Desa
Plumbangan merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Doko, Kabupaten
Blitar, Provinsi Jawa Timur. Topografi ketinggian desa ini adalah berupa dataran
tinggi .
Berdasarkan
data administrasi pemerintahan Desa Plumbangan tahun 2010, jumlah penduduknya
adalah 5.118 orang dengan jumlah 1.435 KK dengan luas wilayah 738,32 hektar. Desa
Plumbangan terdiri atas empat dusun, yaitu Dusun Plumbangan, Dusun Barek, Dusun
Precet, dan Dusun Pagak. Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai
petani yang didukung oleh lingkungan alam yang menopang pertanian.
Jarak
tempuh Desa Plumbangan ke ibu kota Kecamatan Doko yaitu sekitar 8 kilometer.
Sedang jarak ke ibu kota Kabupaten Blitar adalah sekitar 22 kilometer.
Secara
administratif, Desa Plumbangan dibatasi oleh wilayah desa-desa tetangga. Di
sebelah utara berbatasan dengan Desa Sumberurip. Di sebelah barat berbatasan
dengan Desa Wlingi, Kecamatan Wlingi. Di sisi selatan berbatasan dengan Desa
Suru, sedangkan di sisi timur berbatasan dengan Desa Suru.
Dalam
Dokumen Sejarah Desa Plumbangan Tahun 1042 Masehi – Sekarang Tahun 2011, dikisahkan
bahwa pada zaman pemerintahan Raja Sri Aji Jayabaya, raja dari Kerajaan Kediri,
terdapat sebuah desa yang lokasi agak jauh dari pusat kerajaan yang disebut
dengan Desa Panumbangan.
Awalnya,
desa tersebut terkenal dengan yang aman dan tenteram. Penduduknya hidup tenang,
dan bekerja seperti sedia kala. Ada yang bercocok tanam, menggembala sapi dan
merawat kuda kerajaan. Suatu ketika di pasetran sumur Gumuling, yang sekarang
dikeramatkan sebagai punden Blumbang, warga Desa Panumbangan dikejutkan
huru-hara karena ulah raja jin bernama Waroklodro. Setiap hari, Waroklidro
senantiasa menganggu penduduk desa yang akan mengambil air minum untuk memasak
dan mandi di Kali Tiko. Sehingga, hal ini menimbulkan keresahan bagi penduduk
Desa Panumbangan.
Salah
seorang penggembala sapi memberanikan diri untuk melaporkan kejadian di Desa
Panumbangan kepada raja di Kediri. Sesampainya di kerajaan, sang penggembala
diterima oleh raja tetapi sayangnya raja tidak dapat turun tangan sendiri.
Lalu, raja Kediri menyuruh minta bantuan di pasetran Pandan Rowo yang berada di
Watu Gede Wlingi. Begitu Sang Begawan menerima laporan, ia memerintahkan untuk
membuat Candi Lawang sebagai persyaratan dalam melawan raja jin Waroklodro.
Benar adanya, setelah Candi Lawang atau dikenal juga dengan Candi Watu Lawang berdiri,
raja jin merasa sangat senang dan bersila duduk di depan candi. Selanjutnya,
oleh Sang Begawan disiram dengan tirta suci pemusnah. Akibatnya, Waroklodro hilang
dan musnah.
Sebenarnya
sebelum Candi Watu Lawang jadi, candi atau pun arca-arca lainnya sudah dibuat.
Misalnya batu tulis (prasasti) yang sekarang berada di sebelah kanan depan
candi itu dibuat pada tahun 1042 Masehi, dan tertanggal 11 Agustus yang isinya
bukan merupakan silsilah raja-raja tetapi hanya merupakan sabda raja.
Isi
dari prasasti tersebut antara lain: “Sing
sopo manungso kang hanerak angger-angger dhawuhe nata lamun lumebu ing wana
gung cinakota ing ulo mandi, lamun lumaku ing bulak di sambera ing glap.”
(Barang siapa orang yang melanggar sabda baginda raja kalau masuk hutan
mudah-mudahan digigit ular berbisa dan dimakan harimau, kalau berjalan di
padang mudah-mudahan di sambar petir).Jadi, kalau dilihat dari batu tulis
tersebut, Desa Plumbangan yang dulunya dikenal dengan nama Desa Panumbangan itu
hari jadinya adalah tanggal 11 Agustus 1042.
Karena
desa tersebut telah berhasil meluruskan huru-hara dan keadaannya menjadi aman,
tenteram dan damai oleh sang raja diberikan hadiah menjadi tanah perdikan.
Artinya, desa tersebut dibebaskan dari pajak , desa tersebut tidak usah
membayar pajak kepada kerajaan.
Setelah
runtuhnya Majapahit, penduduk yang tinggal di desa tersebut tinggal sedikit,
yaitu sekitar 14 rumah tangga yang di antaranya pasangan dari Soka Sentono dan
Sokawati yang makamnya sampai sekarang masih dikeramatkan oleh warga Desa
Plumbangan.
Adapun
yang menjadi kepala desa yang pertama seiring terbentuknya pemerintahan desa
adalah Marto Djoyo (1905-1913). ***