The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Masjid Jamiatul Khair Mempawah

Salah satu tinggalan arkeologi Islam di Mempawah yang sampai saat ini masih dapat dilihat adalah Masjid Jamiatul Khair. Rumah ibadah umat Islam ini, secara historis merupakan bukti sejarah (historical evidence) dan saksi nyata namun bisu (the silent eye-witness) ihwal keberadaan dan perkembangan agama Islam di Mempawah. Di dalamnya memuat sejumlah informasi dan fakta sejarah panjang yang menjelaskan bagaimana proses penyebaran Islam dengan segenap implikasi historisnya dalam upaya mempertahankan keberadaan dan mengembangkan visinya di tengah komunitas dan struktur sosial di zamannya.
Masjid Jamiatul Khair terletak di Kelurahan Pulau Pedalaman, Kecamatan Mempawah Timur, Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Lokasi masjid ini berada di tepi Sungai Mempawah, dan letaknya tak jauh dari Istana Amantubillah, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kraton Mempawah.


Masjid Jamiatul Khair didirikan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1324 H atau bertepatan dengan tanggal 25 Desember 1906, oleh Panembahan Mempawah Muhammad Taufik Akamaddin, atau biasa disebut dengan Gusti Muhammad Taufik. Beliau adalah putra Gusti Ibrahim, yang bergelar Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin (1864-1887). Penobatan Gusti Muhammad Taufik karena menggantikan Gusti Intan, menantu Gusti Ibrahim atau yang tidak lain juga adalah saudara ipar Gusti Muhammad Taufik pada tahun 1902.
Menurut riwatnya, masjid dengan luas bangunan 18 x 18 meter ini sudah tiga kali berpindah lokasi. Pembangunan pertama dilakukan di Kampung Berunai. Kemudian pindah ke Kampung Siantan. Terakhir di lokasi sekarang.
Kampung Pulau Pedalaman dipilih pihak kerajaan karena lokasinya sangat strategis. Selain berada di pinggir Sungai Mempawah juga tidak jauh dari Istana Amantubillah. Sungai saat itu menjadi urat nadi perekonomian. Sampan sebagai alat transportasi utama. Sehingga warga yang menggunakan sampan dengan mudah dapat menjangkau masjid ini.


Tak heran mereka yang mengunjungi istana berkesempatan melihat dari dekat masjid ini dan sekaligus beribadah. Pemandangan sekitar masjid juga cukup menarik. Sungai Mempawah yang persis berada di halaman depan menjadi daya tarik tersendiri.
Areal masjid awalnya cukup luas. Pohon-pohon rindang mengelilingi masjid. Namun sejalan dengan waktu, pihak kerajaan melakukan pembagian lahan di kawasan itu untuk tempat tinggal kerabat. Juga terdapat lahan untuk tanah wakaf keluarga. Hingga kini, istana maupun masjid memang sudah dikelilingi rumah-rumah para kerabat.
Masjid Jamiatul Khair saat itu selalu ramai dikunjungi, baik salat lima waktu, salat jumat, Idul Fitri maupun Idul Adha. Karena semua umat Islam pada hari itu berbondong-bondong ke masjid.
Walaupun telah berusia 108 tahun, kondisi Masjid Jamiatul Khair sangat baik. Sebagian besar kerangka bangunan yang menggunakan kayu belian seperti tiang, lantai dan dinding masjid, tetap terawat. Atap masjid juga terbuat dari sirap belian. Namun sebagian telah dilapisi atap seng.
Pondasi bawah masih dengan tongkat belian. Namun kini dibuat dinding semen agar kolong tak terlihat. Lantai masih mempertahankan papan belian. Bisa menampung jamaah pada posisi duduk 800 orang. Khas masjid ini adalah warna kuning telur dengan kombinasi hijau. Tiang pilar ada empat buah dan tiang-tiang di pondasi dinding serta pada daun jendela. Juga dinding papan belian yang dipasang secara berdiri mashi asli.
Pergantian hanya pada kubah yang semula disusun dari atap sirap kini dilapisi seng. Atap sirap tidak dilepas agar tetap tahan dan menjaga keasliannya. Bangunan ini memiliki tiga kubah dengan bentuk limas. Di atas kubah terdapat kendi.
Tempayan kecil ini dipertahankan karena ada amanah dari Panembahan Muhammad Taufik Akamaddin, yang meminta kendi di atas kubah tetap dipertahankan.
Kini, Masjid Jamiatul Khair telah menjadi salah satu ikon wisata di Kabupaten Pontianak. Tempat ini menjadi lokasi wisata yang sering dikunjungi bersamaan dengan penunjung mengunjungi Istana Amantubillah. Tak hanya kekhasan bangunannya semata, tetapi juga pada nilai kesejarahan yang diukir dan diperankan oleh keberadaan masjid kuno ini. Konservasi nilai kesejarahan tinggalan masjid ini menjadi penting dilakukan, bukan hanya semata keniscayaan yang diamanatkan oleh Universal Declaration of Human Rights dan Undang-undang Cagar Budaya tahun 2010 tentang keharusan memproteksi, mengonservasi, dan mengembangkan tata nilai budaya komunitas, tapi juga dalam upaya menjelaskan kepada generasi kini dan mendatang tentang apa dan bagaimana kontribusi masjid ini dalam pengembangan masyarakat. ***

Share:

Benteng De Verwachting

Pulau Sanana merupakan salah satu gugusan kepulauan Sula yang lokasi berada di sebelah selatan Pulau Mangola. Kepulauan Sula sendiri secara administratif masuk ke dalam Maluku Utara. Sesuai dengan geografisnya yang merupakan kepulauan, wisata pantai mendominasi keindahan alamnya. Tak kalah dengan Pulau Halmahera, Pulau Ternate, Pulau Tidore, maupun Pulau Bacan, Pulau Sanana juga meninggalkan jejak sejarah dengan adanya benteng De Verwachting.
Benteng De Verwachting terletak di Kelurahan Sanana, Kecamatan Sanana Utara, Kabupaten Kepulauan Sula, Provinsi Maluku Utara. Lokasi benteng ini berada tepat di depan pelabuhan Sanana yang berada di pusat kota.
Dari sebuah catatan yang terdapat di benteng tersebut, dijelaskan bahwa pada tahun 1623, warga Ternate diperkirakan membangun satu benteng kecil yang dikenal dengan nama Het Klaverblad. Namun, baru pada tahun 1688 ada catatan sejarah tentang benteng Het Klaverblad yang letaknya di Kepulauan Sulu, tepatnya di Pulau Sanana.


Kemudian pada 24 Desember 1736, yaitu masa pemerintahan Amir Iskandar Zulkarnain Saifuddin (1714-1751), benteng kecil Het Klaverblad diperbaharui dan kemudian diberi nama De Verwachting. Amir Iskandar Zulkarnain Saifuddin – putra tertua Rotterdam dari istri keempatnya, Sayira – adalah Sultan Ternate ke-14. Amir Iskandar Zulkarnain Saifuddin lahir di Ternate pada 1680 dan lebih dikenal dengan nama Raja Laut, yang diberikan ayahnya. Ia juga dikenal dengan nama Kaicil Sehe.
Pemugaran benteng tersebut di bawah pengawasan seorang opsir VOC, Victor Moll. Pemugaran ini memanfaatkan tenaga orang-orang Ternate, yang kemudian mereka memahat dinding benteng tersebut dengan hiasan-hiasan bercirikan Ternate.


Tulisan-tulisan pada gerbang dan dinding benteng juga dalam bahasa Melayu. Pada tahun 1790-an, catatan sejarah VOC di akhir abad ke-18 menyebut benteng ini sebagai benteng Alting, menurut nama seorang wali VOC yang memegang tampuk pimpinan antara 1780-1797.
Benteng De Verwachting pernah dipugar oleh Pemerintah RI melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Maluku Utara pada tahun 2007. Kemudian direnovasi lagi oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Ternate pada tahun 2013 yang pemugarannya dilaksanakan pada September sampai dengan Desember. Renovasi yang dilakukan masih sebatas mengarah ke fisik bentengnya saja, seperti perbaikan plester dinding, perbaikan dudukan meriam, pemasangan paving blok pada jalur patrol, pembuatan rabat beton pada dinding luar benteng, dan perbaikan dua buah bangunan penunjang yang ada di dalam benteng.
Benteng dengan luas 2.750 meter persegi ini terbilang masih relatif utuh dengan 4 bastion dan 2 menara pengintai. Tinggi dinding benteng kurang lebih 4 meter. Pintu masuk benteng ini berbentuk lengkung.
Dulu, benteng ini pernah dipakai sebagai markas Koramil dan Kodim Sanana, namun sekarang ini sudah dikosongkan. Lalu, dua bangunan penunjang yang ada di dalam benteng tersebut saat ini digunakan sebagai Kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kepulauan Sula, dan di depan benteng menjadi sarana olahraga penduduk sekitar benteng. ***
Share:

Benteng Tolukko

Benteng Tolukko adalah salah satu peninggalan Portugis di Ternate yang hingga kini masih berdiri. Dari atas benteng ini, kita bisa melihat pemandangan laut yang indah, dengan latar belakang pulau Halmahera, Tidore, dan Maitara.
Benteng Tolukko terletak di Kelurahan Sangaji, Kecamatan Ternate Utara, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara. Lokasi benteng ini berada di sebelah tenggara Kantor PDAM Ternate yang berjarak sekitar 2 kilometer dari pusat kota menuju ke arah Bandara Sultan Babullah Ternate. Dilihat dari segi aksebilitasnya, benteng Tolukko ini mudah dijangkau dengan menggunakan kendaraan umum maupun kendaraan pribadi, baik kendaraan roda dua maupun kendaraan roda empat.
Menurut sejarahnya, setelah Malaka ditaklukkan oleh Portugis, Laksamana Alfonso d’Albuquerque mengirim Antonio de Abreu dan Fransisco Serrao dengan armada yang terdiri dari tiga kapal ke Maluku pada Desember 1511. Dalam bulan Januari 1512, mereka tiba di Banda. Setelah beberapa waktu di Ambon, karena mengalami ketidakberuntungan dengan karamnya kapal yang ditumpangi, Serrao dijemput utusan Sultan Ternate dan dibawa ke Ternate pada awal 1512.


Kedatangan Fransisco Serrao di Ternate adalah kedatangan seorang pejabat pertama Eropa – dalam hal ini Portugis – dan sebuah program eksplorasi penguasa Portugis yang ambisius dan telah dimulai sejak abad ke-15. Serrao sendiri adalah fungsionaris Portugis pertama yang berhasil merundingkan hak-hak monopoli negerinya atas perniagaan rempah-rempah dan hak eksklusif pendirian sejumlah benteng di Ternate, yang salah satunya adalah benteng Tolukko.
Benteng Tolukko ini semula dibangun oleh Fransisco Serrao (Portugis) pada tahun 1540, kemudian direnovasi oleh Pieter Both (Belanda) pada tahun 1610.  Benteng ini kerap disebut benteng Hollandia (Fort Hollandia) atau benteng Santo Lucas.
Pemerintah Hindia Belanda pada 1661 mengizinkan Sultan Mandarsyah untuk menempati benteng ini dengan kekuatan pasukan sebanyak 160 orang. Letaknya yang berada di atas bukit batu karang yang terletak di ketinggian kemungkinan untuk memudahkan mengawasi kegiatan Sultan Ternate dan lalu lintas perdagangan di perairan Ternate.


Beberapa catatan mengatakan bahwa nama Tolukko adalah nama dari penguasa kesepuluh yang duduk di singgasana Ternate, yaitu Kaicil Tolukko, akan tetapi karena Sultan ini baru memerintah di tahun 1692 maka tidak mungkin nama benteng ini diberikan mengikuti nama tersebut. Menurut catatan sejarah Belanda, di tahun 1610 benteng Portugis tersebut diperbaiki oleh Pieter Both, seorang Gubernur VOC, dan dimaksudkan sebagai pertahanan terhadap bangsa Spanyol yang memang sedang sibuk menggempur pulau Ternate.
Pada tahun 1864, benteng ini dipugar oleh residen P. van der Crab. Dari data yang didapatkan, dalam pemugaran tersebut telah meninggikan benteng 70 cm. Benteng yang berdiri di atas bukit batuan beku terletak pada 620 cm di atas permukaan laut, letaknya menjorok ke laut. Dengan denahnya yang tidak simetris kemungkinan banhwa benteng ini disesuaikan dengan kondisi bentuk bukit yang ada. Bentuknya yang cenderung membulat dengan 2 bastion di depan dan 1 di belakang yang mengundang interpretasi tersendiri merupakan keunikan yang menjadi ciri khas Portugis.
Bentuk bastion tidak seperti kebanyakan benteng kolonial lainnya, yang umumnya berbentuk mata panah (arrow head), pada benteng Tolukko bastion berbentuk bulat. Pada dinding sebelah kiri setelah pintu masuk terdapat pahatan lambang yang hingga kini belum diketahui makna pahatan tersebut.
Benteng Tolukko ini sebenarnya memiliki terowongan yang terhubung hingga laut atau pantai yang berada di depannya. Namun, kini terowongan tersebut ditutup untuk umum karena berbahaya.
Benteng ini sempat terlantar karena tidak terawat beberapa tahun. Sekitar tahun 1996, benteng ini mulai dipugar oleh pemerintah Republik Indonesia melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta. Selesai purna pugarnya pada tahun 1997 dan diresmikan oleh Prof DR. Ing. Wardiman Djojonegoro.
Kini, benteng ini menjadi terpelihara dengan baik, sehingga bisa menjadi bukti sejarah bagi masyarakat Ternate, dan sekaligus dikembangkan menjadi obyek wisata bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. *** [171014]
Share:

Benteng Kota Janji

Bila ditelusur, kehadiran bangsa Eropa di Ternate tidak terlepas dari keberadaan cengkih maupun pala di pulau tersebut. Mereka berani bersusah payah untuk berlayar jauh hanya untuk mendapatkan rempah-rempah tersebut yang pada waktu itu merupakan primadona komoditas yang sangat laku di pasaran Eropa, dan kebetulan Ternate pada waktu telah menjadi pusat perdagangan rempah-rempah bagi seluruh daerah di Maluku.
Kehadiran bangsa Eropa yang bermula dari cengkeh ini, pada akhirnya menjadi ihwal kolonialisme di Ternate. Jejaknya bisa dilacak dari keberadaan benteng-benteng yang ada di Ternate. Salah satunya adalah benteng Kota Janji.
Benteng Kota Janji terletak di Jalan Ngade, Dusun Laguna, Desa Fitu, Kecamatan Ternate Selatan, Provinsi Maluku Utara. Lokasi benteng ini berada di pinggir jalan utama menuju Kota Ternate dari arah selatan, dan depan ada rumah makan kebanggaan Ternate, Floridas. Rumah Makan Floridas berdiri tepat di atas tepi laut. Duduk di balkon restoran tersebut, pelancong bisa menikmati pemandangan menuju hamparan laut yang selurus dengan Pulau Tidore dan Pulau Maitara.


Berdasarkan sejarahnya, benteng Kota Janji ini dibangun pada tahun 1532 oleh Portugis dan diberi nama Benteng San Jao. Namun karena insiden pembunuhan Sultan Khairun dari Ternate, Portugis diusir dari Pulau Ternate oleh Kesultanan Ternate yang saat itu dipimpin oleh Sultan Babullah pada tahun 1575. Benteng ini kemudian dikuasai oleh pasukan Spanyol pimpinan Gubernur Don Pedro de Acuna yang datang dari Manila pada tahun 1606 yang ingin menguasai Pulau Ternate.


Pada tahun 1610, benteng ini diperkuat oleh Spanyol dengan menempatkan 27 prajuritnya dan 20 prajurit papangger (prajurit yang terdiri dari orang-orang Filipina) lengkap dengan 6 meriam beserta amunisinya. Benteng ini kemudian diberi nama Santo Pedro Y Paulo, untuk menghormati Gubernur Pedro. Benteng ini oleh Spanyol selain digunakan untuk mengawasi perairan antara Pulau Ternate dan Tidore, benteng ini juga memiliki peran sebagai basis militer, jika kondisi laut sedang tenang, armada-armada Spanyol yang berlayar dari Filipina dapat berlabuh di pesisir pantai sebelah selatan dari benteng ini yang sekaligus dapat memudahkan untuk melakukan mobilisasi prajurit dan logistik mereka ke benteng ini.
Benteng yang berdenah trapesium ini berukuran 20 x 20 m berdiri di atas lahan dengan luas sekitar 2.147, 25 m², dan berada pada ketinggian 50 m di atas permukaan laut. Benteng yang konon terbilang megah ini kini telah runtuh. Bagian benteng yang masih dapat disaksikan sekarang hanyalah bagian dinding luarnya yang tersusun dari batu kali (andesit), batu karang, dan campuran pasir dengan kapur. Sedangkan bagian dalam sudah tertimbun dengan tanah. Pada sisi timur benteng, terdapat tangga yang mengarah naik ke atas benteng di mana di sekitar itu terdapat semacam kolam yang telah mengering.
Benteng ini di kemudian hari dikenal dengan sebutan Benteng Kota Janji hingga sekarang. Dinamakan benteng Kota Janji karena benteng ini pernah menjadi saksi sebagai tempat yang digunakan untuk melakukan perjanjian damai antara Sultan Khairun dengan Gubernur Portugis saat itu, Diego Lopes de Muspito. Akan tetapi Portugis ingkar, dan melakukan pengkhianatan dengan cara membunuh Sultan Khairun di benteng Kastela yang tidak begitu jauh dari benteng Kota Janji ini.
Benteng ini pernah direhabilitasi pada tahun 2004. Namun sebatas menyelamatkan daerah yang menjadi kawasan cagar budaya dengan mempercantik kawasan tersebut sebagai salah satu tujuan wisata. Di beri pagar yang mengelilingi benteng, dan taman. Sedangkan wujud sesungguhnya benteng ini tidaklah berupa lagi. *** [161014]
Share:

Benteng Kastela

Ada banyak obyek wisata yang bisa dikunjungi di Ternate. Keindahan alam dengan nuasa panorama pantai banyak ditemui di sini. Selain itu, wisata sejarah juga tak kalah menariknya, seperti Kedaton Sultan Ternate dan sejumlah benteng yang ada di Ternate. Salah satunya adalah benteng peninggalan Portugis, yaitu benteng Kastela, atau yang dikenal juga dengan nama Benteng Gamlamo.
Benteng Kastela terletak di Jalan Raya Benteng Kastela Santo Paulo, Desa Kastela, Kecamatan Pulau Ternate, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara. Lokasi benteng ini berada di sebelah utara kawasan wisata Pantai Kastela.
Menurut catatan sejarah, setelah Malaka ditaklukkan oleh Portugis pada tahun 1511, Laksamana Alfonso d’Alburquerque mengirim Antonio de Abreu dan Francisco Serrao dengan armada yang terdiri dari tiga kapal ke Maluku pada Desember 1511. Dalam bulan Januari 1512, mereka tiba di Banda. Setelah beberapa waktu di Ambon, karena mengalami naas dengan karamnya kapal yang ditumpangi. Kemudian Serrao dijemput utusan Sultan Ternate dan dibawa ke Ternate pada awal 1512.


Kedatangan Francisco Serrao di Ternate adalah kedatangan seorang pejabat pertama Eropa – dalam hal ini Portugis – dari sebuah program eksplorasi penguasa Portugis yang ambisius dan telah dimulai sejak pertengahan abad ke-15. Ekspansi Portugis ke Maluku dalam rangka menemukan Kepulauan Rempah-Rempah (the spice islands). Mereka seolah-olah berjudi dengan nasib dan mempertaruhkan segalanya dalam upaya memperoleh monopoli perniagaan rempah-rempah yang kala itu menjadi komoditas mewah di pasaran Eropa yang menjanjikan keuntungan yang fantastis. Kemudian mereka mempertahankannya dengan segala daya dan upaya, baik politik, ekonomi, maupun kekuatan militer sekalipun.
Francisco Serrao adalah seorang fungsionaris Portugis pertama yang berhasil merundingkan hak-hak monopoli negerinya atas perdagangan rempah-rempah dan hak eksklusif pendirian benteng Portugis di Gamlamo dengan SultanTernate, Sultan Bayanullah (Boleif).
Akhirnya, pada tahun 1520, Raja Portugis, Don Manuel, mengirim Jorge de Brito untuk membangun benteng Portugis di Gamlamo, Ternate, dan menunjuk adik Jorge de Brito, yaitu Antonio de Brito, sebagai komandan benteng tersebut. Benteng yang dibangun Portugis itu diberi nama Nostra Senhora de Rosario (“Wanita Cantik Berkalung Bunga Mawar”), tetapi lebih dikenal sebagai benteng Gamlamo oleh penduduk lokal, dan sekarang berubah nama menjadi benteng Kastela karena lokasinya yang berada di Desa Kastela.
Benteng Kastela ini dibangun oleh Portugis secara bertahap selama kurun waktu kurang lebih 20 tahun. Setelah menyelesaikan pembangunan benteng ini pada tahap awal, pada tahun 1521 Jorge de Brito kembali ke Goa (India Barat) namun belum sampai di sana ia telah tewas dalam salah satu pertempuran di Aceh. Kemudian dilanjutkan oleh Garcia Henriquez pada tahun 1525, pada tahun 1530 giliran Gonsalo Pereira yang melanjutkan pembangunan, hingga pada tahun 1540 benteng ini dirampungkan oleh Jorge de Castro.
Hingga 1569, benteng Gamlamo merupakan satu-satunya benteng yang berdiri di luar Malaka. Setelah itu, baru dibangun benteng-benteng yang lain di Ambon, Jailolo, Moro (Tolo dan Samafo), Banda dan Makassar. Tetapi, benteng-benteng yang dibangun belakangan itu lebih mirip rumah kembar ketimbang benteng yang sesungguhnya. Pada benteng tersebut tidak terdapat seorang kapten yang diangkat Raja Portugis, seperti pada benteng Gamlamo di Ternate.


Pada tanggal 27 Februari 1570, terjadi peristiwa pembunuhan Sultan Khairun Jamil dengan keji di benteng ini oleh Antonio Pimental atas perintah Diego Lopez de Mesquita, Gubernur Portugis ke-18, melalui tipu daya dan muslihat.
Babullah, pewaris tahta Kesultanan Ternate, menuntut agar Diego Lopez de Mesquita diajukan ke pengadilan dan dihukum atas kejahatan pembunuhan. Ketika tuntutan ini ditolak, Babullah dan rakyat Ternate mengepung benteng Gamlamo selama 4 tahun (1574-1578) dan mengultimatum agar Portugis segera hengkang dari Ternate. Dalam kondisi yang seperti itu, mulailah evakuasi besar-besaran orang Portugis dari Ternate, mula-mula ke Tidore sebagai tempat transit, dan kemudian ke Goa. Ketika bala bantuan Portugis dari Goa dan Malaka tiba, keadaan sudah terlambat. Pimpinan armada Portugis hanya dapat menyaksikan puing-puing kekuasaan Portugis di Ternate. Gubernur berikut perangkatnya, misionaris dan orang-orang Portugis lainnya telah meninggalkan Ternate dengan meratapi kekalahan dan masa lampau mereka yang penuh kekerasan, arogansi dan pertumpahan darah. Mereka pergi dengan membawa serta kenangan buruk yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya bahwa mereka harus menghadapi akhir kekuasaanya secara menyedihkan. Pada tahun 1606, Gubernur Spanyol Don Pedro da Cunha menyerbu dan menguasai benteng ini. Namun, sejak VOC melancarkan kegiatan niaganya secara intens, Spanyol ternyata tidak mampu bersaing dengannya dan hanya mampu bertahan karena kemurahan hati para Gubernur Belanda yang ada di Ternate. Oleh sebab itu, pada 1662 otoritas Spanyol di Manila memutuskan menutup garnisunnya di Maluku dan menarik kembali pasukan-pasukannya dari Maluku untuk menghadapi penyerbuan besar-besaran bajak laut Tiongkok yang akan mengambil alih Manila. Pada 1663, penarikan pasukan Spanyol dari Maluku dimulai, dan sebelum diberangkatkan ke Manila, pasukan Spanyol sempat membumihanguskan benteng Gamlamo agar tak direbut oleh Belanda.
Benteng Kastela ini memiliki lahan seluas 2.724 m² dengan bentuk persegi empat, dan tersusun dari batu gunung dan batu kapur. Bagian-bagian benteng Kastela yang sekarang masih bisa diidentifikasi hanyalah bastion dan menaranya saja, sedangkan sisanya hanya berupa reruntuhan. Kendati demikian, benteng pertama peninggalan Portugis ini masih memperlihatkan sisa kemegahannya di atas puing-puing yang ada.
Dulu, di dalam benteng ini terdapat sebuah lonceng buatan Perio Diaz Bocarro tahun 1603 yang didatangkan langsung dari Portugal. Ketika Portugis meninggalkan Ternate, lonceng bersejarah itu dipindahkan VOC dan digantung di pintu masuk benteng Oranje hingga 1950, dan sejak 1951 dipindahkan dan disimpan pada gereja Katolik (Gereja Batu) di Ternate. Tapi, ketika penulis berkunjung ke benteng Oranje dan naik ke atas bastion menuju atas pintu gerbang utamanya, sepertinya lonceng tersebut telah ada lagi di situ. *** [161014]

Share:

Benteng Kalamata

Ada banyak benteng yang menjadi obyek wisata di Ternate. Salah satunya benteng yang masih utuh tembok kelilingnya adalah benteng Kalamata. Benteng ini sering dikunjungi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.
Konstruksi benteng Kalamata memperlihatkan bentuk khas arsitektur Portugis. Tembok kelilingnya tidak begitu tebal seperti halnya benteng-benteng buatan Belanda. Ketebalan benteng Kalamata hanya 60 cm, dan tingginya 3 m.
Benteng ini merupakan bangunan berbentuk segi empat yang tidak lurus (poligon), memiliki empat bastion yang runcing di ujungnya. Setiap bastion dilengkapi sejumlah lubang bidik. Selanjutnya, pada lapangan dalam benteng terdapat bekas pondasi sejumlah bangunan, terdapat pula bekas jalan, tangga dan sumur.


Benteng Kalamata terletak di Jalan Kayu Merah, Kelurahan Kayu Merah, Kecamatan Ternate Selatan, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara. Lokasi benteng ini berada di bibir pantai Pulau Ternate menghadap Selat Maitara, yang tidak begitu jauh dengan Ternate Waterboom.
Awalnya, benteng Kalamata ini bernama benteng Santa Lucia (Fort Santa Lucia), yang dibangun oleh Portugis pada tahun 1540 atas inisiatif Antonio Pigafetta. Pendirian benteng tersebut sebagai pusat pertahanan dalam rangka perluasan daerah kekuasaan Portugis di Pulau Ternate. Namun setelah Portugis meninggalkan Ternate 1575, Spanyol menduduki benteng tersebut dan digunakan sebagai pos perdagangan. Pada tahun 1609 benteng ini direstorasi Belanda di bawah pimpinan Pieter Both dan dipergunakan sebagai benteng pertahanan.
Pada 13-16 Februari 1624, Gubernur Belanda Le Febre dan Deputy Admiral Geen Huigen Schapenham mencoba memperbaiki benteng namun kemudian ditelantarkan. Tahun 1627 Gills van Zeyst meninggalkan benteng dan kemudian diduduki oleh bangsa Spanyol.


Setelah Spanyol meninggalkan Ternate, dan menghancurkan benteng ini pada tahun 1663, Belanda membangunnya kembali dan diberi nama benteng Kalamata. Nama Kalamata diambil dari nama seorang Pangeran Ternate, Kaicil Kalamata, kakak dari Sultan Mandarsyah dan paman dari Sultan Kaicil Sibori Amsterdam (1675-1690). Pangeran Kalamata wafat di Makassar pada 1676.
Selain digunakan sebagai pos perdagangan, benteng yang juga dikenal dengan benteng Kayu Merah ini juga dimanfaatkan sebagai pusat untuk melancarkan serangan terhadap bangsa Belanda. Pada 29 April 1798, benteng Kalamata direbut oleh pasukan Kaicil Nuku (Sultan Tidore ke-19) yang dibantu pasukan dan kapal Inggris. Benteng ini diperbaiki oleh Mayor Lutzow pada tahun 1799. Akibat dikhianati, benteng ini jatuh ke tangan Inggris pada tahun 1810. Tahun 1843, Residen van Helback resmi mengosongkan benteng ini.
Benteng Kalamata pernah dipugar oleh Pemerintah RI tanggal 1 Juli 1994 dan diresmikan purna pugarnya tanggal 25 November 1997 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro. Kemudian pada tahun 2005, Pemerintah Kota (Pemkot) Ternate merenovasi benteng ini dengan menambahkan halaman dan rumah untuk penjaga benteng Kalamata.
Pada tahun 2013, Balai Pelestarian Cagar Budaya melakukan kegiatan rehabilitasi terhadap benteng Kalamata yang bertujuan untuk memperbaiki bagian-bagian benteng yang mengalami kerusakan. Rehabilitasi itu dilakukan dengan membongkar dan memasang kembali batu pada dinding dan lantai yang mengalami retak-retak, melakukan pemadatan tanah di bawah lantai, membersihkan sumur yang terdapat di dalam benteng, dan sekaligus menata lingkungan benteng. Sehingga, kawasan benteng ini menjadi the spirit of place yang mengandung nilai heritage yang sesungguhnya. *** [161014]
Share:

Benteng Oranje Ternate

Berkeliling Kota Ternate bisa menjadi yang menyenangkan selama di sana. Banyak obyek wisata bisa dikunjungi di Kota Ternate. Salah satunya adalah benteng Oranje (Fort Oranje).
Benteng Oranje terletak di Jalan DR. Hasan Boesoiri, Kelurahan Gamalama, Kecamatan Ternate Tengah, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara. Lokasi benteng ini berada kawasan komersial dari pusat Kota Ternate.
Menurut sejarahnya, kehadiran benteng ini tidak terlepas dari hasil bumi yang ada di sana, yaitu rempah-rempah. Diawali dengan kedatangan seorang Laksamana VOC bernama Kornelis Matelief de Jonge pada tahun 1607 yang berdalih ingin membantu Sultan Ternate untuk mengusir bangsa Spanyol dari Ternate. Atas keberhasilannya tersebut, de Jonge mendapat izin dari Sultan Ternate untuk mendirikan sebuah benteng di tempat yang sama dengan Benteng Malayo, sebuah benteng peninggalan Portugis. Selain itu, Sultan Ternate juga memberi izin kepada VOC untuk melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah di wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate.


Langkah pertama Laksamana Matelief de Jonge adalah mendirikan sebuah benteng di sekitar Kampung Melayu, dan meminta jogugu Hidayat agar mengerahkan ratusan orang Ternate dan Jailolo untuk bekerja setiap hari membantu membangun benteng tersebut. Benteng Oranje ini didirikan di atas bekas benteng tua yang dulunya dibangun oleh Portugis.
Ketika pembangunannya selesai pada tahun 1609, benteng ini dihuni 150 serdadu dengan lima perwira dan merupakan garnisun Belanda pertama di Maluku. Kemudian benteng ini namanya diubah menjadi Benteng Oranje oleh penguasa Belanda kala itu, Francoise Wittert. Namun demikian nama Benteng Malayo masih tetap digunakan hingga beberapa tahun kemudian. Dulu dinamakan benteng Malayo karena lokasi berdiri benteng tersebut berada di kawasan sekitar pemukiman Melayu. Konon, orang Melayu telah berada di Ternate sejak abad ke-14 untuk berdagang.
Pada tanggal 17 Februari 1613, ketika Pieter Both diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama, Dewan Komisaris VOC di Belanda menetapkan kawasan Maluku sebagai pusat kedudukan resmi VOC dan Benteng Oranje ini menjadi pilihan tempat tinggal resmi para Gubernur Jenderal VOC. Pieter Both dan beberapa Gubernur Jenderal setelahnya pernah tinggal di benteng ini.


Benteng Oranje yang berbentuk trapesium ini berdiri di atas lahan seluas 12.680 m² dan mempunyai 4 buah bastion pada setiap sudutnya. Ketinggian tembok benteng ini sekitar 5 meter dengan kemiringan 4 derajat. Ketebalan tembok luar bangunan benteng ini sekitar 1 meter. Sedangkan, tembok bagian dalam benteng memiliki ketebalan 0,75 meter.
Di atas tembok benteng ini terdapat rampart atau jalan keliling yang menghubungkan keempat bastion di tiap sudutnya. Rampart ini berada pada ketinggian sekitar 3,5 meter dari tanah dan mempunyai jarak sekitar 1,1 meter dari ketinggian dinding tembok.
Pada kedua sudut bagian dalam dari bastion yang terletak di sisi Barat Laut dan Timur Laut terdapat ramp berukuran 15 x 3 meter menuju ke bagian atas bastion. Selain itu terdapat juga 2 buah tangga yang berbentuk setengah melingkar pada bagian dalam pintu gerbang utama dan pada bastion di sisi Barat Daya. Sedangkan, di atas pintu gerbang utama terdapat lonceng besar yang ditopang oleh dua balok kayu besar. Semula lonceng buatan Perio Diaz Bocarro tahun 1603 ini didatangkan langsung dari Portugal, dan ditempatkan di benteng Gamlamo. Akan tetapi, ketika Portugis meninggalkan Ternate, lonceng tersebut sempat dipindahkan VOC dan digantung di pintu masuk benteng Oranje. Hingga 1950 lonceng ini masih terpasang di sana, dan sejak 1951 dipindahkan dan disimpan pada gereja Katolik (Gereja Batu) di Ternate. *** [161014]
Share:

Masjid Kesultanan Ternate

Masjid Kesultanan Ternate merupakan masjid milik Kesultanan Ternate yang menjadi bukti sejarah yang kuat tentang masuknya Islam di daerah Ternate. Masyarakat setempat biasa menyebut dengan istilah Sigi Lamo. Sigi artinya masjid dan Lamo artinya besar, agung, mulia, dan luhur.
Masjid ini terletak di Jalan Sultan Babullah Kelurahan Soa Sio, Kecamatan Ternate Utara, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara. Lokasi masjid berada di sebelah selatan dari Kedaton Kesultanan Ternate yang jaraknya sekitar 100 meter.
Berdasarkan catatan sejarah yang ada, Masjid Kesultanan Ternate diperkirakan telah dirintis sejak masa Sultan Zainal Abidin (1486-1500), namun ada juga yang beranggapan bahwa pendirian Masjid Sultan baru dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Hamzah (1627-1648), sultan Ternate ke-12 dihitung setelah kerajaan tersebut menjadi Islam (Dede Burhanudin, dkk., 2013: 205). Hingga sekarang, belum ditemukan angka valid sejak kapan sebetulnya Masjid Sultan Ternate didirikan. Namun, masyarakat setempat meyakini bahwa masjid tersebut telah berusia ratusan tahun lebih.


Sebagaimana Kesultanan Islam lainnya di Nusantara, Masjid Sultan Ternate dibangun di dekat Kedaton Sultan Ternate. Sekitar 50 meter dari masjid ini terdapat sebuah rumah kediaman Prins Muhammad (saudara Sultan Ternate, Iskandar Muhammad Djabir Syah) yang pernah dikunjungi oleh Alfred Russel Wallace, seorang peneliti berkebangsaan Inggris.
Posisi masjid ini tentu saja berkaitan dengan peran penting masjid dalam kehidupan beragama di Kesultanan Ternate. Tradisi atau ritual-ritual keagamaan yang diselenggarakan kesultanan selalu berpusat di masjid ini, termasuk untuk menjalankan ibadah salat berjamaah. Waktu-waktu yang digunakan Sultan untuk menunaikan salat berjamaah tersebut lebih dikenal dengan Jou Kolano Uci Sabea (Sultan turun bersembahyang) yang biasanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu seperti pada saat bulan Ramadhan, atau saat malam Lailatul Qadar, hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Pada waktu-waktu tersebut, ribuan umat Islam Kota Ternate selalu datang memenuhi halaman masjid hingga bagian halaman luarnya untuk menjalankan salat berjamaah bersama Sultan.


Masjid berukuran 22,40 x 39,30 meter dengan tinggi 21,74 meter ini, dibangun dengan komposisi bahan yang terbuat dari susunan batu dengan bahan perekat dari campuran kulit kayu pohon kalumpang. Atap masjid ditopang 4 tiang utama dan 12 tiang pembantu. Sementara arsitekturnya mengambil bentuk segi empat dengan atap berbentuk tumpang limas (tajug), di mana tiap tumpang dipenuhi dengan terali-terali berukir. Arsitektur ini nampaknya merupakan gaya arsitektur khas masjid-masjid awal di Nusantara, seperti halnya masjid-masjid pertama di tanah Jawa di mana atapnya tidak berbentuk kubah melainkan tajug.
Masjid ini pernah mengalami pemugaran yang dilakukan oleh pemerintah, atau dalam hal ini adalah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, pada tanggl 29 April 1982 dengan biaya APBN 1981/1982 sebesar Rp 200.000.000,- dan diresmikan oleh Direktur Jenderal Kebudayaan, Haryati Soebadio pada tanggal 15 Oktober 1983.
Sebagai tinggalan arkeologi Islam di Ternate, Masjid Kesultanan Ternate masih berdiri kokoh dan megah sampai sekarang, dan telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya (BCB) yang harus dilestarikan dan dilindungi. Sesuai dengan pesan yang ada di papan depan masjid, “Ini Torang Punya Jaga Bae-Bae.” (Ini Punya Kita Semua, Jadi Dijaga Yang Baik). *** [161014]
Share:

Kedaton Kesultanan Ternate

Berkeliling Kota Ternate memang mengasyikkan. Selain menikmati kekayaan dan keindahan alamnya, juga bisa menyaksikan warisan budaya yang tak kalah menariknya. Salah satu warisan tersebut adalah Kedaton Kesultanan Ternate.
Kedaton Kesultanan Ternate terletak di Jalan Sultan Khairun No. 1 Kelurahan Salero, Kecamatan Ternate Tengah, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara. Lokasi kedaton ini berada di samping Kantor RRI Kota Ternate.
Kedaton (istilah yang dipakai bukan kraton atau istana) Kesultanan Ternate merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di Nusantara. Menurut naskah kuno, Kesultanan Ternate didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada tahun 1257. Sekitar abad ke-13 hingga abad ke-17, Kesultanan Ternate memiliki peranan penting di wilayah timur Nusantara, sebagai salah satu titik penting perdagangan internasional pada masa itu.


Limau Gapi, sebutan Kesultanan Ternate dalam bahasa lokal, merupakan salah satu dari empat kerajaan di wilayah Maluku Utara yang saling bersaudara bersama dengan Kesultanan Tidore, Kesultanan Bacan, dan Kesultanan Jailolo.
Pada masa kekuasaan Raja Zainal Abidin (1486-1500) untuk pertama kalinya istilah raja (kolano) diganti dengan sebutan sultan. Bahkan Islam diakui sebagai agama resmi kerajaan dengan memberlakukan syariat Islam serta membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam. Sejak masa itu, Kesultanan Ternate berkembang dengan nuansa syariat dan budaya Islam.
Cengkih (Eugenia aromatica) dan pala (myristica fragrans) merupakan komoditi perdagangan Kesultanan Ternate yang mampu membuat salah satu kerajaan Islam tertua di Nusantara ini termashyur namanya hingga ke belahan dunia Eropa sana. Datangnya bangsa Eropa ke wilayah Ternate turut mengangkat kemajuan perdagangan cengkih dan pala di wilayah kerajaan ini.
Seperti yang diketahui, kerajaan-kerajaan Maluku mengandalkan sumber penghasilannya dan sektor produksi dan perdagangan rempah-rempah (cengkih dan pala). Ternate berhasil meraih hegemoni politik hingga penghujung abad ke-16 dan beberapa dekade pada abad sesudahnya, karena menguasai sebagian besar – bahkan menjadi sentra perdagangan – rempah-rempah di Maluku.
Berkat kemajuannya dalam perdagangan ini, Kesultanan Ternate mampu memperluas wilayah kekuasaannya hingga meliputi Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi bagian timur dan tengah, wilayah selatan Filipina, bahkan hingga Kepulauan Marshall di Pasifik.


Namun pada waktu Portugis mulai menemukan Maluku dengan kedatangan Fransisco Serrao di Ternate pada tahun 1512, merupakan awal sejarah perdagangan rempah-rempah yang panjang dan penuh konflik antara sesama kerajaan Maluku ataupun antara kerajaan-kerajaan di Maluku dengan orang-orang Eropa serta antara sesama orang Eropa. Konflik-konflik ini terutama dilatari kehendak untuk memperebutkan rempah-rempah dan perniagaannya atau untuk mendapatkan hak monopoli atasnya. Konflik-konflik yang berkepanjangan dan rumit, yang terjadi pada masa-masa selanjutnya, tidak hanya merambat ke dalam kehidupan sosio-kultural dan keagamaan, tetapi juga menggembosi dan meludeskan kedaulatan serta kemerdekaan kerajaan-kerajaan Maluku, termasuk di antaranya Kedaton Kesultanan Ternate.
Situasi dan kondisi seperti itu pada kenyataannya turut mempengengaruhi pasang surut mengenai Kedaton Kesultanan Ternate hingga pada akhirnya dibangunlah kedaton seperti saat ini. Kedaton Kesultanan Ternate ini berdiri di atas lahan seluas 4,5 hektar di bukit Limau. Bangunan ini berdiri sejak 24 November 1813 pada masa pemerintahan Sultan Ternate ke-40, Muhammad Ali.
Bangunan istana yang memiliki arsitektur khas ini, bentuknya menyerupai seekor singa yang sedang duduk dengan dua kaki depan menopang kepalanya, dan menghadap ke arah laut. Sedangkan, pemandangan di belakang dari kedaton ini tampak menjulang tinggi Gunung Gamalama. Tepat di depan kedaton terdapat alun-alun.
Kesultanan Ternate ini masih eksis hingga kini, di mana Kedaton Kesultanan Ternate masih berdiri kokoh di tengah Kota Ternate, dan kawasan kedaton ini menjadi situs penting yang mengandung nilai heritage. Bagi yang meminati sejarah, kawasan kedaton ini layak menjadi tujuan kunjungan Anda di Ternate. *** [161014]

Kepustakaan:
M. Adnan Amal, 2006. Kepulauan Rempah-Rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950, __
Fadhal AR Bafadal & Rosehan Anwar (Editor), 2005. Mushaf-Mushaf Kuno di Indonesia, Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Departemen Agama RI
Sriwijaya In-flight Magazine Volume 20/Tahun II/Oktober 2012
Share:

Rumah Adat Sasadu Golo

Suku Sahu, pada mulanya bernama Ji’o Japung Malamo kemudian berganti nama menjadi Sahu. Perubahan nama ini, konon berhubungan dengan Sultan Ternate. Pada waktu itu, salah seorang sangaji (kepala pemerintahan wilayah) dipanggil menghadap Sultan Ternate. Ketika bertemu dengan sultan, Sultan Ternate sedang makan sahur, dan beliau pun dengan menggunakan bahasa Ternate “Hara kane si jou sahur, jadi kane suku ngana si golo ngana jiko sahu.” (Karena kau sangaji datang pada waktu sultan sedang makan sahur maka kemudian hari ini kau akan mendirikan daerahmu dan namailah sahu). Sejak saat itulah, daerah yang didiami berubah menjadi Sahu, dan masyarakat yang mendiami wilayah tersebut dikenal dengan Suku Sahu.
Pada masa kesultanan Ternate sesudah Baab Mansyur Malamo, suku Sahu terdiri atas dua kelompok masyarakat adat, yaitu Tala’i dan Padasua (Ji’o Tala’i re Padasua). Tala’i, bermula ketika Sultan Ternate menyebarkan agama Islam di wilayah tersebut, mereka menyambut dan berdatangan ke hadapan sultan. Tala’i, artinya berhadapan (dengan sultan). Sedangkan, mereka yang tidak terpengaruh dan tetap mempertahankan kepercayaan nenek moyangnya dikenal dengan Padasua. Padasua, artinya dipanggil tapi tidak menyahut.


Meskipun mereka berbeda sebutan, mereka tetap patuh terhadap sultan, dan kedua kelompok masyarakat ini memiliki kesamaan budaya dalam wujud benda-benda hasil karya manusia. Salah satunya adalah arsitektur khas masyarakat setempat yang dinamakan sasadu (rumah adat) Golo.
Rumah Adat Sasadu Golo ini terletak di Desa Golo, Kecamatan Sahu Timur, Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara. Sama halnya dengan Rumah Adat Sasadu di Kampung Idam Gammalamo, rumah adat ini juga sudah dibangun ratusan tahun lalu secara turun temurun oleh nenek moyang masyarakat Sahu. Fungsi Rumah Adat Sasadu Golo ini pun tidak berbeda, yaitu sebagai tempat berkumpul dan bermusyawarah, juga tempat dilaksanakannya upacara dan ritual adat.
Bentuk konstruksi Rumah Adat Sasadu Golo ini hampir sama dengan konstruksi Rumah Adat Sasadu Idam Gammalamo, hanya saja rumah adat ini memiliki ukuran yang lebih kecil dan sebagian atapnya telah menggunakan semen. Tiang-tiang kayu Gufasa di Rumah Adat Sasadu Golo ini telah diwarnai merah dan kuning serta pada salah satu tiang melintang penyangga atapnya terdapat hiasan ukiran naga dan bunga.
Kini, Rumah Adat Sasadu Golo telah ditetapkan sebagai cagar budaya yang dilindungi oleh UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. ***
Share:

Masjid Kesultanan Bacan

Pulau Bacan merupakan salah satu pulau yang berada di gugusan kepulauan di Maluku Utara, yaitu di sebelah barat daya Pulau Halmahera. Pulau ini memiliki banyak daya tarik bagi pelancong untuk mengunjunginya. Pantai dengan pasir putih dengan lambaian pohon nyiur yang berjajar, terumbu karang berikut aneka macam ikan yang berenang di dalamnya, dan eksotisnya batu Bacan yang begitu tersohor merupakan beberapa spot yang menjadi alasan untuk mengunjunginya. Namun sebenarnya, Pulau Bacan juga mempunyai peninggalan sejarah yang tak kalah menariknya. Selain, benteng Barnaveld, Istana Sultan Bacan, terdapat juga Masjid Kesultanan Bacan.


Masjid Kesultanan Bacan merupakan bagian dari Kedaton Kesultanan Bacan yang digunakan sebagai pusat ibadah dan pusat kebudayaan Islam di Pulau Bacan. Masjid ini terletak di Kelurahan Amasing Kota RT.03 RW.07, Kecamatan Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Masjid ini berada di tengah-tengah pemukiman yang terdapat di Kota Labuha. Kurang lebih 100 m ke arah barat dari Kedaton Sultan Bacan.
Ada beberapa pendapat penanggalan Masehi pendirian Masjid Kesultanan Bacan. Ada yang mengatakan bahwa masjid ini didirikan semasa pemerintahan Sultan Usman Syah pada akhir abad 18 setelah sultan berguru kepada Syekh Sulaiman As Samadani, seorang ulama asal Jawa yang diasingkan ke Ambon. Sedangkan, pada Direktori Masjid Bersejarah (2008) disebutkan bahwa masjid ini dibangun sekitar tahun 1901 yang diarsiteki oleh Cronik van Hendrik, seorang arsitek dari Jerman, pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Sadek.


Terlepas dari perbedaan itu, masyarakat Labuha meyakini bahwa masjid tersebut telah berumur ratusan tahun. Masjid berdenah persegi ini memiliki atap limasan bersusun dua yang berdiri di atas lahan seluas 6.020 m². Pada kubah limas paling atas terdapat kaligrafi di setiap sisinya. Pada salah satu terasnya, terdapat sebuah bedug bercat hijau yang memiliki diameter 1 m dengan panjang 1,5 m, sedangkan pada bagian belakang masjid terdapat kompleks pemakaman kuno keluarga serta kerabat dari Kesultanan Bacan.
Masjid Kesultanan Bacan ini tidak dikelilingi pagar, akan tetapi dekat masjid dari tiga arah jalan masuk ke lingkungan masjid tersebut terdapat pintu gapura beratap gua susun sebagai gerbang menuju lingkungan masjid tersebut. *** [161014]
Share:

Kedaton Kesultanan Bacan

Menyusuri Pelabuhan Labuha di Pulau Bacan menjadi aktivitas yang menyenangkan. Tidak sekadar menyaksikan kegiatan bongkar muat kapal yang membawa ikan tapi juga bisa merasakan segarnya tiupan angin yang berasal dari Selat Bacan maupun Selat Herberg. Tidak jauh dari pelabuhan tersebut menuju ke arah barat, Anda akan bisa melihat sebuah bangunan beratap hijau yang khas kolonial. Bangunan tersebut merupakan kedaton atau kraton dari Kesultanan yang menjadi bangunan terakhir yang ditinggali oleh Sultan Bacan. Bangunan kraton yang sekarang ini sekilas menyerupai rumah tinggal biasa. Akan tetapi, bila diperhatikan lebih seksama lagi, gaya arsitekturnya masih menunjukkan ciri-ciri arsitektur gaya kolonial kuno pada bagian atap dan jendela-jendela yang ada.
Kedaton atau Kraton Sultan Bacan ini terletak di Jalan Oesman Syah RT.03 RW.07 Kelurahan Amasing Kota, Kecamatan Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan. Lokasi kedaton ini berada sekitar 100 meter dari Masjid Kesultanan Bacan.


Menurut Hikayat Bacan, yang dipublikasikan pada 1923 oleh W. Ph. Coolhaas dalam Tijdschrift van het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschap (jilid LXIII, penerbitan kedua), disebutkan bahwa pada zaman dahulu kala pulau Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Bacan menyatu dalam satu semenanjung, yang dinamakan Tanah Gapi. Kemudian datanglah seorang saudagar sekaligus pendakwah dari Jazirah Arab yang bernama Jafar Sadek ke Tanah Gapi. Jafar Sadek mempunyai empat orang anak laki-laki dan empat orang anak perempuan. Ketika anak-anaknya telah menginjak dewasa, Jafar Sadek berdoa kepada Allah SWT agar anak-anaknya kelak dijadikan raja di tempat yang berlainan, dan setelah itu terdengar guntur, kilat, hujan dan angin ribut di malam yang gelap gulita. Akibatnya, Tanah Gapi terpecah menjadi pulau-pulau. Anak lelaki pertama, Buka, kemudian bertolak ke Makian dan menjadi cikal bakal Kerajaan Bacan. Anak lelaki kedua, Darajat, bertolak ke Moti dan menjadi cikal bakal Kerajaan Jailolo. Anak lelaki ketiga, Sahajat, pergi ke Tidore dan menjadi cikal bakal Kerajaan Tidore. Anak lelaki keempat, Mashur Malamo, berlayar ke Ternate dan menjadi cikal bakal Kerajaan Ternate, sedangkan keempat anak perempuannya pergi ke Banggai dan bermukim di sana. Kesultanan Bacan merupakan salah satu dari empat Kesultanan Moloku Kie Raha (Kesultanan Empat Gunung di Maluku) yang ada di Maluku Utara.
Kedudukan awal Kerajaan Bacan bermula di Makian Timur, kemudian dipindahkan ke Kasiruta lantaran ancaman gunung berapi Kie Besi. Kebanyakan rakyat Bacan adalah orang Makian yang ikut dalam evakuasi bersama rajanya. Diperkirakan, Kerajaan Bacan didirikan pada tahun 1322. Tidak jelas bagaimana proses pembentukannya tetapi bisa ditaksir sama dengan kerajaan-kerajaan lainnya di Maluku, yakni bermula dari pemukiman yang kemudian membesar dan tumbuh menjadi kerajaan.


Raja pertama Bacan, menurut hikayat tersebut adalah Said Muhammad Bakir, atau Said Husin, yang berkuasa di Gunung Makian dengan gelar Maharaja Yang Bertahta Kerajaan Moloku Astana Bacan, Negeri Komala Besi Limau Dolik. Raja pertama ini berkuasa selama 10 tahun, dan meninggal di Makian. Pada 1343, bertahta di Kerajaan Bacan Kolano Sida Hasan. Dengan bekerja sama dengan Tidore, Sida Hasan berhasil merebut kembali Pulau Makian dan beberapa desa di sekitar Pulau Bacan dari tangan Raja Ternate, Tulu Malamo.
Hikayat Bacan juga menyebutkan bahwa Sida Hasan naik tahta menggantikan ayahnya Muhammad Hasan. Pada masa Sida Hasan inilah terjadi evakuasi ke Bacan. Orang-orang Makian yang dievakuasi ke Bacan menempati kawasan Dolik, Talimau dan Imbu-imbu. Raja yang berkuasa setelah itu adalah Zainal Abidin. Sayangnya, hikayat ini tidak menjelaskan kapan Sida Hasan maupun Zainal Abidin berkuasa. Kemungkinan besar keberadaan raja atau raja-raja tertentu sebagai mata rantai yang hilang antara masa Sida Hasan dan Zainal Abidin, karena Sida Hasan dikabarkan bertahta pada 1343, sementara Zainal Abidin pada 1522.
Bacan, dalam bahasa setempat memiliki arti harfiah membaca. Membaca di sini dimaknai dengan memasukkan sesuatu, atau usaha sadar yang dilakukan seseorang untuk memasukkan sesuatu ke dalam otaknya untuk menjadi pengetahuan. Makna tersebut tidak bisa dilepaskan juga dengan tugas dan fungsi Sultan Bacan kala itu.
Kesultanan Bacan dalam Kesultanan Moloku Kie Raha memiliki peranan penting sebagai pemasok bahan-bahan pangan untuk seluruh wilayah Maluku Utara. Pada masa kejayaannya dulu, wilayah kekuasaan Kesultanan Bacan tergolong cukup luas, yaitu dari sebagian daerah di Sulawesi bagian utara, Filipina bagian selatan hingga ke wilayah Papua sebelah barat. Tidak hanya itu, Pulau Bacan yang menjadi pusat Kesultanan Bacan memiliki kekayaan hasil alam yang diminati dunia internasional pada waktu itu berupa rempah-rempah, seperti cengkeh dan pala. Tak heran kalau bangsa Portugis sebelum mengunjungi kawasan Maluku dengan Kepulauan Rempah-Rempah (as Ilhas de Crafo).
Pengaruh bangsa Eropa pertama di Pulau Bacan diawali dengan kedatangan bangsa Portugis untuk mencari rempah-rempah yang menjadi komoditas yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi di pasar Eropa kala itu. Bermula dari inilah akhirnya Pulau Bacan secara silih berganti menjadi koloni sejumlah negara dari Eropa, seperti Portugis, Spanyol, dan terakhir Belanda. Perebutan monopoli akan rempah-rempah tersebut, pada tahun 1889 sistem monarki Kesultanan Bacan diganti dengan sistem ke pemerintahan di bawah kontrol Hindia Belanda. *** [141014]

Kepustakaan:
https://www.academia.edu/4487710/Sejarah_Kepulauan_Rempah_Rempah
http://id.wikipedia.org/wiki/Hikayat_Bacan
Share:

Benteng Barnaveld

Pulau Bacan merupakan salah satu di antara gugusan Kepulauan Maluku yang terdapat di sebelah barat daya Pulau Halmahera. Bacan, selain terkenal dengan rempah-rempah, hasil laut, dan dikenal sebagai daerah penghasil batu bacan yang kesohor ke seantero Indonesia ini, juga kaya akan nilai sejarah dan warisan budaya. Salah satu bentuk peninggalan sejarah dan warisan budaya yang terdapat di Pulau Bacan adalah benteng Barnaveld atau Fort Oldebarneveld te Batjan op de Molukken, biasanya disingkat menjadi Fort Barnaveld saja.
Benteng Barnaveld terletak di Jalan Benteng Barnaveld RT.04 RW.08 Kelurahan Amasing Kota, Kecamatan Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Lokasi benteng ini berada di samping kanan perguruan milik Yayasan Al Khairaat.


Ketika bangsa Portugis tiba di Maluku, Bacan merupakan salah satu dari empat kerajaan besar yang ada di Maluku, atau yang dikenal dengan Kesultanan Moloku Kie Raha (Kesultanan Empat Gunung di Maluku).
Bangsa Portugis sebelum mengunjungi kawasan ini menyebutnya dengan Kepulauan Rempah-Rempah (spice island). Penyebutan ini, dalam abad pertengahan, diberikan sebelum orang Barat mengetahui secara pasti lokasi negeri asal rempah-rempah yang mereka konsumsi.
Thome Pires dalam bukunya, Suma Oriental: an Account of the East, from the Red Sea to Japan, -yang ditulis di Malaka dan diselesaikan di India antara 1512-1515 - dalam M. Adnan Amal (2006) diceriterakan bahwa tanah asal tanaman cengkih (eugenia aromatica) adalah lima pulau kecil di Maluku, yaitu Ternate, Tidore, Moti, Makian dan Bacan. Sementara tanah asal pala (myristica fragrans) adalah Banda, tetapi di Bacan juga tumbuh pohon tersebut, yang mungkin disebarkan ke sana oleh burung atau manusia.
Pada abad pertengahan, rempah-rempah masih merupakan barang mewah di Eropa yang bernilai sangat mahal. Karena harga jualnya yang sangat tinggi di pasaran Eropa, tidaklah mengherankan jika para pedagang berusaha mati-matian membawanya ke sana, sekalipun dengan resiko tinggi yang mesti dihadapi sepanjang jalur perniagaan.
Di kalangan bangsa Eropa ketika itu, Spanyol dan Portugis merupakan pesaing keras dalam upaya menemukan daerah-daerah penghasil rempah-rempah tersebut, baru disusul oleh Belanda.


Pada tahun 1558 bangsa Portugis datang dan bermukim di Labuha, mereka mendirikan sebuah benteng kecil. Tidak lama benteng ini dibangun, bangsa Spanyol datang berdagang di benteng ini, alih-alih berdagang benteng ini justru direbut oleh Spanyol dari Portugis. Tahun 1609 Laksamana Muda Simon Hoen bersama dengan Sultan Ternate menuntut kepada bangsa Spanyol agar benteng ini diserahkan kepada mereka.
Tuntutan mereka ini tidak menunggu waktu untuk dipenuhi, benteng tersebut kemudian direnovasi dan diperkuat atas gagasan Hoen, Louis Schot dan Jan Dirkjzoon. Empat bastion kemudian dibangun dan menamai benteng ini dengan nama Barnaveld.
Ketika dikuasai Belanda pada tahun 1609, benteng ini dipugar dengan kapur dan batu. Di tengah-tengah benteng dibangun sebuah rumah yang kokoh dengan atap dari rumput kering dan ruangan bawah tanah dengan dinding setebal satu kaki. Di sekitar benteng ditemukan batu prasasti besar dengan tulisan Latin dan di bagian kanan batu prasasti tersebut terdapat tanda keluarga Pieter Both, Gubernur Jenderal pertama VOC.
Benteng berbentuk segi empat dilengkapi dengan tembok pertahanan yang rendah. Pada tembok pertahanan ini ditempatkan masing-masing sebuah bastion lengkap dengan meriam (sekarang tinggal empat buah meriam saja). Pintu gerbang utama dibangun berbentuk melengkung, menghadap ke arah Sungai Amasing yang konon menjadi pintu masuk ke Teluk Labuha yang menghadap ke Selat Bacan.
Benteng pernah diperluas dan dilengkapi dengan sebuah sumur dan sebuah tangga dari batu. Kemudian di dalamnya terdapat bangunan-bangunan kolonial lain sebagai pendukung aktivitas dalam benteng tersebut.
Pada waktu ditinggalkan oleh Belanda, benteng ini tidak terurus dan sempat diselimuti oleh semak belukar serta beberapa pohon beringin besar. Namun, ketika penulis berkunjung ke benteng tersebut merasa lega karena pada saat itu sedang dilakukan pemugaran benteng Barnaveld oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Balai Pelestarian Cagar Budaya Ternate dengan nomor kontrak 258/BPCB.TTE/2014 Tanggal 19 Mei 2014 dengan jangka waktu 120 hari kalender. Nilai kontraknya sebesar Rp 558.100.000,- yang bersumber dari APBN, dan kontraktor pelaksananya adalah CV. Iyan’s Pratama. *** [141014]
Share:

Pura Tanah Lot

Setelah puas menikmati daya tarik wisata Ulun Danu Beratan, bersama rombongan REDI, bus pariwisata diarahkan menuju ke Pura Tanah Lot. Seperti diketahui, di berbagai tempat di Bali banyak ditemukan pura sebagai tempat persembahyangan umat Hindu. Banyak kalangan spiritual menjadikan pura di Bali sebagai salah satu tempat untuk berkunjung dan melakukan persembahyangan (Tirta Yatra), karena aura magis dari pura di Bali itu sendiri.
Pemandu wisata yang menjadi satu paket dengan bus pariwisata bookingan REDI, sengaja memilihkan destini Pura Tanah Lot bukan asal comot saja. Pura ini begitu terkenal, tidak hanya di Bali, Nusantara bahkan hingga mancanegara. Keindahan Pura Tanah Lot dan alam sekitar lingkungannya sangat mempesona dan eksotis, terlebih saat matahari menjelang terbenam (sunset).
Pura Tanah Lot terletak di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Lokasi pura ini berjarak sekitar 33 km di sebelah barat Kota Denpasar atau berjarak sekitar 11 km di sebelah selatan Kota Tabanan.


Keistimewaan Pura Tanah Lot semakin menonjol, terlebih lagi jika dikaitkan dengan sejarah berdirinya Pura Tanah Lot tersebut berkaitan dengan perjalanan suci (Dharmayatra) Danghyang Dwijendra atau yang pada waktu walaka bernama Danghyang Nirartha dalam proses penyebaran agama Hindu di Bali.
Danghyang Nirartha adalah seorang baghawan yang hidup pada masa Kerajaan Majapahit yang berkeliling Pulau Bali pada sekitar tahun 1489. Sang baghawan tiba di Bali melalui Blambangan pada abad ke-15, dan disambut dengan baik penguasa Bali pada waktu itu, yaitu Raja Dalem Waturenggong. Ketika melakukan dharmayatra untuk mengajarkan agama Hindu hingga ke pelosok, beliau sempat berhenti dan beristirahat. Tempat berhenti tersebut berada di sebuah pulau kecil yang berdiri di atas batu karang.
Tak lama setelah Danghyang Nirartha beristirahat, berdatanganlah para nelayan dengan membawa berbagai persembahan untuk beliau. Kemudian pada malam harinya, Sang baghawan berkenan memberikan nasihat keagamaan seperti kebajikan dan susila kepada masyarakat desa yang datang menghadap, dan beliau menasihati kepada masyarakat desa untuk membangun parahyangan di tempat itu, karena getaran batin (wisik) beliau serta adanya petunjuk gaib bahwa tempat itu baik digunakan sebagai tempat untuk memuja Sang Hyang Widhi. Kemudian, setelah Danghyang Nirartha meninggalkan tempat itu, dibangunlah sebuah bangunan suci di atas batu karang yang berada di tengah laut. Dari sinilah nama Tanah Lot diambil. Tanah Lot terdiri atas dua kata, yaitu tanah dan lot. Pengertian tanah di sini, oleh masyarakat setempat diartikan sebagai batu karang yang menyerupai pulau kecil (gili), sedangkan lot berarti laut. Sehingga, nama Pura Tanah Lot diartikan sebagai tempat pemujaan (pura) yang dibangun di atas tanah di tengah laut.


Di kompleks pura yang berada di tengah laut tersebut, terdapat beberapa pelinggih seperti meru tumpang tujuh yang diperuntukkan sebagai tempat pemujaan bagi Dewa Baruna. Masyarakat Bali kerap menyebutnya dengan Bhatara Segara atau Dalem Tengahing Samudra. Sedangkan meru tumpang tiga digunakan untuk memuja Danghyang Nirartha atas jasa beliau dalam mengembangkan dan mengajarkan agama Hindu di daerah ini.
Di bawah Pura Tanah Lot terdapat sebuah ceruk menyerupai goa yang mana di dalamnya bisa ditemukan mata air tawar yang disucikan, karena meski persis berada di bawah pura yang berada di tengah laut namun rasanya tetap tawar. Banyak pengunjung yang berusaha masuk ke dalam goa tersebut sekadar untuk membasuh muka yang diyakini dapat menyebabkan awet muda hingga bisa memberikan keselamatan serta keberuntungan.
Tepat di seberang goa ini, pengunjung juga bisa menemukan sebuah goa lain yang dihuni oleh ular laut berwarna hitam dengan belang putih di tubuhnya. Masyarakat desa setempat percaya bahwa ular-ular tersebut merupakan jelmaan dari selendang Danghyang Nirartha yang bertugas untuk menjaga Pura Tanah Lot ini.
Selain bisa mendengarkan kisah keberadaan pura ini, pengunjungnya juga dapat menyempatkan diri untuk melihat maupun membeli souvenir khas Bali di deretan kios sebelum menuju Pura Tanah Lot ini. *** [111014]
Share:

Kawasan Wisata Ulun Danu Beratan

Senangnya hati ini berkesempatan keliling Bali. Berawal dari adanya hajatan pernikahan seorang teman kantor, terciptalah gagasan menarik dari Kantor Regional Economic Development Instute (REDI) untuk refreshing bagi karyawan-karyawannya, dan gratis pula.
Pada saat di Bali, kita dipandu oleh Event Organizer (EO) dari hotel tempat kita menginap. Sehingga, para karyawan REDI merasa senang dibuatnya. “Dari ketidaktahuan menjadi ketahuan,” kilah salah seorang teman yang duduk di bagian belakang dari Bus Pariwisata yang kita tumpangi.
Tujuan pertama kita di Bali adalah mendatangi hajatan teman yang sedang prosesi pernikahan di daerah Seririt, Kabupaten Buleleng. Sekitar sejam mengikuti prosesi pernikahan teman sekantor, perjalanan dilanjutkan ke Bedugul.
Bedugul adalah salah satu kawasan obyek wisata Bali yang banyak dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. Lokasinya yang berada di dataran tinggi menawarkan geografis perbukitan dengan cuaca yang sejuk, kurang lebih 18C - 22C, menjadikan Bedugul menjadi salah satu tujuan wisata yang cukup menarik di Bali. Bukan hanya itu, di daerah Bedugul terdapat kawasan wisata yang cukup ramai menjadi destini wisata, yaitu salah satunya adalah Kawasan Wisata Ulun Danu Beratan.


Kawasan Wisata Ulun Danu Beratan terletak di jalur jalan provinsi yang menghubungkan Denpasar dengan Singaraja. Lokasinya berada di Desa Candi Kuning, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Jaraknya kurang lebih 45 km dari pusat kota Kabupaten Tabanan dan 70 km dari Denpasar, Ibu Kota Provinsi Bali.
Sesuai nama kawasan wisatanya, daya tarik utama bagi wisatawan adalah adanya sebuah danau yang dikenal dengan Danau Beratan, atau biasa juga dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan Danau Bedugul.


Danau Beratan merupakan salah satu danau di Pulau Bali yang memiliki luas genangan 3,85 km², panjang danau sekitar 7,5 km, lebar 2,0 km, kedalaman maksimum sekitar 20 m serta berada di ketinggian 1.231 m di atas permukaan laut. Volume tamping air Danau Beratan adalah sebesar 49, 22 juta m³ dengan luas daerah tangkapan air seluas 13,40 km² (BPS Provinsi Bali, 2010).
Danau Beratan tergolong danau kaldera dengan sistem perairan yang tertutup (enclosed lake), yang secara alamiah terdapat pada kawasan ekosistem dengan bentuk wilayah yang bergunung pada tingkat kemiringan lereng 30%-60%.
Danau Beratan terbentuk karena adanya aktivitas vulkanik. Konon, Danau Beratan ini awalnya merupakan danau terbesar di Pulau Bali. Akan tetapi ketika terjadi gempa bumi yang sangat dahsyat pada masa silam, akhirnya Danau Beratan ini terbagi menjadi 3 bagian, yaitu Beratan, Tamblingan, dan Buyan. Semenjak itu, Danau Beratan menjadi danau terbesar kedua di Pulau Bali setelah Danau Batur kemudian disusul oleh Danau Buyan.


Nama “Beratan” diambil dari kata “Brata” yang berarti mengendalikan diri dengan menutup Sembilan lubang kehidupan. Kata “Brata” dapat dijumpai dalam istilah “Tapa Brata” yang berarti bersemedi atau bermeditasi untuk mencapai ketenangan agar dapat manunggal dengan alam dan berkomunikasi dengan Yang Maha Gaib.
Istilah tersebut menjadi signifikan, setelah menyaksikan bahwa di tepi Danau Beratan berdiri sebuah bangunan pura yang digunakan oleh umat Hindu untuk melakukan peribadatannya. Pura tersebut dikenal dengan Pura Ulun Danu Beratan. Pura ini dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai tempat bersemayamnya Sang Hyang Dewi Danu atau Dewi Sri sebagai dewi kesuburan, sehingga pura ini didirikan untuk memuja Dewi Danu. “Danu” sendiri adalah bahasa lokal Bali yang berarti “Danau”. Pura ini biasa digunakan oleh masyarakat Bali sebagai tempat menghaturkan sesaji atau bersemedi.
Berdasarkan Lontar Babad Mengwi, Pura Ulun Danu Beratan dibangun pada tahun 1556 Çaka (1634 M) oleh I Gusti Agung Putu yang bergelar I Gusti Agung Sakti. Namun ada juga yang meragukan dengan tahun pendirian tersebut. Hal ini disebabkan dengan ditemukannya sebuah sarkofagus dan papan batu yang berada di sebelah kiri halaman depan pura tersebut yang diperkirakan berasal dari kebudayaan megalitik sekitar tahun 500 M. Akan tetapi, yang jelas pura ini sudah berumur ratusan tahun lebih.
Pura Ulun Danu Beratan terdiri dari 4 bangunan suci, yaitu: Pura Lingga Petak dengan 3 tingkat meru sebagai tempat pemujaan bagi Dewa Siwa, Pura Penataan Puncak Mangu dengan 11 tingkat meru sebagai tempat pemujaan Dewa Wisnu, Pura Terate Bang sebagai pura utama, dan Pura Dalem Purwa sebagai tempat pemujaan kepada Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Trimurti guna memohon kesuburan, kemakmuran dan kesejahteraan.
Selain itu, pengunjung Kawasan Wisata Ulun Danu Beratan bisa berkeliling sejenak dengan menggunakan boat yang tersedia di kawasan tersebut. Sensasi lainnya, adalah adanya taman yang melingkungi kawasan tersebut sehingga pengunjung bisa betah berlama-lama di kawasan ini sambil bercengkerama dengan teman dan keluarga. *** [111004]

Share:

Museum Wallacea

Menurut definisi yang diusung oleh International Council of Museum (ICOM), museum adalah lembaga yang tidak mencari kentungan, bersifat permanen yang melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum, yang bertugas mengumpulkan, melestarikan, meneliti, mengkomunikasikan dan memamerkan warisan sejarah kemanusiaan yang berwujud benda dan tak benda beserta lingkungannya, untuk tujuan pendidikan, penelitian, dan hiburan.
Berdasarkan definisi ini, sesungguhnya museum mengemban tugas melayani masyarakat dan terbuka untuk umum serta mengandung arti pelayanan yang diberikan oleh museum yang berlaku bagi siapa saja. Kunjungan ke museum dengan berbagai alasan seperti untuk melakukan penelitian, untuk belajar, dan untuk bersenang-senang. Tak terkecuali bila Anda mengunjungi Museum Wallacea.


Museum Wallacea terletak di Jalan Mayjen S. Parman, Kelurahan Kemaraya, Kecamatan Kendari Barat, Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara. Lokasi museum ini di lantai empat lingkungan Universitas Haluoleo Program Pascasarjana atau yang dikenal dengan Kampus Abdullah Silondae.
Seperti yang tertulis di dinding dalam museum, disebutkan bahwa inisiator lahirnya Museum Wallacea Universitas Haluuleo (Unhalu) adalah Prof. DR. Ir. Usman Rianse, MS sejak tahun 2009. Beliau adalah seorang Rektor Unhalu yang ingin mengimplementasikan Ilmu Ekonomi Lingkungan dengan Prinsip Hubungan dan Keberlanjutan Antar Generasi atau yang dikenal dengan istilah “Save Our Earth”.


Gagasan ini akhirnya diwujudkan bersama seluruh pusat studi yang ada di Unhalu yang diharapkan dapat menjadi basis peningkatan ilmu pengetahuan tentang keanekaragaman hayati dan budaya, khususnya di lingkungan Unhalu. Selain melestarikan keanekaragaman kebudayaan Sulawesi, Museum Wallacea juga menjadi tempat diabadikannya jurnal-jurnal ilmiah dan merupakan tempat dilestarikannya keanekaragaman organisme air, darat, dan mikroorganisme di sekitar kawasan Sulawesi sampai kepulauan Raja Ampat, Papua. Sehingga, museum ini sesungguhnya hanya akan menyimpan keanekaragaman hayati dan budaya dari wilayah yang dikelilingi garis imajiner yang disebut garis Wallacea.
Garis tersebut dinamakan Wallacea untuk menghormati Alfred Russel Wallace, yang menyadari perbedaan yang jelas pada saat berkunjung ke Hindia Timur pada abad ke-19. Garis ini melalui Kepulauan Melayu, antara Kalimantan dan Sulawesi, dan antara Bali (di barat) dan Lombok (di timur). Daerah yang termasuk dalam kawasan Wallacea mulai dari Bali dan Nusa Tenggara, Sulawesi, Kepulauan Maluku sampai Kepulauan Raja Ampat.
Museum yang diresmikan pada hari Jumat, 6 April 2012 memang baru memiliki koleksi sekitar 230 buah namun akan diperbanyak terus koleksinya. Koleksi tersebut disimpan dan dipajang di di lantai empat gedung pascasajana Unhalu. Ruangan museum tersebut terdiri dari sebuah beranda dan lima buah ruang yang masing-masing ruang menyimpan jenis koleksi yang berbeda. Koleksi yang disimpan di museum ini dikelompokkan menjadi koleksi keanekaragaman hayati perairan, keanekaragaman hayati daratan, keanekaragaman hayati mikroorganisme, dan keanekaragaman budaya kawasan Wallacea. *** [081014]
Share:

Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tenggara

Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan museum milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara yang dikelola oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tenggara yang diharapkan menjadi lembaga penelitian, studi dan tempat pelestarian benda-benda warisan budaya bangsa serta sebagai pusat informasi yang bersifat edukatif kultural .
Museum ini terletak di Jalan Abunawas No. 191 Kelurahan Bende, Kecamatan Kadia, Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara. Lokasi museum ini berada di tengah kota dan berdekatan dengan Menara MTQ, sehingga masyarakat dapat dengan mudah berkunjung ke museum walaupun menggunakan transportasi umum.
Pembangunan Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tenggar berawal dengan adanya proyek nasional. Proyek tersebut mencanangkan pembangunan museum di seluruh Indonesia. Direktorat Jenderal Kebudayaan melalui Direktorat Permuseuman, melaksanakan pembangunan museum secara bertahap melalui program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada 1978/1979 dialokasikan anggaran untuk mendirikan museum tersebut. Kemudian mulai dibangun secara bertahap sejak tahun 1981.
Setelah beberapa gedung museum selesai, maka Museum Provinsi Sulawesi Tenggara diresmikan pada tanggal 9 Januari 1991 berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 001/0/1991. Dalam SK tersebut menyatakan bahwa museum sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPTD) dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Meski museum telah diresmikan pada tahun 1991, akan tetapi pembangunan fisik museum masih terus dilakukan hingga tahun 1994. Gedung yang dibangun pada saat itu adalah gedung pameran tetap seluas 900 m² melalui anggaran kegiatan tahun 1994/1995.


Lalu, seterusnya hingga sekarang, museum yang berdiri di atas lahan seluas 1,85 hektar dengan luas bangunan 3.170 m² ini memiliki gedung pameran tetap, gedung pameran temporer, laboratorium, gedung administrasi, tempat koleksi rumah perahu suku Bajo, tempat koleksi mobil, tempat koleksi ikan paus, gedung kuratorial, tempat penampungan air, gedung penyimpanan koleksi (storage), dan koleksi rumah adat suku Tolaki, toilet serta taman yang luas.
Gedung pameran tetap berada di bagian sudut kiri arah selatan. Gedung tersebut memiliki luas bangunan 900 m². Bentuk bangunan pameran tetap menggunakan arsitektur tradisional yang dikombinasikan dengan arsitektur modern. Arsitektur tradisional mengacu pada salah satu rumah ada Sulawesi Tenggara, yaitu rumah adat suku Buton (Kamali/Malige).
Dari informasi yang diperoleh dari petugas museum, diperkirakan jumlah koleksi yang ada di Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tenggara lebih dari 800-an koleksi, tidak termasuk koleksi rumah adat Tolaki, tempat penyimpanan kerangka ikan paus, tempat penyimpanan mobil kuno dan tempat penyimpanan rumah suku Bajo.
Koleksi Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tenggara dipamerkan dalam gedung yang terdiri atas dua lantai. Lantai satu terdiri atas ruang pamer koleksi geologi, biologi dan teknologi.
Untuk lantai dua terdapat ruang penyajian informasi koleksi etnografi, arkeologi, histori, numismatik, filologi, keramik, dan kesenian.

Koleksi Geologi
Koleksi geologi yang dipamerkan meliputi jenis-jenis batu alam yang ada di Sulawesi Tenggara, seperti batu silica, marmer, batu gabro dan batu onix, maket PT. Aneka Tambang dan hasil tambang yang ada di Pomalaa seperti batu nikel, pellet, elektroda pasta, fero silicon, batu bara, fero nikel skot (butiran) dan fero nikel ingot (batangan).
Selain itu, ada juga koleksi berupa bahan baku aspal, pasir yang mengandung aspal seperti butimen, aspal mikro, modifair dan lasbutak yang berasal dari Buton.

Koleksi Biologi
Pada koleksi biologi ini disajikan hewan yang hidup di laut seperti sepalopoda, tiram mutiara dan keong paya. Kemudian ada koleksi kalajengking dan tripang, kepiting, rajungan, udang kipas, kura-kura dan penyu yang telah diawetkan.
Selain, ada juga koleksi kupu-kupu yang beraneka warna, burung alap-alap dan burung rangkong yang didesain bertengger di dahan, koleksi biawak, anoa dan rusa.
Semua koleksi yang disajikan merupakan kekayaan biota yang langka dan menjadi kekhasan Sulawesi Tenggara.

Koleksi Teknologi
Pada ruang koleksi teknologi ini disajikan berbagai koleksi bidang ilmu pengetahuan, alat transportasi laut seperti perahu bercadik yang digunakan untuk menangkap ikan, bagang terapung, alat angkut (kalabandi) untuk hasil pertanian, mesin telegraf, teodolit, alat pencetak Koran dan alat industri rumah tangga berupa alat mengolah sagu, mengolah padi, alat pengolahan minyak kelapa dan peralatan yang terbuat dari besi.
Cara penyajian informasi koleksi teknologi disajikan dalam vitrin, ada juga koleksi yang dipamerkan dengan latar menggunakan gambar-gambar untuk menunjang kondisi koleksi yang ada.

Koleksi Etnografi
Di ruang koleksi etnografi dipamerkan koleksi kalosara, alat penginangan, baju adat penganting suku Tolaki, kain serta alat tenun suku Buton, alat dapur tradisional, alat rumah tangga dari bahan kuningan dan dari bahan anyaman, alat berburu, serta koleksi alat pertanian.

Koleksi Arkeologi
Pada ruang koleksi arkeologi disajikan koleksi prasejarah seperti replika manusia purba beserta alat yang digunakan oleh manusia purba tersebut dalam kegiatan sehari-hari.
Di sini juga terdapat wadah kubur prasejarah yang ditemukan di gua Tanggalasi Pakue, Kabupaten Kolaka Utara.

Koleksi Histori
Di ruang histori ini, bisa dilihat alat yang digunakan masyarakat Sulawesi Tenggara dalam sejarah perjuangannya melawan penajajah. Ada taawu (parang) yang merupakan senjata khas yang berasal dari suku Tolaki, pinai (parang) dari suku Buton, leko (keris) yang berasal dari suku Tolaki, mata tombak serta koleksi alat perang sekitar abad ke-17/18 seperti meriam dan pelurunya.
Selain itu, ada juga koleksi kebesaran Kerajaan Buton yang digunakan oleh raja seperti tombak dan pedang serta koleksi foto raja Buton.

Koleksi Numismatik
Di ruang koleksi numismatik bisa ditemukan koleksi mata uang kampua yang berjumlah tiga buah. Kampua adalah mata uang Kerajaan Buton yang terbuat dari kain tenun dalam berbagai ukuran dan motif.
Selain itu, ada juga koleksi mata uang Kerajaan Gowa, mata uang Kerajaan Majapahit, mata uang Belanda (gulden) dari bahan logam dalam berbagai nominal dan mata uang dengan seri Ratu Wilhelmina, uang kertas dari Jepang seri wayang tahun 1934-1939 dan seri Nica tahun 1946-1949.

Koleksi Filologi
Pada ruang koleksi filologi dipamerkan Al-Qur’an dalam tulisan tangan yang ditulis pada bahan kertas daluang, tasbih dari kayu, tongkat khotib, naskah Amarana yang dijadikan sebagai bahan khutbah Jumat yang digulung dan dimasukkan dalam bambu.
Selain itu, ada pula naskah lontara yang beraksara Bugis. Naskah ini ditulis berbahan kayu (bilangari) dan dipercaya oleh masyarakat untuk melihat hari-hari baik, misalnya untuk menentukan hari yang tepat untuk bepergian, bercocok tanam, berburu, menikah dan membangun rumah.

Koleksi Keramik
Di ruang koleksi keramik dipamerkan sejumlah keramik peninggalan dinasti Ming dan dinasti Ching. Keramik tersebut terbuat dari bahan porselen dan batuan.
Bentuk keramik yang dipamerkan, antara lain guci, tempayan, mangkuk pleret, jambangan, dan kendi.

Koleksi Kesenian
Koleksi yang dipamerkan di ruang koleksi kesenian ini merupakan alat kesenian, seperti alat music tiup (ore-ore mbondu). Ore-ore mbondu adalah alat musik yang terbuat dari tembaga atau tulang yang telah dilubangi, kemudian diberi tali. Alat music tersebut digunakan oleh muda-mudi saat panen.
Selain itu, ada kanda-kanda wuta, baasi, gendang (dimba), gong dan rebana. Kanda-kanda wuta adalah sebuah alat musik pukul yang digunakan untuk mengiringi tarian lulo. Lulo adalah tarian suku Tolaki yang dimainkan saat pesta. Sedangkan, baasi adalah alat musik yang terbuat dari bambu yang ditiup. *** [081014]
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami