaan kereta api milik Pemerintah Hindia Belanda). Kemudian Staatsspoorwegen (SS) melanjutkan pembangunan jalur Kedunggedeh-Karawang sepanjang 6 kilometer pada 1898. Dari Kerawang, SS meneruskan pembangunan jalur rel ke Cikampek hingga Purwakarta sepanjang 41 kilometer pada 1902. Tak hanya itu, SS juga membangun jalur rel Cikampek-Cirebon sepanjang 137 kilometer pada 1912, yang pada akhirnya terkoneksi dengan jalur kereta api dari Jawa Tengah.


Awalnya, bangunan Stasiun Jatinegara ini masihlah sederhana pada saat dibangun oleh Maskapai BOS. Wilayah Jatinegara dulunya masih bernama Meester Cornelis. Nama Meester Cornelis mengacu kepada seorang bernama Cornelis Senen, seorang pria kaya asal Pulau Lontor, Banda, Maluku yang bermukim di Batavia sejak tahun 1621. Di Batavia, Cornelis Senen menjadi guru agama Kristen, membuka sekolah dan memimpin ibadat agama Kristen serta menyampaikan khotbah dalam bahasa Melayu dan Portugis. Jabatannya sebagai guru itulah yang membuat ia mendapat sebutan “Meester” atau “Tuan Guru.”
Pada waktu itu, Cornelis Senen berkeinginan sekali menjadi pendeta, niat itu ditolak oleh Belanda karena tidak memenuhi syarat. Meski demikian, Belanda tetap mengizinkan Cornelis Senen menjadi guru agama Kristen, dan sekaligus diberi wilayah berupa hutan di tepi Ciliwung untuk ditempati dan sekalgus digarapnya. Tanah luas penuh pepohonan itulah yang kemudian dikenal dengan nama Meester Cornelis.
Seiring perjalanan waktu, daerah Meester Cornelis semakin berkembang dan kian menjadi ramai sekitar tahun 1905. Banyak orang Tionghoa yang juga berdatangan ke daerah itu untuk mengadu nasib, dan orang Belanda yang bermukim di situ. Seiring itu pula, banyak bangunan fasilitas publik dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda pada periode tersebut. Termasuk SS akhirnya juga berencana melakukan rancang bangun stasiun lama yang sudah dibuat oleh Maskapai BOS menjadi stasiun yang lebih besar untuk mengantisipasi perkembangan pesat di wilayah Meester Cornelis. Pembangunan stasiun tersebut kemudian dikerjakan pada tahun 1910, dan desain arsitekturnya dirancang oleh Ir. S. Snuyf dari Departement van Burgelijke Openbare Werken (BOW). Stasiun ini dirancang sebagai stasiun penghubung yang penting sebagai rangkaian yang baru ke stasiun Weltevreden dan jalur yang ada ke Tanjung Priok melalui Stasiun Pasar Senen.
Dalam perjalanannya stasiun ini pernah beberapa kali berganti nama. Pada waktu jalur ini masih dikelola oleh Maskapai BOS, stasiun ini dikenal dengan Stasiun BOS. Kemudian setelah diambil alih oleh SS, nama stasiun ini berubah menjadi Stasiun Staatsspoorwegen. Lalu, setelah dibangun kembali dan diperluas, stasiun ini menjadi Stasiun Meester Cornelis. Dan, setelah Jepang menduduki Jakarta, stasiun ini diganti oleh Jepang menjadi Stasiun Jatinegara sampai saat ini. Hal ini mengikuti perubahan nama dari Meester Cornelis menjadi Jatinegara yang dilakukan oleh Jepang, karena Jepang tidak suka dengan nama-nama yang masih berbau Belanda.
Dilihat dari fasade bangunan stasiun ini, tampak seperti gaya peralihan antara Indische Empire dengan gaya kolonial modern. Tampak depan tidak simetris, namun terlihat adanya penekanan bagian tengah sebagai focal point melalui ukuran ruang dan ketinggian bangunan yang lebih menonjol. Di bagian atas puncak atapnya terdapat kubah kecil (louvre), sedangkan di bagian muka atap terdapat semacam domer tapi membentuk gevel kecil.
Memasuki bangunan stasiun dari pintu utama, akan menjumpai hall yang tinggi langit-langitnya. Sehingga memungkinan adanya jendela atap (clerestory), yang berfungsi untuk memasukkan cahaya matahari. Di hall tersebut ada beberapa loket untuk penjualan karcis. Dulu, sewaktu stasiun ini masih digunakan untuk pemberangkatan kereta api ke Jawa Tengah maupun Jawa Timur, pemandangan di loket selalu berjubel. Tapi semenjak digunakan untuk stasiun commuter line, sudah tidak berjubel lagi namun masih menunjukkan keramaian juga.
Stasiun ini juga memiliki beberapa jalur aktif sebanyak 5 jalur. Hal ini dikarenakan Stasiun Jatinegara merupakan jalur penghubung antara Stasiun Manggarai, Stasiun Pasar Senen, dan Stasiun Bekasi. Bagian peronnya telah ditinggikan dengan atap tambahan berbentuk sayap.
Stasiun Jatinegara ini telah ditetapkan sebagai daftar tinggalan sejarah yang telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya (BCB) yang dilindungi UU RI Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 011/M/1999 tanggal 12 Januari 1999. *** [240416]

Share:

Museum Sumpah Pemuda Jakarta

Seiring dengan tumbuhnya sekolah-sekolah pada awal abad ke-20, di Jakarta tumbuh pula pondokan pelajar untuk menampung mereka yang tidak tertampung di asrama sekolah atau bagi mereka yang ingin hidup lebih bebas di luar asrama yang ketat. Salah satu di antara pondokan pelajar (Commensalen Huis) di Jakarta adalah rumah milik Sie Kong Liong, yang terletak di Jalan Kramat Raya No. 106. Karena rumahnya besar dan berhalaman luas, maka rumah pondokan ini sering dikenal dengan sebutan Gedung Kramat 106.
Pada tahun 1920-an, Gedung Kramat 106 termasuk wilayah Weltevreden (bagian dari Batavia). Jalan di muka gedung saat itu sudah ramai dengan lalu lintas kendaraan mobil dan trem listrik yang menghubungkan daerah Senen dan Meester Cornelis (sekarang Jatinegara).


Selain sebagai tempat tinggal, gedung tersebut digunakan sebagai tempat latihan kesenian “Langen Siswo” dan diskusi politik. Setelah Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI) didirikan pada bulan September 1926, Gedung Kramat 106 dijadikan kantor PPPI dan kantor redaksi majalah PPPI, Indonesia Raja. Berbagai organisasi pemuda sering menggunakan tempat ini sebagai tempat berkumpul. Karena sering dijadikan tempat pertemuan para tokoh pemuda Indonesia, sejak tahun 1928 gedung ini diberi nama Indonesische Clubgebouw (Gedung Pertemuan Indonesia). Tokoh-tokoh yang pernah tinggal di gedung tersebut antara lain adalah Mohamad Yamin, Abu Hanifah, Amir Sjarifudin, A.K. Gani Setiawan, Soerjadi, Mangaraja Pintor, dan Assaat.
Pada tahun 1928 pula Gedung Kramat 106 dijadikan salah satu tempat penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua pada tanggal 27-28 Oktober 1928. Gedung ini dijadikan pusat pergerakan mahasiswa sampai tahun 1934.


Sejak tahun 1934-1970 Gedung Kramat 106 mengalami beberapa kali alih fungsi, antara lain sebagai rumah tinggal, toko bunga, hotel, dan perkantoran. Gedung yang sangat penting artinya bagi bangsa Indonesia ini kemudian dijadikan museum oleh Pemerintah DKI Jakarta dengan nama Gedung Sumpah Pemuda pada tahun 1973, kemudian diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1974. Pada 16 Agustus 1979, pengelolaan Gedung Sumpah Pemuda diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan keluarnya Surat Keputusan (SK) Mendikbud No. 029/O/1983 tanggal 7 Februari 1983, Gedung Sumpah Pemuda dijadikan UPT di lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan dengan nama Museum Sumpah Pemuda (Youth Declaration Museum).
Pada tahun 2013, bangunan utama Gedung Museum Sumpah Pemuda ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB) Peringkat Nasional, melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 254/M/2013 tanggal 27 Desember 2013.
Museum Sumpah Pemuda ini memiliki sejumlah koleksi yang berkaitan dengan gerakan pemuda-pemudi dalam menyongsong tercetusnya Sumpah Pemuda. Seperti pada museum yang lainnya, Museum Sumpah Pemuda ini juga mempunyai ruang pamer yang berada di bangunan utama gedung tersebut. Ruang pamer tersebut menempati kamar-kamar yang terdapat di gedung tersebut. Namun pada kunjungan saya ini, hanya bisa menyaksikan empat ruangan saja karena sebagian ruangan yang lainnya sedang direnovasi untuk tata letaknya.

Ruang Tamu
Ruang ini berada di bagian depan ketika pengunjung mulai masuk pintu utama. Ruang ini dulunya merupakan ruang tamu, atau ruang untuk berdiskusi para pemuda yang mondok di rumah tersebut.
Koleksi yang dipamerkan berupa diorama suasana diskusi pemuda pada saat itu, dan sejumlah story board yang menerangkan sejarah pemondokan ini.

Ruang Perenungan
Sesuai namanya, ruangan ini diperuntukkan untuk melahirkan pemikiran yang cemerlang ke arah persatuan para pemuda Indonesia, atau semangat Indonesia.
Pada ruang ini ditampilkan diorama yang mengetengahkan seorang pemuda dengan serius yang sedang memantau berita dari radio untuk mengetahui perkembangan yang ada. Selain itu juga dipasang sejumlah story board sebagai pendukungnya.

Ruang Indonesia Raya
Ruang pamer ini berisi biola dan piringan hitam yang berisi lagu Indonesia Raya yang berhasil membangkit semangat juang para pemuda Indonesia.
Story board yang dipampang di dinding ini menjelaskan biografi Wage Rudolf Supratman, deskripsi biola, hingga sejarah lagu Indonesia Raya (History of the Song Indonesia Raya).

Ruang Indonesia Muda dan Perhimpunan Pelajar Indonesia
Pada ruangan ini terdapat diorama seorang pumuda yang bersama temannya sedang membaca koran Benih Merdeka, dan dilengkapi dengan story board mengenai Indonesia Muda dan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia.
Di ruangan ini, pengunjung akan tahu bagaimana kiprah-kiprah mereka yang berdatangan dari pelbagai daerah di Indonesia dan bertemu di Jakarta.

Ruang Kepanduan
Ruang ini berada di belakang bangunan utama, menempati sebuah bangunan serambi belakang yang menghadap ke arah selatan.
Di dalam ruangan ini terdapat diorama seragam kepanduan dengan sepeda onthel, dan dilengkapi dengan story board perihal kepanduan yang cukup lengkap.

Setelah selesai di Ruang Kepanduan, pengunjung bisa menyaksikan Monumen Persatuan Pemuda 1928 di halaman belakang, berupa tangan mengepal berwarna hitam, dan di bawahnya terdapat bait-bait kata yang ada pada Sumpah Pemuda.
Mengunjungi Museum Sumpah Pemuda ini memberi kenangan tersendiri bagi para pengunjung. Selain, bisa menikmati koleksi-koleksi yang berhubungan dengan Sumpah Pemuda, pengunjung juga bisa menyaksikan bangunan kuno bergaya Indische Empire yang masih megah dan kokoh. Sehingga, bila dirangkai keduanya, pengunjung terasa diajak berjalan ke masa lampau yang penuh sejarah ini. Dan sekarang, Museum Sumpah Pemuda ini terletak di Jalan Kramat Raya No. 106 Kelurahan Kwitang, Kecamatan Senen, Kota Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta. Lokasi museum ini berada di depan Hotel Amaris Kramat Raya. *** [210416]
Share:

GPIB Jemaat Koinonia Jakarta

Pada zaman dulu, orang-orang tua di Jakarta mengenal Jatinegara dengan sebutan Meester Cornelis. Sebutan ini diambil dari nama seorang kaya dari Pulau Lontar, Banda, Maluku, yang bernama Cornelis Senen. Ia adalah orang pribumi. Setelah tempat asal kelahirannya Banda dihancurkan oleh Coen maka ia pindah ke Batavia. Selama berada di Batavia ia menjadi guru Injil di sana, melayani jemaat-jemaat yang berbahasa Melayu dan Portugis. Mengingat tugasnya yang begitu mulia maka ia kemudian hari diangkat menjadi pendeta. Walaupun setelah mengalami ujian dihadapan pendeta-pendeta dari Barat dan dinyatakan tidak lulus akan tetapi ia tetap bekerja dengan setia sampai akhir hayatnya untuk melayani umat.
Pada waktu itu, wilayah Meester Cornelis masih berupa hutan-hutan yang subur. Hal ini wajar, karena wilayah ini dilalui oleh sungai Ciliwung yang memberikan banyak manfaat bagi keadaan alam di sana. Setelah Cornelis Senen berada di Batavia, ia diberi kekuasaan penuh oleh Belanda untuk mengelola dan memberdayakan wilayah kekuasaannya. Wujud pemberdayaan wilayah tersebut selama di tangan Cornelis Senen adalah dengan memanfaatkan dan mengelola hutan-hutan yang ada, kemudian membuka lahan-lahan perkebunan di wilayah itu. Hal ini dilakukan dengan mempekerjakan penduduk sekitar, yang kemudian penduduk diharuskan menyerahkan sebagian hasilnya kepada Cornelis Senen. Kebijakan yang dilakukan oleh Cornelis Senen dalam memberdayakan wilayah tersebut lebih banyak menguntungkan penduduk sekitar, sehingga mereka dengan senang hati bekerja pada Cornelis Senen. Hal itulah yang menyebabkan wilayah tersebut berkembang pesat walaupun termasuk daerah pinggiran pusat kota Batavia. Kemudian sepeninggal Cornelis Senen, namanya diabadikan sebagai nama wilayah yang termasuk daerah penguasaannya. Sebutan Meester oleh orang biasa tersebut, sebagai bentuk penghargaan tertinggi penduduk sekitar terhadap orang yang berjasa dalam membangun wilayah tersebut menjadi wilayah pinggiran kota Batavia yang maju dan berkembang. Maka, daerah tersebut akhirnya dikenal oleh penduduk sekitar dengan sebutan Meester Cornelis.
Nama Jatinegara baru muncul pada tahun 1942, ketika pasukan Jepang menduduki Hindia Belanda. Nama Meester yang terlalu berbau Belanda mulai dihapus dan diganti menjadi Jatinegara. Sejak itulah, baru nama Meester Cornelis perlahan menghilang dari telinga orang-orang tua, dan telinga mereka menjadi akrab dengan Jatinegara sampai sekarang.


Bentuk kemajuan dan perkembangan yang tampak di wilayah Meester Cornelis (sekarang menjadi Jatinegara) adalah terdapatnya beberapa fasilitas umum yang digunakan sebagai sarana pendukung bagi kegiatan dan aktivitas masyarakat di sekitar wilayah tersebut. Sarana pendukung yang ada untuk kegiatan dan aktivitas masyarakat saat itu, antara lain stasiun kereta api dan jalur trem (kendaraan khusus yang mengenakan rel, hanya saja jalurnya bercampur dengan kendaraan biasa) yang digunakan sebagai sarana trasportasi saat itu, pasar pada saat itu difungsikan sebagai tempat melakukan aktivitas jual beli, dan gereja yang difungsikan sebagai tempat melakukan peribadatan jemaat Kristiani pada saat itu.
Salah satu bangunan gereja yang masih berdiri kokoh dan megah di wilayah Jatinegara saat ini adalah Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Koinonia. GPIB ini terletak di Jalan Matraman Raya No. 216 Kelurahan Bali Mester, Kecamatan Jatinegara, Kota Jakarta Timur, Provinsi DKI Jakarta. Lokasi Lokasi GPIB ini berada di penghujung Jalan Matraman yang kemudian terbelah menjadi dua jalan, yaitu Jalan Mataram dan Jalan Jatinegara Barat, tak jauh dari Halte Busway Kebon Pala.
Menurut sejarahnya, GPIB Koinonia ini dibangun pada 28 Maret 1889 dengan bentuk yang masih cukup sederhana. Kemudian direnovasi pada tahun 1911-1916 atas sumbangsih dari Keuchenius. Seperti disebutkan A. Heuken dalam bukunya, Gereja-Gereja Tua di Jakarta (Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2003), sekitar awal 1900-an seorang pendeta ultra liberal menyampaikan kotbah di Willemsker (sekarang Gereja Immanuel di kawasan Jalan Merdeka Timur, Gambir, Jakarta Pusat) yang membuat marah seorang bernama Keuchenius. Dia adalah mantan Ketua Mahkamah Tinggi di Batavia.
Keuchenius akhirnya tidak mau datang lagi ke Willemskerk, dan dia menyumbang dana cukup besar untuk membangun rumah peribadatan di kawasan Meester Cornelis. Maka berdirilah sebuah gereja yang diberi nama Bethelkerk in Meester Cornelis te Batavia, atau yang biasa disingkat menjadi Gereja Bethel. Bethel berarti Bait Allah atau Rumah Allah.
Pada 1948, Gereja Bethel ini masuk dalam tata kelola Indische Kerk, yaitu Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB). GPIB didirikan pada 31 Oktober 1948, yang pada waktu itu masih menggunakan bahasa Belanda, De Protestantse Kerk in Westelijke Indonesie, berdasarkan Tata Gereja dan Peraturan Gereja yang dipersembahkan oleh proto Sinode kepada Badan Pekerja Am (Algemene Moderamen) Gereja Protestan Indonesia. Sejak itu, nama Gereja Bethel pun kemudian diganti menjadi GPIB Bethel Jemaat Djatinegara.
Pada 1 Januari 1961, nama gereja ini berganti lagi menjadi GPIB Jemaat Koinonia, dan sampai sekarang nama tersebut masih digunakan. Nama Koinonia ini diambil dari bahasa Ibrani, yang berarti Persekutuan. Berubahnya nama menjadi GPIB Jemaat Koinonia ini terjadi sejak adanya otonomi terhadap gereja-gereja. Perubahan nama menjadi GPIB Jemaat Koinonia bertujuan untuk memperluas wilayah pelayanan gereja terhadap jemaatnya. Dengan pelayanan yang semakin luas cakupannya maka wilayah-wilayah tersebut nantinya akan menjadi bakal jemaat yang akan dilayani dan dibina agar menjadi jemaat yang berdiri sendiri.
GPIB Jemaat Koinonia ini memiliki desain dan bentuk yang sederhana serta tidak rumit. Bentuk dan denah bangunan memiliki pola simetris. Bangunannya mempunyai tiga lantai. Lantai pertama merupakan tempat ruang utama berada, dan pada lantai kedua merupakan tempat menampung jemaat apabila lantai pertama atau ruang utama tidak bisa menampung jemaat lagi. Selain itu, fungsi lain dari lantai kedua ini adalah sebagai tempat untuk paduan suara jika hari ibadah tiba atau hari-hari besar datang. Sedangkan, lantai ketiga dari gereja ini merupakan ruang doa, tempat ini merupakan tempat khusus, dan tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam ruang ini tanpa izin dari pengelola gereja tersebut.
Gereja ini memiliki empat anak tangga yang berada di setiap sudut bangunan. Keempat anak tangga ini menjadi penghubung tiap lantainya. Dua buah anak tangga yang berada di sisi depan bangunan merupakan penghubung antara lantai satu dengan lantai kedua, sedangkan dua buah anak tangga yang berada di belakang bangunan gereja merupakan penghubung antara lantai pertama dengan lantai ketiga. Empat lokasi anak tangga yang berada di setiap sudut bangunan gereja membuatnya terlihat seperti empat buah menara yang mengapit bangunan utama apabila terlihat dari luar bangunan. Bagian dalamnya berbentuk salib simetri, yang menjadi letak jemaat berdoa pada waktu diadakan misa.
Gereja tiga laintai ini ini masuk dalam kategori benda cagar budaya (BCB) pada 30 September 1997. Sedangkan, pengajuan untuk menjadi bangunan BCB dilakukan pada Februari 1992 berdasarkan surat dari Dinas Tata Bangunan dan Pemugaran Pemerintah DKI Jakarta tentang permohonan untuk pelestarian bangunan GPIB Jemaat Koinonia, yang ditandatangani oleh Pendeta Iswiadji.
Bangunan gereja ini akhirnya memperoleh plakat sebagai bangunan sadar pelestarian budaya untuk pemeliharaan dan pemugaraan lingkungan dan BCB di Provinsi DKI Jakarta pada 2005, yang disahkan oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, bangunan gereja ini juga menjadi salah satu dari 60 bangunan terpilih yang menjadi bangunan penting dalam sejarah perkembangan kota Jakarta. Keaslian bangunan GPIB Jemaat Koinonia yang masih terawat sampai saat ini, memperlihatkan bahwa bangunan ini merupakan salah satu aset sejarah perkembangan kota Jakarta. *** [210416]

Kepustakaan:
A. Heuken. 2003. Gereja-Gereja Tua di Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka
Rinno Widianto, 2009. Gereja Koinonia, Meester Cornelis Jatinegara: Gaya dan Ragam Hias, dalam Skripsi di FIB UI, Depok
https://id.wikipedia.org/wiki/Jatinegara,_Jakarta_Timur
http://jakartapedia.bpadjakarta.net/index.php/Gereja_Koinonia
Share:

Daftar Bangunan Kuno di Padang

Berikut ini adalah daftar dari bangunan kuno atau peninggalan sejarah lainnya yang terdapat di Padang:

Gedung BI ini terletak di Jalan Batang Arau No. 60 Kelurahan Berok Nipah, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat

Museum ini terletak di Jalan Diponegoro No. 10 Kelurahan Belakang Tangsi, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat
Share:

Gedung Bank Indonesia Lama Padang

Bila Anda sedang bepergian ke Padang, sempatkanlah berjalan-jalan menyusuri kawasan Muaro. Kawasan ini bernuansa pelabuhan, panas tapi bisa bernostalgia dengan beberapa bangunan kuno yang ada di situ. Salah satunya adalah Gedung Bank Indonesia (BI) Lama. Gedung BI ini terletak di Jalan Batang Arau No. 60 Kelurahan Berok Nipah, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat. Lokasi gedung ini berada dekat dengan Jembatan Siti Nurabaya.
Awalnya, gedung BI ini merupakan Kantor De Javasche Bank (DJB) Padang, atau dalam bahasa Belandanya De Javasche Bank Agentschap Padang. DJB Agentschap Padang merupakan kantor cabang DJB yang ke-3 setelah kantor cabang Semarang dan Surabaya, serta merupakan kantor cabang yang pertama di luar Pulau Jawa.
Semula, gedung BI ini tidak ada di sini, tapi berada di Lingkungan Nipalaan Verpanding No. 1140. Gedung sementara tersebut menempati bekas gedung pemerintah yang dikosongkan atas kehendak Gubernur Sumatera Barat, dan mulai beroperasi pada 29 Agustus 1864 dengan direktur pertamanya bernama A.W. Verkouteren. Pembukaan gedung BI yang pertama di Padang ini terwujud karena adanya permohonan dari Kamer van Koophandel en Nijverheid (Kamar Dagang dan Industri) Kota Padang kepada Pemerintah Pusat dan Direktur DJB di Batavia.


Kemudian pada 16 Desember 1865, barulah DJB Agentschap Padang mulai menggunakan gedung sendiri yang terletak di Lingkungan Grevelaan (sekarang Jalan Batang Arau No. 60 Padang). Dinamakan Grevelaan, karena dulu jalan di depan gedung DJB ini ada sebuah monumen kecil yang dibangun untuk mengenang Ir. Willem Hendrik de Greve, seorang ahli tambang Belanda yang mati hanyut ketika melakukan penelitian di Batang Kuantan pada tahun 1872. Areal tempat gedung DJB ini dibangun dulu memang bagian kawasan Taman De Greve. Sedangkan, dermaga di Pelabuhan Muaro yang tak jauh dari taman ini diberi nama De Grevekade (Dermaga Greve).
Seiring Padang berkembang menjadi kota perdagangan dan militer di pesisir Barat Sumetera antara abad ke-18 sampai abad ke-19, menjadikan Padang sebagai pintu utama perdagangan dan keuangan di Sumatera pada saat itu. Kondisi ini yang menyebabkan direksi DJB memutuskan untuk memperbarui gedung yang lama dengan gedung yang lebih modern pada tahun 1912. Karena terganjal perizinan, mengingat daerah tersebut direncanakan menjadi areal pelabuhan, maka baru bisa direalisasikan pembangunannya pada 31 Maret 1921.
Pembangunan gedung BI di kawasan Muaro melibatkan biro arsitek ternama dari Batavia, NV Architecten-Ingenieursbureau Fermont te Weltevreden en Ed Cuypers te Amsterdam, atau biasa disingkat menjadi Biro Fermont-Cupers. Pada tahun tersebut, nama Hulswit sudah tidak dicantumkan lagi pada nama biro tersebut karena Hulswit sudah meninggal. Biro ini mengerjakan mulai dari desain gedung sampai kepada pelaksanaan fisik gedungnya. Gedung ini rampung, dan mulai difungsikan pada tahun 1925. Kemudian Gubernur DJB di Padang kala itu dijabat oleh Mr. L.J.A. Trip.
Bangunan DJB Padang ini memiliki kemiripan desainnya dengan DJB Kediri. Gedung ini bergaya arsitektur modern yang telah disesuaikan dengan iklim tropis di Indonesia, ciri yang menonjol adalah bagian atapnya menyerupai atap masjid. Atap berbentuk limasan dengan bagian puncaknya berbentuk kubah. Atapnya terbuat dari genteng. Pintu masuk berada di tengah yang menghadap ke timur. Sekeliling dinding bangunan terdapat jendela kaca yang diberik jeruji besi, jendela dibuat ramping dan tinggi. Di bagian depan terdapat 9 buah jendela, di bagian samping masing-masing ada 4 buah jendela yang sama. Bangunan ini berdenah segi empat. Di bagian muka, bagian tengah agak menjorok keluar. Arsitektur bangunan ini sedikit banyak dipengaruhi juga dengan gaya bangunan joglo. Hanya saja, pintu-pintunya yang lebar dan tinggi ini mengadopsi gaya Eropa.
Pada masa pendudukan Jepang, gedung DJB pernah diambil alih dan kemudian diganti menjadi Nanpo Kaihatsu. Pada Oktober 1945, Belanda datang kembali ke Indonesia dengan membonceng tentara Sekutu. Beberapa wilayah di Indonesia berhasil dikuasai Netherlands Indies Civil Administration (NICA), termasuk di antaranya Padang. Pada 23 Oktober 1947 DJB Agentschap Padang kembali dibuka oleh NICA.
Pada 19 Juni 1951 pemerintah membentuk Panitia Nasionalisasi DJB untuk mengatur pembelian saham DJB yang diperdagangkan di Bursa Efek Amsterdam. Lalu, pada 3 Agustus 1951 pemerintah mengajukan penawaran kepada para pemilik saham DJB. Dalam waktu dua bulan, hampir seluruh saham DJB terbeli.
Akhirnya pada 1 Juli 1953, lahirlah Bank Indonesia melalui UU No. 11/1953 menggantikan DJB dan merupakan bank sentral milik Indonesia dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Dengan demikian, DJB Agentschap Padang berubah menjadi BI Cabang Padang dan gedung ini tetap digunakan sampai 2 Januari 1977. Setelah itu BI Cabang Padang pindah ke Jalan Jenderal Sudirman No. 22 Padang, karena gedung yang lama sudah tidak dapat menampung kegiatan yang ada. Bangunan kokoh dan indah ini merupakan aset yang berharga bagi sejarah perbankan di Indonesia.
Mulai tahun 2006, BI melakukan konservasi terhadap gedung Eks DJB. Ada 12 gedung kuno DJB yang mulai konservasi, yaitu Banda Aceh, Medan, Padang, Jakarta Kota, Bandung, Cirebon, Yogyakarta, Solo, Kediri, Surabaya, Malang, dan Manado. Kota Padang kebetulan terpilih sebagai kota pertama sebagai tempat pencanangan pelestarian dan pemanfaatan bangunan heritage (PPPBH) Bank Indonesia (BI). Selain dilestarikan, ke depannya gedung Eks DJB Padang ini bisa dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif kegiatan memorabilia dan museum.
Pada 2 April 2012 Kantor BI Cabang Padang berubah nama menjadi Kantor Perwakilan Wilayah VIII BI Padang dan merupakan Kantor BI kelas I yang sekaligus sebagai kantor koordinator 3 Kantor BI Pekan Baru, Jambi dan Batam. Jadi dapat dikatakan bahwa Kantor Perwakilan Wilayah VIII BI Padang merupakan perpanjangan tangan dari Kantor Pusat Jakarta, di mana tugas dan fungsinya identik dengan kantor pusatnya. *** [310815]

Kepustakaan:
Erwien Kusuma, 2014. Dari De Javasche Bank Menjadi Bank Indonesia: Fragmen Sejarah Bank Sentral di Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas
http://dokumen.tips/documents/bab-ii-bi.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Gedung_Bank_Indonesia_Lama_Padang
Share:

Rumah Makan Rawon Nguling Probolinggo

Seperti biasa, sebelum diadakan training selalu didahului dengan pilot test. Pada Performance Oversight & Monitoring Endline Survey for the Evaluation of the Education Partnership – Component 1 (School Construction) ini, saya berkesempatan mengikuti pilot test di Situbondo dan Probolinggo.
Berangkat pada 10 Agustus 2015 dari kantor Regional Economic Development (REDI) pagi menuju Bandara Juanda untuk menjemput pewakilan dari EP-POM terlebih dahulu. Kemudian dari Bandara Juanda, kami menggunakan mobil rental bermerk Toyota Innova menuju Situbondo pada siang hari. Sampai di perbatasan antara Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Probolinggo sudah menjelang malam, kami berempat pun berhenti untuk makan malam.
Lokasi makan malamnya dipilihkan oleh salah seorang di antara kami, di Rumah Makan Rawon Nguling. Rumah makan ini terletak di Jalan Raya Tambakrejo No. 75 Desa Tambakrejo, Kecamatan Tongas, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur. Lokasi rumah makan ini berada di perbatasan antara Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Probolinggo, atau tepatnya berada di timur gapura batas kabupaten.


Awalnya, rumah makan ini bermula dari warung makan sederhana, yang dirintis oleh Karyodirejo dan istrinya, Marni, pada 12 Desember 1942. Warung makan tersebut dulu diberi nama “Lumayan.” Warung makan ini menyajikan berbagai masakan ala kampung khas Jawa Timur, di antaranya lodeh, soto, rawon, dan sebagainya.
Kebetulan rawon yang dimasak oleh Karyodirejo terasa pas dilidah setiap yang mengunjungi warungnya. Lama-kelamaan, rawon buatan Karyoredjo ini semakin dikenal. Berawal dari mulut ke mulut, kelezatan rawon tersebut akhirnya mencapai lintas luar batas daerahnya. Pengunjung pun kian hari kian bertambah ramai.
Akhirnya, warung makan Lumayan tersebut berkembang pesat, dan sekarang memiliki bangunan yang besar serta megah. Nama warungnya pun berganti menjadi Rumah Makan Rawon Nguling. Hal ini didasarkan pada menu unggulan dari rumah makan ini yaitu rawon. Rawon adalah makanan berbahan dasar daging dengan kuah berwarna hitam. Menghidangkannya, dicampur nasi dan irisan daging sapi dengan sambel terasi dan tauge pendek sebagai perlengkapannya. Kehitaman rawon ini diperoleh dari bumbu utamanya, yaitu kluwek. Bumbu kuahnya sangat khas Indonesia, yaitu campuran bawang merah, bawang putih, lengkuas, ketumbar, serai, kunyit, cabe, kluwek, garam dan minyak nabati. Semua bahan ini dihaluskan, lalu ditumis sampai harum. Campuran bumbu ini kemudian dimasukkan dalam kaldu rebusan daging bersama-sama dengan daging.


Resep Rawon Nguling hasil racikan Karyodirejo bersama istrinya ini, telah diwariskan tiga generasi. Kekhasan rawonnya ini adalah irisan dagingnya lebih besar dibandingkan dengan ukuran irisan rawon di tempat lain. Namun, tetap terasa empuk. Selain itu, cita rasa Rawon Nguling terasa enak karena takaran bumbu dan cara mengolah bahan-bahannya terasa pas. Karyodirejo bersama istrinya, telah berhasil memformulasikan 14 bahan bumbunya, termasuk aneka jenis rimpang, secara tepat. Sehingga, menghasilkan kuah rawon yang lebih kental tetapi tetap segar. Rawon Nguling memang rawon dengan rasa yang luar biasa dengan berbagai pilihan, antara lain raon iga sapi, rawon buntut, rawon paru, rawon lidah, rawon limpa, dan sebagainya.
Saking legendarisnya rasa Rawon Nguling ini, maka tak heran bila tercatat Basuki Abdullah dan Maestro Affandi pernah bersantap di sini. Kemudian Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono juga pernah mencicipi rawon di rumah makan ini. Foto-foto Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pernah makan di tempat ini, sekarang menjadi pajangan utama yang ada di tembok rumah makan ini. Prestasi yang diraih oleh Rumah Makan Rawon Nguling ini mampu mewaralabakan menunya ke beberapa daerah, yaitu antara lain Jakarta, Tangerang, Surabaya, Malang, dan Pasuruan.
Di rumah makan ini, selain menu utama rawon juga menyediakan menu spesial lainnya, seperti ayam penyet komplit, buntut penyet, iga penyet, empal, gule kambing, nasi lodeh, nasi sop, nasik kare ayam kampung, nasi semur daging, nasi sayur asem, tahu tek-tek Surabaya, perkedel, telor asin hingga kerupuk udang.
Setelah selesai makam malam sambil beristirahat sejenak, perjalanan pun dilanjutkan ke Situbondo. Dari perjalanan ini, bersyukurlah saya yang diajak bersantap malam di sini. Hilang laparnya, dapat sejarahnya! *** [100815]
Share:

Hotel Trio Solo

Berpetualan ke masa lalu di Kota Surakarta, atau biasa dikenal dengan sebutan Kota Solo, bisa lewat bangunan lawas yang dimilikinya. Seperti yang ada di kawasan Pasar Gedhe Solo, banyak peninggalan bangunan kuno yang ada di situ. Mulai dari klenteng, pasar tradisional, maupun pemukiman Tionghoa. Salah satu bangunan lawas yang masih eksis adalah Hotel Trio. Hotel ini terletak di Jalan Urip Sumoharjo No. 25 Kelurahan Kepatihan Wetan, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Hotel ini terletak di sebelah utara Bank Buana, atau di depan Toko Serba Ada (Toserba) Asia Baru.
Awalnya hotel ini merupakan rumah milik Tjoa Buen Kaing, yang dibangun pada tahun 1932. Hotel Trio dulu kembar dengan bangunan yang ada di seberang jalan, namun sekarang sudah berubah menjadi Toserba Asia Baru.
Dalam artikelnya Dhian Lestari Hastuti, yang berjudul “Struktur dan Fungsi Desain Interior Rumah Peranakan Tionghoa di Surakarta Pada Awal Abad ke-20”, yang dimuat di Jurnal Volume 3 No. 2 Desember 2012 ini, memaparkan dengan jelas mengenai hotel ini. Kondisi bangunan rumah yang berfungsi hotel ini hanya tersisa di bagian rumah utama bagian depan. Semula terdiri dari dua bangunan yang terdiri dari bangunan bagian depan sebagai tempat penginapan dan bagian belakang terdapat bangunan rumah tinggal. Di antara bangunan penginapan dan rumah tinggal dipisahkan oleh courtyard. Sekarang bangunan rumah tinggal di bagian belakang sudah berganti dengan kamar-kamar hotel satu lantai dengan posisi mengapit courtyard di bagian tengah bangunan. Bangunan utama di bagian depan masih berdiri kokoh dengan kondisi baik dari sisi struktur bangunan. Terdapat enam petak lantai yang berbeda di bagian teras depan hotel karena peristiwa pemberontakan komunis di tahun 1965. Menurut Indriwati sebagai pewaris generasi ketiga dari pemilik hotel ini, enam petak lantai tersebut sebagai bukti bahwa hotel ini hampir saja dibakar karena peristiwa tersebut.
Program atau organisasi ruang rumah induk bagian depan Tjoa Buen Kaing terdiri dari dua lantai, yaitu lantai dasar dan lantai atas. Pada lantai dasar bagian teras ditopang oleh empat tiang besi berukir, kemudian menuju ke ruang depang berdinding tembok. Tiang besi berukir berjumlah empat juga ditemui di area teras belakang baik di lantai dasar maupun lantai atas.


Pola pembagian ruang rumah Tjoa Buen Kaing merupakan adaptasi dari pola pembagian rumah tradisional Jawa yang mengalami perkembangan pengaruh dari Belanda. Urutan ruang dari voorgalerij (identik dengan peringgitan), kemudian werkkamer (ruang kerja) dan slaapkamer (kamar tidur), dan achtergalerij (serambi belakang). Untuk menuju masing-masing ruang dari voorgalerij terdapat doorgang. Pada bagian depan dan belakang rumah terdapat teras terbuka yang dibatasi oleh garis imajiner antar empat tiang besi berukir.
Denah rumah Tjoa Buen Kaing berbentuk persegi panjang dengan pengaruh pola dari Belanda yang sangat kuat. Namun ada dugaan, hal ini tidak lepas dengan adanya pertimbangan Feng-Shui untuk mendapatkan energi maksimal dari kedelapan arah, sehingga rumah mendapatkan energi sangat baik. Jika ditinjau dari sisi desain interior, program ruang bersifat sangat fungsional.
Bangunan rumah Tjoa Buen Kaing menggunakan struktur dinding sepenuhnya. Pada bagian bentang teras terbuka bagian depan ditopang dengan tiang besi berukir berjumlah empat. Pada bagian dalam ruang di sisi peringgitan bagian dalam terdapat tiang Tuscan dengan bentuk lengkung di bagian tengah.
Material kayu di rumah Tjoa Buen Kaing juga berperan sebagai kusen dan daun pintu dengan tinggi 3,5 m sebagai penanda bangunan dengan pengaruh gaya Eropa. Material pintu berupa kayu berkombinasi dengan kaca. Bahan kayu juga digunakan sebagai lubang angin-angin (bofenlicht) di atas pintu, baik pintu utama maupun pintu kamar, dengan pola ukiran yang tembus. Material kayu, baik kusen maupun daun pintu dan bofenlicht menggunakan penyelesaian (finishing) berwarna kuning muda dengan aksen warna hijau. Jumlah daun pintu dan jendela masing-masing dua pasang.
Jika dilihat dari unsur warna yang diterapkan di rumah ini, maka warna kuning muda dengan aksen warna hijau terlihat mendominasi di bagian daun pintu dan jendela. Dilihat dari pemaknaan Jawa, warna kuning dan hijau pada daun pintu dan jendela memperlihatkan bahwa bangunan rumah Tjoa Buen Kaing mendapat pengaruh dari kraton. Namun jika dilihat dari pemaknaan warna dari budaya Tiongkok maka warna hijau merupakan simbol dari unsur kayu (Mu), yang melambangkan panjang umur, pertumbuhan dan keabadian. Warna kuning merupakan simbol dari unsur tanah (Tu), yang melambangkan kekuatan dan kekuasaan.
Elemen pengisi ruang yang masih tersisa di rumah Tjoa Buen Kaing adalah berupa tempat tidur besi dan meja rias bergaya Art Deco. Sedangkan, meja sembahyang untuk leluhur tidak ditemukan di rumah ini.
Sehingga, kesan menginap di hotel ini terasa menginap rumah lawas dengan nuansa masa lalu. Penggemar wisata heritage dan bangunan kuno sangat cocok untuk menginap di Hotel Trio ini. Di samping hotelnya sendiri merupakan bangunan kuno, juga menyatu dengan kawasan Pasar Gedhe yang kental dengan nuansa heritage Pecinan Solo, dan memiliki area parkir yang luas. Meski hotel ini merupakan hotel kelas melati, namun memiliki fasilitas kamar yang lengkap dan bersih. Sehingga, Hotel Trio ini sering dikenal sebagai hotel sederhana, langganan keluarga besar. *** [311215]
Share:

Pintu Air Demangan Surakarta

Saat masih kuliah dulu, saya sering diboncengin teman lewat Pintu Air Demangan. Sebenarnya memutar, tapi hal ini untuk menghindari polisi karena saya tidak membawa helm. Dari Kampus Kentingan, menuju Sekar Pece ke selatan sampai Jembatan Jonasan lalu menerabas Kampung Sewu. Ketika sampai tanggul di dekat Pasar Cengklik, ambil arah kiri atau selatan sambil menyusuri sebuah tanggul.
Pada waktu melintasi tanggul tersebut, kami melewati Pintu Air Demangan. Pintu air ini terletak di Kelurahan Sangkrah, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi pintu air ini berada di sebelah selatan Pasar Cengklik.
Menilik sejarahnya, Pintu Air Demangan ini dibangun pada tahun 1918 atas perintah Raja Surakarta, Pakubuwono X. Perintah tersebut dikeluarkan, untuk mengantisipasi luapan banjir sungai Bengawan Solo pada saat musim hujan tiba. Konstruksi bangunannya menggunakan beton bertulang, namun untuk pintunya sendiri yang bisa dibuka dan ditutupi ini memakai kayu jati. Ada sepuluh pintu airnya, dan sejak pertama kali dibuat baru sekali diganti kayunya.


Pintu Air Demangan ini melintang di atas Kali Pepe yang mengalir menuju Bengawan Solo. Selain untuk mengatur sirkulasi air di sungai itu, pintu air ini juga acap dimanfaatkan sebagai jembatan yang bisa dilalui oleh kendaraan roda dua, baik itu sepeda kayuh (onthel) maupun sepeda motor.
Pada tahun 1966 terjadi banjir besar (banjir bandang) di Kota Surakarta, atau yang biasa dikenal dengan sebutan Kota Solo. Banjir tersebut mengakibatkan hampir separoh Kota Solo tenggelam oleh kedahsyatan Bengawan Solo. Atas peristiwa tersebut, sepuluh tahun kemudian dilakukan pemasangan pompa air atas bantuan dari Ir. Sutami sebanyak tiga buah pompa berukuran kecil yang memiliki daya sedot 1 meter kubik air per detik. Kemudian pada tahun 1999, dibangun lagi tiga pompa baru berukuran lebih besar dari sebelumnya, dengan kekuatan mampu menyedot 3 meter kubik air per detik. Fungsi pompa air tersebut adalah untuk mempompa kelebihan air yang ada di Kali Pepe, sehingga Solo bisa terhindar dari banjir.
Pintu air ini akan ditutup jika air masuk dan berketinggian 4 meter. Demikian pula bila air luapan Bengawan Solo mencapai ketinggian tersebut dan masuk ke Kali Pepe. Air yang masuk akan disedot dari Kali Pepe dan dikeluarkan lagi dengan pompa dan dibuang ke timur pintu air agar supaya airnya tak masuk kota.
Dilihat dari konstruksinya, Pintu Air Demangan ini merupakan peninggalan karya arsitek Belanda. Hanya saja sayang, informasi siapa yang merancang pintu air nan kokoh dan megah ini, belum diketahui dengan pasti. *** [020215]
Share:

Situ Gintung Ciputat

Tak jauh dari jalan raya yang menghubungkan Ciputat dengan Lebak Bulus, terdapat sebuah daerah yang sering dikunjungi oleh masyarakat Ciputat dan sekitarnya untuk bersantai. Mereka pada umumnya menikmati telaga dengan keasriannya. Terlebih bagi yang gemar memancing, telaga ini merupakan tujuan favorit mereka. Tenang, dan sekaligus mudah mengaksesnya.
Telaga tersebut memang tidak terlalu luas, namun hijaunya rerimbunan daun pepohonan yang mengitari telaga tersebut, membuat pengunjung betah untuk bersantai di sana. Telaga tersebut dikenal dengan Situ Gintung. Situ ini terletak di Kelurahan Cirendeu, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Lokasi situ ini terletak di sebelah timur lampu merah Gintung.
Situ Gintung merupakan satu dari 160 lebih situ yang ada di wilayah Jabodetabek. Situ, berasal dari bahasa Sunda yang artinya adalah telaga atau danau. Dulunya, Situ Gintung ini adalah danau alami berupa rawa-rawa. Kemudian, pemerintah Hindia Belanda menjadikan Situ Gintung sebagai  daerah tangkapan air yang ditampung dari sungai Cidurian dan Cisadane, untuk mengairi persawahan yang terletak di bagian hilir (arah timur laut). Lalu, dibendung dan dibangun pintu air. Pengerjaannya dimulai sejak tahun 1932, dan selesai pada tahun 1933.


Luas area Situ Gintung pada saat dibangun, diperkirakan sekitar 31 hektar, namun sekarang diperkirakan tinggal 24 hektar saja. Daerah hilir yang dahulunya merupakan persawahan terletak di sepanjang bantaran (flood plain) saluran air Situ Gintung yang berada di cekungan sebelah timur laut tanggul dan dibatasi oleh tebing di sebelah timur dan baratnya, serta membentang hingga sungai Pesanggrahan. Luas wilayah yang merupakan persawahan tersebut diperkirakan sekitar 18 hektar.
Sekitar tahun 1980, keindahan Situ Gintung mulai dilirik para pebisnis. Salah satu tepi Situ Gintung kemudian dimanfaatkan sebagai tempat wisata alam dan perairan di mana terdapat restoran, kolam renang, dan sarana outbound. Akibat adanya fasilitas ini, menjadikan kawasan Situ Gintung juga dilirik untuk pemukiman penduduk yang berurbanisasi di Jakarta. Sehingga, sekitar kawasan ini menjadi padat hunian. Saking padatnya hunian, terutama yang berada di sebelah utaranya, kawasan Situ Gintung menjadi slum area (daerah kumuh). Di sekitar pintu air hingga jembatan, dulunya merupakan hunian ala tepi sungai Ciliwung. Rumahnya berhimpitan dan kumuh. Tapi sekarang, kekumuhan tersebut sudah tidak ada lagi. Daerah buangan air dari Pintu Air Situ Gintung menjadi daerah hijau, yang banyak ditanami tumbuhan peneduh. Hal ini tidak terlepas dari adanya peristiwa 27 Maret 2009 di mana Situ Gintung jebol.
Berawal pada tanggal 26 Maret 2009 mulai pukul 16.00 hingga 19.00 WIB, hujan lebat disertai angin kencang dan petir melanda kawasan Ciputat dan sekitarnya, membuat permukaan air telaga Situ Gintung meningkat dan melebihi kapasitas. Akibatnya tanggul Situ Gintung tak sanggung menahan luapan air yang berada di telaga Situ Gintung tersebut, dan jebol.


Jebolnya tanggul Situ Gintung mengakibatkan bencana banjir bandang yang menghanyutkan tanah dari tanggul dan lumpur dari telaga serta beberapa bangunan yang berada tepat di bawah tanggul. Turbulensi aliran ke arah hilir diduga makin membesar volume dan berat jenisnya akibat makin banyaknya material dari bangunan dan benda-benda lain yang tersapu banjir. Dampak terbesar dari aliran air dan lumpur ini diperkirakan mencapai puncaknya pada kawasan pemukiman dan bangunan di sekitar gedung perpustakaan Universitas Muhammadiyah Jakarta yang berlokasi sekitar 650 meter dari titik pecahnya tanggul.
Dari buku Data Korban Bencana Situ Gintung, yang diterbitkan oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan, memperlihatkan rekapitulasi akhir hasil pencacahan korban bencana Situ Gintung yang dihimpun oleh Posko Terpadu Penanggulangan Bencana Situ Gintung terdapat 915 korban jiwa dari 316 KK yang tersebar dalam 8 RW  serta ratusan rumah penduduk luluhlantak di Kelurahan Cireundeu. Dahsyatnya dampak yang ditimbulkan tersebut, nama Situ Gintung menjadi pemberitaan utama di hampir semua media massa nasional. Dari tidak dikenal secara luas, menjadi terkenal di seantero Indonesia.
Setelah masa tanggap darurat selesai, Situ Gintung beserta kawasannya mulai dibangun kembali, dan selesai pada bulan Februari 2011. Perbaikan yang sangat signifikan dari tanggul Situ Gintung, adalah adanya saluran air untuk mengalirkan air apabila volume air tidak dapat ditampung. Saluran air ini mengalir sampai ke daerah Petukangan. Selain itu, pada sisi kiri dan kanan saluran sekarang menjadi ruang hijau. Pada sisi kiri saluran, juga dibangun sebuah monumen untuk mengenang korban tragedi jebolnya tanggul Situ Gintung pada 2009. Ini menjadi tanda, bahwa kita harus lebih waspada untuk menghadapi musibah, dan berharap kejadian yang lalu tidak akan terulang kembali. *** [170416]

Share:

GBI Kebayoran Jakarta

Gara-gara ada pembuatan jalan layang dari Jalan Kapten Tendean menuju Blok M, menyebabkan akses jalan sedikit terhambat. Menghindari penumpukan kemacetan, saya mengambil arah ke selatan dan mengikuti jalan di dalam perumahan yang besar-besar. Sampai lampu merah, saya ambil kanan yang jalannya tidak begitu ramai. Tanpa sengaja, saya melewati gereja yang memiliki bangunan yang khas. Gereja tersebut bernama Gereja Baptis Indonesia (GBI) Kebayoran.
Gereja Baptis ini terletak di Jalan Tirtayasa No. 1 Kelurahan Melawai, Kecamatan Kebayoran Baru, Kota Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta. Lokasi gereja Baptis ini berada di samping SMPN 13 Jakarta, atau dekat juga dengan Kampus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
Berbicara masalah keberadaan gereja Baptis di Indonesia, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kesejarahan Baptisme itu sendiri. Th. Van den End dan J. Weitjens dalam bukunya, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an – Sekarang (PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993), menjelaskan dengan gamblang akan jemaat Baptis di Indonesia.


Aliran Baptis timbul di Inggris sekitar tahun 1600. Ciri khasnya ialah penolakan terhadap pembaptisan anak-anak dan terhadap hubungan erat antara gereja dan negara seperti yang pada masa itu dianut oleh Gereja Katolik Roma dan oleh sebagian besar Gereja-gereja Protestan. Sebetulnya, kedua ajaran yang khas Baptis itu sudah dianut dalam abad ke-16 oleh kelompok-kelompok tertentu, seperti kelompok Anabaptis dan Menonit. Akan tetapi, gerakan Baptisme dalam arti yang sebenarnya dirintis sejak tahun 1608/1609 oleh John Smyth, pendeta salah satu jemaat orang Inggris dalam perantauan di Amsterdam. Yang memisahkan kelompok Baptis itu dari aliran Memonit sehingga tidak bergabung dengannya ialah pandangan Memonit bahwa seorang Kristen tidak boleh bersumpah di depan lembaga pemerintah, tidak boleh menduduki jabatan dalam pemerintahan, dan dilarang masuk tentara. Sebutan “Baptis”, yang baru muncul beberapa dasawarsa kemudian, mula-mula merupakan sindiran dari pihak lawan-lawan, tetapi kemudian dipakai oleh penganut golongan Baptisme sendiri. Salah seorang Baptis yang terkenal pada zaman itu ialah John Bunyan, yang menulis buku Perjalanan Seorang Musafir sewaktu berada di penjara karena keyakinannya (1660-1672). Revolusi Inggris (1689) menetapkan asas kebebasan beragama di Inggris, walau untuk sementara masih terbatas. Mulai tahun 1639, aliran Baptis dibawa pula ke Amerika Utara oleh perantau-perantau dari Inggris. Dalam abad ke-19, gereja Baptis menjadi salah satu gereja Protestan terbesar di Amerika Serikat. Dalam abad ke-19 dan ke-20, aliran Baptisme meluas ke semua benua. Kini ada sekitar 20 juta lebih penganut aliran Baptis (tidak termasuk anak yang belum dibaptis) di 120 lebih negara, 90 persen di antaranya di Amerika Serikat.


Pada tahun 1792, atas prakarsa salah seorang pendeta Baptis yang bernama William Carey, didirikanlah Baptist Missionary Society. Peristiwa ini menandai permulaan sejarah usaha pekabaran Injil modern. Carey mendirikan pusat pekabaran Injil di Calcutta (India). Dari sana usaha pekabaran Injil Baptis meluas ke jajahan Inggris di Asia Tenggara, termasuk ke Hindia Belanda, yang pada tahun 1811-1815 dikuasai Inggris. Antara tahun 1813 dan 1857, 20 utusan Injil Baptis bekerja di Hindia Belanda. Yang menjadi terkenal ialah Nathaniel Ward dan Richard Burton, karena mereka mengadakan perjalanan melintasi pulau Sumatera, yang pada waktu itu belum dipetakan, dan berhasil menerobos sampai Danau Toba. Seorang anak William Carey, Jabez Carey, bekerja di Ambon selama tahun 1814-1818. Karena pemerintah Belanda tidak suka pada kegiatan orang asing di wilayahnya, maka sesudah kembalinya pemerintahan Belanda kebanyakan utusan Injil bangsa Inggris itu kembali ke India. Di Padang, Ward bertahan sampai kematiannya menjelang tahun 1850. Di Semarang, Gottlob Brucker menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jawa dan dengan demikian mencetuskan gerakan menuju ke agama Kristen di Wiung. Tetapi sesudah kematiannya (1857) tidak ada lagi kegiatan Baptis di Hindia Belanda.
Pada tahun 1948, tenaga utusan Konvensi Baptis Selatan (Southern Baptist Convention) dari Amerika Serikat yang berjumlah sekitar 200 orang, harus meninggalkan negeri Tiongkok setelah kaum komunis mengambil alih kekuasaan di situ. Kemudian pada 1950, Dr. Baker James Cauthen sebagai Secretary for Orient of the Southern Baptist Foreign Mission Board mulai melakukan survei ke beberapa negara Asia Tenggara untuk menggantikan tempat pelayanan kaum Baptis di Asia setelah adanya penolakan dari Tiongkok. Negara-negara yang disurvei meliputi Filipina, Thailand, Malaysian dan Indonesia.
Pada tahun 1951 mereka dialihkan ke Indonesia. Tiga orang utusan Injil Baptis tiba di Jakarta pada 24 Desember 1951 dengan menggunakan pesawat Royal Dutch Airline. Para misionaris Amerika itu adalah Buren Johnson, Stockwell Sears dan Charles Cowherd, mereka dikenal sebagai pelopor Baptis Selatan di Indonesia. Kemudian Cowherd menuju ke Bandung setelah beberapa waktu istirahat dan berdiam di Jakarta.
Stockwel Sears pun mulai melakukan pengabaran Injil di Jakarta. Awalnya, kebaktian orang Baptis menumpang di rumah Pendeta Ais Pormes di Jakarta pada April 1953. Kemudian pindah di garasi tempat tinggal Pendeta Stockwell Sears yang berada di jalan Galuh No. 11 Jakarta Selatan. Seiring berjalan waktu, jemaat semakin bertambah banyak. Akhirnya, memutuskan untuk membeli sebidang tanah di Jalan Tirtayasa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan yang akan digunakan untuk membangun sebuah gereja.
Peletakan batu pertama pembangunan gereja ini dilakukan pada 7 Oktober 1962, dan desain gerejanya dirancang oleh Ir. Poei. Pada saat gereja sedang dibangun ini, jemaat diperkenankan untuk beribadah menggunakan salah satu ruang kelas di SMEA 3 Jakarta Selatan.
Setelah selesai pembangunannya, gereja tersebut diresmikan menjadi tempat beribadah bagi jemaat Baptis di daerah Kebayoran dan sekitarnya, dan diberi nama Gereja Baptis Indonesia Kebayoran, atau biasa dikenal dengan Gereja Baptis Kebayoran. Peristiwa ini merupakan sejarah bagi jemaat Baptis di Jakarta pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Konvensi Baptis Selatan itu merupakan golongan Baptis yang terbesar di dunia. Dalam ajaran, Konvensi Baptis Selatan (KBS) bersifat ortodoks; gereja ini tidak bergabung dengan Dewan Gereja-gereja se-Dunia. *** [160416]

Kepustakaan:
Th. Van den Ends & J. Weitjens, 1993. Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an – Sekarang, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia
http://gbik.info/index.php/tentang-kami/
http://www.majalahpraise.com/tata-ibadah-gereja-baptis-indonesia-536.html
Share:

Daftar Bangunan Kuno di Sidoarjo

Berikut ini adalah daftar dari bangunan kuno atau peninggalan sejarah lainnya yang terdapat di Sidoarjo:

Candi Pari
Candi Pari terletak di Jalan Candi Tawangalun I, Dukuh Kampung Baru RT. 10 RW. 05 Desa Buncitan, Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur

Candi Sumur
Candi Sumur terletak di Desa Candi Pari RT. 06 RW. 03 Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur

Candi Tawangalun
Candi Tawangalun terletak di Jalan Candi Tawangalun I, Dukuh Kampung Baru RT. 10 RW. 05 Desa Buncitan, Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur

Kampung Batik Jetis
Kampung Batik Jetis terletak di Dusun atau Lingkungan Jetis, Kelurahan Lemah Putro, Kecamatan Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur

Pabrik gula ini terletak di Jalan Raya Malang-Surabaya No. 10 Desa Candi, Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur

Stasiun ini terletak di Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Gedangan, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur

Stasiun ini terletak di Jalan Raya Porong, Kelurahan Porong, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur

Stasiun Sidoarjo terletak di Jalan Diponegoro No. 1 Kelurahan Lemahputro, Kecamatan Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur

Stasiun Kereta Api Sepanjang
Stasiun ini terletak di Jalan Stasiun Sepanjang, Kelurahan Wonocolo, Kecamatan Taman, Provinsi Jawa Timur

Stasiun Kereta Api Tanggulangin
Stasiun ini terletak di Jalan Raya Tanggulangi, Desa Kalitengah, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur

Stasiun Kereta Api Tarik
Stasiun ini terletak di Jalan Jatisari-Tempuran, Desa Tarik, Kecamatan Tarik, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur
Share:

Pabrik Gula Candi Baru Sidoarjo

Pagi itu saya pulang dari rumah teman di Sukorejo, Pasuruan, menuju Surabaya. Memasuki Sidoarjo, tampak asap mengepul laksana membentuk awan. Asap itu ternyata berasal dari dua cerobong asap milik sebuah pabrik gula yang berada tepat di jalan besar Sidoarjo. Pabrik Gula tersebut bernama Pabrik Gula Candi Baru (PG Candi Baru). Pabrik gula ini terletak di Jalan Raya Malang-Surabaya No. 10 Desa Candi, Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur. Lokasi pabrik gula ini berada di sebelah utara UD Gili Young.
Menurut sejarahnya, PG Candi Baru ini dibangun pada tahun 1832 oleh keluarga Goen Jing yang bernama Kapten Tjoa, tapi kemudian dikelola oleh orang Belanda. PG Candi ini dinyatakan sebagai badan hukum yang legal oleh Pengadilan Negeri Surabaya melalui Surat Keputusan (SK) Pengadilan Negeri Nomor 122 tanggal 31 Oktober 1991 dengan nama NV Suikerfabriek Tjandi. Nama ini diperoleh dari lokasi di mana perusahaan itu berada.
Setelah Perang Dunia (PD) II, PG Candi dikendalikan oleh Perusahaan Perkebunan Negara XXII (PNP XXII) untuk beberapa tahun, tetapi manajemennya masih tetap ditangani oleh Kapten Tjoa. Pada periode tersebut, kapasitas giling perusahaan adalah 750 ton tebu dan menghasilkan produksi gula jenis Superior Hooft Suiker (SHS).
Menjelang kedatangan Jepang, pada tahun 1941 pabrik gula ini ditutup, dan baru dibuka kembali pada tahun 1950. Pada 1962 diadakan Rapat Umum Pemegang Saham di mana para pemegang saham menyetujui perubahan nama menjadi PT PG Tjandi. Hasil rapat pemegang saham ini kemudian didaftarkan ke Kementerian Kehakiman kala itu, yang kemudian terbitlah Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor Y.A.5/122/1 tanggal 14 Oktober 1962 yang menyatakan persetujuannya akan perubahan nama tersebut.


Setelah adanya perubahan status nama dari Naamloze Vennootschap (NV) menjadi  Perseroan Terbatas (PT) ini, beberapa pengusaha berkeinginan membeli saham pabrik gula ini. Pada 1963, H. Wirantono Bakrie membeli beberapa bagian saham perusahaan, kemudian pada 1972 semua saham pabrik gula ini dibeli oleh keluarga H. Wirantono Bakrie, yang terdiri dari H. Wirantono Bakrie, H. Ahmad Badawi Bakrie, dan Dr. H. Faruk Bakrie.
Dalam meningkatkan kapasitas giling menjadi 1.250 ton tebu per hari, manajemen melakukan rehabilitasi pada tahun 1975. Pada 1981, kapasitas meningkat menjadi 1.500 ton tebu per hari dengan kualitas Superior Hooft Suiker (SHS).
Pada 1991, PT PG Candi dikelola oleh PT Rajawali Nusantara Indonesia (PT RNI), dan kemudian pada tahun 1992 PT RNI berusaha membeli 55% saham dari H. Wirantono Bakrie. Di tahun 1993, PT PG Candi berubah nama menjadi PT PG Candi Baru, dan di tahun tersebut mampu meningkatkan kapasitas gilingnya menjadi 1.800 ton SHS 1-A per hari.
Tahun 1998, kondisi PG Candi Baru mulai memburuk. Enam tahun kemudian pabrik gula ini didera kerugian yang besarnya Rp 4 miliar hingga Rp 13 miliar per tahun. Hal ini lantaran ada gangguan jarinagan kabel listrik yang ditanam di bawah tanah sejak era Hindia Belanda ini, terendam banjir. Kegiatan pabrik pun otomatis terhenti. Di samping itu juga karena kondisi mesin uap yang menjaditenaga utama pabrik itu sudah usang, karena dibuat pada tahun 1921. Kemampuan mesin uap tersebut telah menurun hingga 50 persen.
Melihat kondisi itu, manajemen RNI mengambil langkah nekat, yaitu membeli seluruh saham PG Candi Baru yang dikuasai perorangan sehingga kepemilikannya menjadi 98,2 persen di akhir tahun 2004. Langkah ini sempat mengundang kemarahan pemerintah sebagai pemegang saham RNI, karena saat sembilan pabrik gulanya merugi malah menambah saham. Langkah pertama yang dilakukan adalah menyediakan dana Rp 14,1 miliar sebagai dana investasi untuk memperbaiki seluruh pabrik dengan satu motto: Inovasi atau Mati!
Investasi yang dilakukan untuk mengganti mesin-mesin yang sudah tua dan memperbaiki jaringan listrik bawah tanahnya ini, mulai membuahkan hasil. Efisiensi mesin meningkat 74 persen menjadi 91 persen. Selain itu, untuk pertama kalinya sejak enam tahun, PG Candi Baru meraup untung sebesar Rp 10, 663 miliar pada akhir tahun 2005.
Adapun kapasitas giling tebu meningkat dari 1.700 ton tebu per hari menjadi 2.000 ton tebu per hari. Kemudian, jumlah tebu yang digiling bertambah dari 240.000 ton menjadi 340.000 ton sepanjang masa giling tahun 2006 sebanyak 174 hari. Investasi dilanjutkan pada 2006. Kali ini, fokus investasinya diarahkan pada program zero waste, atau tidak ada satu limbah pabrik pun yang terbuang.
Produk utama dari pabrik gula ini adalah Superior Hoot Suiker (SHS) dan produk sampingannya adalah tetes tebu dan ampas. Tetes tebu tersebut dijual kepada perusahaan pembuat penyedap rasa, karena tetes tebu merupakan bahan dasar yang digunakan untuk membuat Mono Sodium Glutamat (MSG). Sedangkan, ampasnya yang bisa dijadikan bahan baku kertas ini dijual kepada perusahaan lain yang bergerak dalam produksi kertas. *** [020815]

Kepustakaan:
Jurnal Administrasi Bisnis (JAB) Vol. 8 No. 2, Maret 2014
http://www.bumn.go.id/rni/berita/208/PG.Candi.Baru,.Inovasi.atau.Mati
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami