Selama kurun waktu 1629-2012 tidak kurang dari 117 tsunami terjadi di Nusantara. Sebanyak 73 persen tsunami terjadi di bagian timur Indonesia, yaitu di wilayah yang terbentang dari Selat Makassar hingga Papua.
Salah satu tsunami terbesar yang terus dikenang adalah yang terjadi setelah Gunung Krakatau di Selat Sunda meletus pada 27 Agustus 1883. Tsunami ini merupakan jenis tsunami vulkanik yang langka.
Sebelumnya, naturalis Jerman, Georg Everhard Rumphius, yang bertugas di Maluku, mencatat tentang gempa diikuti tsunami yang menerjang Ambon pada 1674. Rumphius mencatat dalam dalam bukunya, Amboina, 1675, tentang tsunami yang melanda Ambon pada 1674. Inilah salah satu catatan tertua tentang tsunami yang melanda Nusantara, yang menewaskan anak dan isteri Rumphius serta ribuan orang pada waktu itu.
Beberapa peristiwa gempa dan tsunami pada masa lalu juga banyak ditulis A Wichmann dan J du Puy yang melaporkan gempa di pantai barat Sumatera pada tahun 1797 dan 1833.
Setelah kemerdekaan Indonesia, beberapa wilayah tercatat pernah dilanda tsunami, misalnya Halmahera pada April 1969, Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat) pada 19 Agustus 1977, pantai selatan Pulau Lomblen (Kabupaten Flores Timur, dan Nusa Tenggara Timur/NTT) pada 18 Juli 1979.
Pada 12 Desember 1992, gempa berkekuatan 7,5 skala Richter yang disusul tsunami mendera Flores-NTT dan menewaskan 2.000 orang. Pada 4 Juni 1994, gempa 6,8 skala Richter di Banyuwangi, Jawa Timur, menewaskan 377 orang. Dua tahun kemudian, pada 1 Januari 1996, gempa terjadi di dua tempat, di Tolitoli, Sulawesi Tengah, dengan kekuatan 7,7 skala Richter menewaskan Sembilan orang. Pada 17 Februari 1996 giliran Biak Numfor (Papua) diayun gempa 8,2 skala Richter diiringi tsunami yang menewaskan 166 orang.
Tahun 1998, gempa 7,7 skala Richter memicu tsunami yang menghantam Taliabu, Maluku Utara, dan menewaskan 30 orang. Dua tahun kemudian, gempa berkekuatan 7,3 skala Richter yang disusul tsunami mengguncang Banggai, Sulawesi Tengah, dan menewaskan 54 orang.
Namun, sederet kejadian itu tak menjadi perhatian besar bagi rakyat dan penguasa negeri yang disibukkan dengan soal politik, kemiskinan, hingga korupsi ini. Maka, saat air laut mulai surut diisap ke dalam lantai samudra yang runtuh tiba-tiba pada Minggu pagi, 26 Desember 2004, itu banyak warga di pesisir Aceh yang justru turun ke laut mencari ikan atau sekadar menontonnya.
Ketika kemudian air laut berbalik dalam bentuk tembok raksasa yang berkecepatan pesawat jet, mereka sudah terlambat menghindar. Bahkan, ketika orang-orang berlarian dari arah pantai sambil berteirak, “Air! Air! Air …,” banyak yang mengira terjadi kebakaran. Di Banda Aceh, teriakan air identik dengan kebakaran.
Edward Bryant dalam buku Tsunami: The Underrated Hazard, 2008, mencatat bahwa gempa Aceh tahun 2004 yang berkekuatan 9,2 skala Richter itu mengeluarkan total energi lebih besar dibandingkan dengan total energi yang dilepas oleh seluruh gempa bumi di seluruh dunia dalam 10 tahun sebelumnya. Gempa ini juga mengakibatkan seluruh muka bumi bergerak vertical sedikitnya 1 sentimeter dan melambatkan rotasi bumi 2,7 mikrodetik.
Sepanjang sejarah, tsunami Aceh menempati pembunuh peringkat pertama dengan korban tewas 310.000 jiwa, disusul tsunami Taiwan pada 22 Mei 1782 dengan korban 50.000 jiwa dan peringkat ketiga tsunami saat Krakatau meletus 27 Agustus 1883 dengan korban 36.417 jiwa. ***
*) KOMPAS edisi Sabtu, 26 Mei 2012 hal. 36
Tidak ada komentar:
Posting Komentar